Kawin Lintas Agama: Beda Warna dalam Satu Rumah
Resensi

Kawin Lintas Agama: Beda Warna dalam Satu Rumah

Perkawinan merupakan perwujudan cinta yang beradab. Namun, dua insan yang berbeda agama dan keyakinan acapkali tidak dapat melaksanakan ritual suci ini.

Oleh:
Tif
Bacaan 2 Menit
Kawin Lintas Agama: Beda Warna dalam Satu Rumah
Hukumonline

 

 

Kawin Lintas Agama,

Perspektif Kritik Nalar Islam

 

Penulis: Suhadi

Pengantar: DR Irwan Abdullah

Penerbit: LkiS, Yogyakarta

Terbitan: 2006

Halaman: 196, termasuk indeks dan biodata

 

 

Menurut penulis, teks Al Quran yang memuat larangan kawin beda agama selama ini sering disikapi secara taken for granted dan murni transenden. Padahal perlu juga dipahami bahwa ia memiliki dimensi sosial politis karena merupakan bentukan sosial.

 

Argumen ini dibentuk penulis dengan menggunakan konsep Kritik Nalar Islam (une  Critique de la Raison Islamique) yang dikembangkan Mohammed Arkoun, pemikir kelahiran Aljazair. Nalar Islam menurut Arkoun adalah sistem de pensee (sistem berpikir) yang membentuk Islam. Arkoun menilai identifikasi Islam yang paling menonjol terletak pada keterikatan dengan konsep wahyu yang terberi dan Islam yang diterima. Metode ini dijelaskan secara mendetail pada bab tiga, yang menjadi titik tolak analisa bab empat.

 

Melalui metode Arkoun dapat juga dilakukan dekonstruktivisme makna Al Quran. Melalui dekonstruksi teks, manusia diharap dapat menyadari ketentuan negatif dari apa yang selama ini tidak dipikirkan dan tak terpikir. Pada dasarnya dekonstruksi ini dilakukan untuk membedah konstelasi kepentingan yang ada dalam setiap wacana.

 

Penulis menilai larangan kawin beda agama dalam berbagai kitab tafsir dan fiqih dihasilkan oleh ideologi politik yang memandang manusia dalam batas-batas agama, dimana terlihat jelas bahwa pelarangan ini untuk menjaga stabilitas, keutuhan dan terpeliharanya dar al-Islam (teritori Islam).

 

Era ketegangan Islam-Kristen di Indonesia dapat dilacak mulai pertengahan 1960-an. Pasca kegagalan revolusi PKI, Pemerintah mewajibkan warganya untuk memilih satu di antara lima agama resmi sebagai bukti loyalitas anti komunis. Dalam masa ini, misionaris Kristen berhasil menggaet orang yang dipenjara karena terlibat kasus PKI serta kaum abangan yang tersebar di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

 

Keberhasilan ini membuat faksi Islam politik menempuh jalur politik pemerintahan untuk membendung penetrasi Kristen yang semakin kuat. Langkah politik ini menghasilkan tiga SK yang intinya tidak memperbolehkan penyiaran agama terhadap orang yang sudah memeluk agama tertentu. Namun kalangan Kristen pun tidak tinggal diam. Pada praktiknya gerakan misi berjalan terus.

 

Selanjutnya muncul larangan kawin beda agama di Indonesia dalam UU No. 1 dan1974 tentang Perkawinan dan Inpres No.1 Tahun 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan juga melalui Fatwa MUI pada 1 Juli 1980. Argumen yang dipakai MUI adalah untuk kepentingan masyarakat Islam sendiri. Sementara Nahdlatul Ulama (NU) belum pernah membahas mengenai masalah ini.

 

Kemunculan tandingan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Indonesia (CLD-KHI) atau draf KHI dilihat penulis sebagai upaya untuk memberikan prinsip nilai kesetaraan, keadilan, kemaslahatan, kemajemukan dan demokrasi. Namun nasib CLD-KHI hanya wacana setelah Menteri Agama Said Agil Munawwar membekukan di akhir masa jabatannya. Sementara Menteri Agama baru tidak akan meneruskan pembahasan draf ini.

 

Akhirnya, penulis mengutip utuh puisi KH Mustofa Bisri berjudul Allahu Akbar! yang intinya merupakan spirit dari buku ini. Berikut adalah sebagian kutipan puisi tersebut:

Melihat keganasan kalian aku yakin

Kalian belum pernah bertemu Ar-Rahman

Yang kasih sayang-Nya meliputi segalanya

 

Bagaimana kau begitu berani mengatasnamakan-Nya

Ketika dengan pongah kau melibas mereka

Yang sedang mencari jalan menuju-Nya?

 

Sudah lama perkawinan antar agama menjadi perdebatan. Meskipun pengakuan legal formal belum tersurat, prakteknya warga yang melakukan perkawinan beda agama terus bertambah. Sepanjang 16 bulan, antara April 1985-Juli 1986, misalnya, Kantor Catatan Sipil Jakarta mencatat 239 kawin lintas agama yang salah satu pasangannya adalah muslim. Dari jumlah itu 112 kasus adalah pria Muslim kawin dengan non muslim, sisanya (127 kasus) perempuan Muslim kawin dengan pria non-Muslim.

 

Bagi mereka yang mempraktekkan kawin lintas agama, agama bukan menjadi penghalang untuk berlabuh ke dalam bahtera rumah tangga. Tetapi tidak bagi sebagian yang tegas menolak, termasuk dari kalangan Islam. Majelis Ulama termasuk salah satu komponen yang menolak sejak awal.

 

Salah satu masalah pokok yang menjadi problem dalam merajut hubungan antar umat beragama dalam Islam adalah terminologi Ahli Kitab. Pasalnya, dalam Al Quran, istilah tersebut merujuk pada komunitas Yahudi dan Nasrani.

 

Secara tekstual terdapat tiga ayat mengenai perkawinan Muslim dengan Non Muslim, yaitu Al Baqarah : 221, Al Mumtahanah : 10 dan Al Maidah : 5. Dari bunyi teksnya, tiga ayat di atas memiliki makna yang bertingkat. Ayat yang pertama melarang mengawini orang musyrik, baik laki-laki muslim maupun perempuan muslim. Ayat kedua mengungkapkan larangan perempuan muslim dikawinkan dengan laki-laki non muslim.  Ayat ketiga memperbolehkan mengawini perempuan ahli kitab.

Tags: