Reformasi Burgerlijke Stands, Menyambut RUU Administrasi Kependudukan
Fokus

Reformasi Burgerlijke Stands, Menyambut RUU Administrasi Kependudukan

Kewenangan Kantor Catatan Sipil yang telah berusia lebih dari 150 masih terus saja diotak-atik. Terakhir Pemerintah merencanakan revisi peraturan catatan sipil lewat Rancangan UU Administrasi dan Kependudukan.

Oleh:
M-3/Tif/Rzk/CRI
Bacaan 2 Menit
Reformasi <i>Burgerlijke Stands</i>, Menyambut RUU Administrasi Kependudukan
Hukumonline

 

Kewenangan ini seharusnya berakhir ketika UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan keluar. Tetapi kenyataannya, menurut Sudhar Indopa dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta, baru pada 1989 Catatan Sipil tidak lagi menerima pencatatan perkawinan yang tidak sah menurut hukum agama.

 

Fakta ini dikuatkan oleh Sudargo Gautama. Prof. Gautama mengangkat sebuah jurispudensi yang mengungkapkan pengadilan dapat memerintahkan Catatan Sipil untuk menikahkan pasangan beda agama pasca UU No. 1 Tahun 1974. Hakim Kasasi pada saat itu memandang UU No. 1 tahun 1974 tidak mengatur tentang perkawinan beda agama sedangkan peraturan perkawinan campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken/GHR) tidak dapat diterapkan karena berbeda falsafah dengan Pancasila sehingga berarti adanya kekosongan hukum.

 

Dengan alasan mencegah ‘kumpul kebo', majelis yang terdiri dari Ali Said, H.R. Djoko Soegianto, dan Indroharto memerintahkan pegawai pencatat catatan sipil agar melangsungkan perkawinan antara Andi Vonny Gani dengan Andrianus P.H. Nelwan. Pada 1989, akhirnya Andi Vonny Gani dapat menikah di Kantor Catatan Sipil (KCS).

 

Kini wewenang catatan sipil pun bukan lagi prerogatif pegawai catatan sipil. Lewat Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Luar Negeri No. 589 tahun 1999 dan No. 182/OT/X/99/01 tahun 1999 tentang  Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan WNI di Luar Negeri, pegawai konsulat bidang konsuler melakukan pencatatan perkawinan Warga Negara Indonesia (WNI) yang dilangsungkan di luar negeri.

 

Perkawinan luar negeri seharusnya tunduk pada asas lex loci celebrationis yang terkandung dalam pasal 56 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jadi hukum yang berlaku atas perkawinan adalah hukum dimana perkawinan tersebut dilaksanakan. Tapi dengan memanfaatkan wilayah ekstrateritorial dari kedutaan besar Indonesia di luar negeri, perkawinan dapat tetap dilaksanakan dengan hukum perkawinan Indonesia. Hanya saja, alih-alih diurus oleh kantor catatan sipil, tugas ini dilaksanakan dulu oleh bidang konsuler.

 

Perkembangan catatan sipil tidak berhenti sampai situ saja. Pada 2006, kewenangan catatan sipil bertambah seiring diakuinya Konghucu sebagai salah satu agama di Indonesia. Loket Konghucu sudah dibuka walaupun baru dilakukan beberapa kali pencatatan perkawinan berdasarkan agama tersebut.

 

Jadi catatan sipil sekarang hanya menerima pencatatan akta kelahiran umum, pencatatan dispensasi akta kelahiran, pencatatan perkawinan, pencatatan perceraian, pencatatan kematian umum, dan pencatatan dispensasi akta kematian. Kewenangan lain seperti pembuatan Kartu Tanda Penduduk adalah urusan dinas kependudukan. Karena itu dalam RUU Catatan Sipil yang disusun oleh Konsorsium Catatan Sipil, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), catatan sipil dipisahkan dari administrasi pendudukan.

 

Menurut Konsorsium Catatan Sipil, penyelenggaraan catatan sipil erat kaitannya dengan penegakan HAM. Persoalan HAM selalu muncul sehubungan dengan jaminan negara kepada warganya. Turunan dari HAM setiap warga negara Indonesia salah satunya adalah hak keperdataan, bahwa manusia berhak untuk diakui sebagai manusia secara seutuhnya, sejak lahir sampai mati.

 

Semua peristiwa keperdataan ini merupakan wilayah kewenangan catatan sipil untuk dicatat sehingga hak dan kewajiban yang mengikuti peristiwa-peristiwa hukum itu juga dapat diketahui oleh negara. Dalam naskah akademis RUU Catatan Sipil, Konsorsium menyesalkan kesimpangsiuran pengawasan atas lembaga catatan sipil.

 

Sebelum 1983, KCS sepenuhnya berada di bawah Departemen Kehakiman. Setelah itu, pengawasan teknisnya diserahkan ke Departemen Dalam Negeri, sementara pengawasan yuridisnya tetap di Departemen Kehakiman. Munculnya otonomi daerah juga merugikan pelaksanaan catatan sipil. Di daerah, KCS seringkali disatukan dengan instansi pendaftaran penduduk, keluarga berencana, transmigrasi, atau pun ketenagakerjaan.

 

RUU Catatan Sipil

Mewadahi beberapa lembaga, Konsorsium Catatan Sipil menyusun RUU Catatan Sipil yang tersendiri, lepas dari masalah kependudukan. Dalam naskah akademis tersebut, Konsorsium menekankan catatan sipil tidak boleh menolak mencatatkan. Karena pencatatan sipil merupakan hak semua warga negara dan kewajiban negara untuk memberikan akta untuk setiap peristiwa penting yang menyangkut kehidupan warga negara.

 

Dengan ini, konsorsium yang diketuai Lies Sugondo ini ingin mencegah cara pandang negatif yang muncul di masyarakat, bahwa seolah-olah negara tidak menjamin hak-hak warga negara yang tidak taat hukum. Salah satunya dengan merubah paradigma catatan sipil sebagai penjaga garis depan UU No. 1 Tahun 1974 dan Departemen Agama. Catatan sipil seharusnya bersifat nasional dan tidak membeda-bedakan agama atau kepercayaan.

 

Sayangnya, ide RUU Catatan Sipil ini belakangan digabungkan ke dalam RUU Administrasi Kependudukan (RUU Adminduk) yang saat ini sedang digodok di Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Tumbu Saraswati, anggota Komisi II DPR, RUU Adminduk juga akan membahas masalah perkawinan dan perceraian, terutama di kalangan mereka yang bukan beragama Islam. RUU Adminduk hampir selesai di tim perumus, kata politisi PDIP itu kepada hukumonline.

 

Lies Sugondo menyatakan penyesalan atas digabungnya RUU Catatan Sipil ke dalam RUU Adminduk. Saya melihat RUU Adminduk itu kacau balau. RUU Catatan Sipil yang kita buat dari Konsorsium Catatan Sipil yang ada di bawah koordinasi Komnas HAM itu dijiplak, dipindahkan plek ke RUU Adminduk, sehinggga RUU Adminduknya tidak cocok, kritiknya.

 

Tapi anggota Komnas HAM ini menyatakan  cukup senang dengan pencantuman salah satu solusi yang ditawarkannya berkaitan dengan perkawinan beda agama. Nanti perintah pengadilan itu yang harus dilaksanakan oleh petugas di Kantor Catatan Sipil, terangnya lebih lanjut. Menurut Lies, ini merupakan kemajuan dalam HAM, khususnya hak warga negara untuk dicatat.

 

Sejak UU Perkawinan disahkan, permasalahan catatan sipil berputar-putar saja dalam topik perkawinan; perkawinan campur, perkawinan beda agama, perkawinan kong hu cu, dan perkawinan penganut kepercayaan. Dalam perkara perkawinan campur antara WNI dan WNA pelaksanaan pencatatan sipil sebelum UU No. 12 tahun 2006 mengekspos anak-anak dari perkawinan campur tersebut pada deportasi.

 

Enggi Holt, ketua Keluarga Perkawinan Campuran Melati (KPC Melati), mengakui banyak perkawinan campur yang tidak dicatatkan di catatan sipil. Menurutnya, ketidaktaatan ini dipicu oleh hukum nasional yang tidak akomodatif. Ini memang dilematis, WNI mau tunduk kepada hukum tapi celaka, sebaliknya kalo tidak tunduk kepada hukum statusnya menjadi tidak jelas, keluhnya.

 

Dalam kesempatan wawancara dengan hukumonline, Enggi menuturkan KCS di Indonesia prosedurnya rumit, tidak seperti catatan sipil negara-negara Anglo Saxon yang lebih simpel. Contoh saja, Enggi menyoroti dualisme KUA-Catatan Sipil. Selain itu, Enggi juga menyatakan keprihatinannya secara pribadi tentang KUA-Catatan Sipil yang ikut-ikutan mengurusi masalah keagamaan orang lain. Jadi, dengan unifikasi nantinya tidak ada KUA dan Kantor Catatan Sipil, tempat pengurusan perkawinan akan hanya terpusat pada satu tempat saja. Masalah agama menjadi urusan pribadi masing-masing, tegasnya.

 

Anggota Komisi II, Saifulloh Ma'shum yang pada saat ini sedang memperjuangkan RUU Adminduk menerangkan perubahan yang diinginkan terhadap lembaga catatan sipil. Prosesnya tetap saja, tapi kita ingin KCS lebih mendekat pada prosesi pernikahan. Pengennya KCS seperti KUA yang hadir saat proses ijab kabul, mempercepat proses seperti KUA, ungkapnya secara terus terang. Anggota DPR dari FKB ini mengkritisi pelaksanaan catatan sipil yang lambat.

 

Dari hujan kritik terhadap Kantor Catatan Sipil, bagaimana sikap pegawai kantor catatan sipil itu sendiri? Kita hanya mengacu pada undang-undang, ujar salah satu pegawai catatan sipil yang enggan disebutkan namanya.

 

Lembaga yang menjalankan fungsi catatan sipil sudah ada sejak zaman Belanda di Batavia dengan nama Burgerlijke Stands (BS) pada 1829. Pada saat itu fungsinya tidak hanya terbatas pada pencatatan perkawinan, kelahiran, kematian, perceraian, pengakuan anak, dan pengesahan anak melainkan juga termasuk untuk menikahkan secara perdata.

 

Kewenangan menikahkan diberikan oleh pasal 81 KUH Perdata. Hal ini sejalan dengan definisi perkawinan KUH Perdata yang membatasi perkawinan sebagai salah satu hubungan hukum perdata saja. Karena itu, catatan sipil, berdasarkan Reglement Catatan Sipil, tidak perlu memeriksa apakah perkawinan tersebut telah sah menurut hukum agama atau tidak.

Tags: