Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum
Nikah di Bawah Tangan

Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum

Meski sah menurut agama, namun pernikahan di bawah tangan tidak barokah dan luput dari perlindungan hukum perkawinan.

Oleh:
CRI/Lut
Bacaan 2 Menit
Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum
Hukumonline

 

Kyai Ma'ruf yang juga sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI menambahkan, Komisi Fatwa MUI sengaja memakai istilah pernikahan di bawah tangan. Selain untuk membedakan dengan pernikahan siri yang sudah dikenal di masyarakat. Istilah ini lebih sesuai dengan ketentuan agama Islam.

 

Ia menambahkan, nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam). Namun, nikah ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam perundang-undangan

 

Kalau nikah siri itu, lanjut Kyai Ma'ruf  mungkin hanya nikah berdua saja, tanpa ada saksi dan sebagainya. Kalau pengertian siri itu dianggap hanya berdua saja, tidak pakai syarat dan rukun nikah lainnya, bisa dipastikan pernikahan semacam ini tidak sah, tandasnya.

 

Terkait dengan masalah haram jika ada kemudharatan, Kyai Ma'ruf menegaskan bahwa hukum nikah yang awalnya sah karena memenuhi syarat dan

rukun nikah, menjadi haram karena ada yang menjadi korban. Jadi, Haramnya itu datangnya belakangan. Pernikahannya sendiri tidak batal, tapi menjadi berdosa karena ada orang yang ditelantarkan, sehingga dia berdosa karena mengorbankan istri atau anak. Sah tapi haram kalau sampai terjadi korban. Inilah uniknya, ujarnya.

 

Harus Dicatat

Nah, untuk mengantisipasinya, dalam Fatwa tersebut, MUI menganjurkan agar pernikahan di bawah tangan itu harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang. Hal ini sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negatif/mudharat.

 

Dengan adanya pencatatan ini, maka pernikahan ini baik secara hukum agama maupun hukum negara menjadi sah. Dan, ini penting bagi pemenuhan hak-hak istri dan anak terutama soal pembagian harta waris, pengakuan status anak dan jika ada masalah, istri memiliki dasar hukum yang kuat  untuk menggugat suaminya.

 

Meski demikian, diakui Kyai Ma'ruf bahwa aturannya belum ada. Bahkan di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masalah ini tidak diatur. Nantinya, pencatatan itu dilakukan di kantor urusan agam (KUA) bukan di kantor catatan sipil. Saya waktu itu telah meminta kepada Menteri Agama agar masalah ini menjadi perhatian dan disiapkan peraturannya agar tidak menjadi kesulitan atau terjadinya korban gara-gara pernikahan ini tidak dicatat, katanya.

 

Bentuknya nanti apakah seperti akte nikah atau bentuk lainnya, saya tidak tahu karena aturannya memang belum ada. Atau di akte nikahkah atau khusus, ya semacam pemutihan, saya belum tahu. Karena ini belum ada form-nya, tambahnya.

 

Langkah MUI ini diamini oleh Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel, Surabaya, Abdus Salam Nawawi. Ia mengatakan, soal anjuran pencatatan ini sebenarnya sudah diatur dalam UU Perkawinan. Namun, dalam implementasinya masih kurang. Dan, ini sangat disayangkan.

 

Padahal, lanjutnya, pencatatan ini akan menjadi dokumen otentik atas peristiwa pernikahan dan akibat-akibat yang mungkin muncul seperti kelahiran anak dan sebagainya. Jika tidak ada bukti, pengadilan akan kesulitan memproses tuntutan istri kepada suami jika ada masalah, ujarnya ketika dihubungi Hukumonline lewat telepon.

 

Selalu Menjadi Korban

Langkah MUI untuk mensahkan pernikahan di bawah tangah sekaligus anjuran untuk mencatatkan bukan tanpa alasan. Ini semata-mata untuk melindungi kaum perempuan dan anak-anak dari dampak pernikahan di bawah tangan, ujar Kyai Ma'ruf.

 

Kepala Madrasah Ushul Fiqh Progresif Wahid Institute Abdul Moqsith Ghazali membenarkan pernyataan Kyai Ma'ruf. Nikah di bawah tangan itu dianggap ilegal oleh negara. Akibatnya, istri dan anak-anak tidak memiliki status hukum yang jelas, ujarnya.

 

Meski diakui secara agama maupun adat istiadat, pernikahan di bawah tangan dianggap tidak sah oleh negara

 

 

Dipandang dari agama Islam, pada hakikatnya pernikahannya sah secara syari'at. Hanya tidak ada surat-surat resmi yang akan memperkuat ikatan pernikahan, karena tidak dilaporkan ke KUA.

 

Lalu, mengapa harus ada pencatatan? Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan Adriana Venny beralasan, nikah model begini tidak mempunyai landasan yang kuat secara sosial. Akhirnya, seandainya salah satu di antara kedua pihak (suami atau istri-red) mengingkari adanya hubungan pernikahan mereka, maka dengan mudah bahtera rumah tangga pun bubar.

 

Misalnya bila suami tiba-tiba minggat, istri tidak bisa menuntut dia dengan melaporkannya ke pengadilan. Begitupun sebaliknya, bila istri menikah lagi dengan laki-laki lain, akan terjadi poliandri yang tentu saja lebih berbahaya lagi, karena dilarang secara syariat.

 

Pernikahan di bawah tangan hanya menguntungkan suami/laki-laki dan akan merugikan kaum perempuan dan anak-anak

 

 

Dampak lainnya, akibat tidak mengikuti hukum negara, si perempuan tidak bisa menuntut hak waris, dan lainnya. Urusan talak bisa jadi terbengkalai. Jika begini jadinya, biasanya perempuan dan anak-anaklah yang paling menderita. Karena akta pernikahan biasanya selalu diminta untuk melengkapi administrasi sekolah, pencatatan kelahiran, dan keperluan lainnya.

 

Pencatatan pernikahan atau pembuatan akta pernikahan, secara syariat, bukanlah rukun atau syarat yang menentukan sahnya pernikahan. Namun adanya bukti autentik yang tertulis dapat menjadi salah satu alat memperkuat komitmen yang dibangun oleh pasangan tersebut. Walaupun memperkuat komitmen tidak terbatas pada aktanya, karena akta sendiri bisa dibatalkan melalui gugatan perceraian.

 

Islam tidak mempersulit pernikahan. Bahkan bila pernikahannya sah, hak waris dan garis keturunan tidak terputus, walaupun tidak terdaftar berdasarkan hukum negara. Sehingga dampak hukum yang disangsikan pada pasangan nikah di bawah tangan terkesan dilebih-lebihkan, bahkan bisa dipandang keluar dari ajaran Alquran dan assunah, katanya.

 

Perlu Amandemen

Di sisi lain, Venny menengarai adanya ketidakberpihakan hukum perkawinan kepada perempuan. Ia mencontohkan, di Barat, hukum perkawinan di sana mengatur mengenai Living Together, yang secara praktek hampir mirip dengan kawin di bawah tangan di Indonesia. UU tersebut menjamin hak perempuan, alimentasi, dan lainnya. Sehingga jika di kemudian hari terjadi perceraian, hak perempuan di Barat tidak akan terabaikan.

 

Karena itu, menurut Venny amandemen hukum perkawinan menjadi hal mendesak yang harus diselesaikan. Salah satu poin yang harus dimasukkan adalah persoalan mengenai kawin kontrak dan di bawah tangan.  Semangat dari amandemen itu adalah untuk melindungi hak dan kepentingan pihak yang selalu dirugikan, yaitu perempuan, tandas Venny.

 

Pandangan berbeda datang dari Ulama Quraish Shihab. Menurutnya UU Perkawinan yang ada saat ini sudah cukup baik. Kuncinya ada di klausul yang menyebutkan bahwa pernikahan yang sah adalah pernikahan yang sesuai dengan agamanya masing-masing. Tidak perlu ada sesuatu yang harus ditegaskan lagi atau ditambahkan. Karena itu, Quraish sangat berharap agar setiap perkawinan yang dilakukan harus dicatatkan kepada pemerintah untuk memperoleh status hukum yang pasti.

 

Fenomena pernikahan di bawah tangan kembali menyeruak. Pemicunya bukan karena terkuaknya pernikahan di bawah tangah Farhat Abbas (suami artis Nia Daniati) dengan salah seorang mojang asal Bandung beberapa waktu lalu.

 

Kali ini, fenomena itu dipicu dengan keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mensahkan pernikahan di bawah tangan. Pengesahan ini dihasilkan dari Forum Ijtima' yang dihadiri lebih dari 1000 ulama dari berbagai unsur di Indonesia. Acara tersebut digelar beberapa waktu lalu di kompleks Pondok Modern Darussalam Gontor, Pacitan, Jawa Timur.

 

Pembahasan mengenai pernikahan di bawah tangan ini cukup alot. Terhadap kasus tersebut, peserta ijtima' sepakat bahwa pernikahan di bawah tangan hukumnya sah, karena telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah. Namun, nikah tersebut menjadi haram apabila di kemudian hari terjadi kemudharatan, seperti istri dan anak-anaknya telantar.

 

Persoalan ini hangat dibahas, karena ada peserta ijtima' yang semangat sekali mengharamkan dan ada pula yang bergairah untuk menghalalkannya tanpa catatan harus mendaftarkan ke Kantor Urusan Agama (KUA), kata Ketua Panitia Pengarah Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia II, KH Ma'ruf Amin. Kyai Ma'ruf ditemui hukumonline di ruang kerjanya di Sekretariat Dewan Syariah Nasional, kompleks perkantoran Masjid Istiqlal, Jakarta, Senin (16/10).

Halaman Selanjutnya:
Tags: