Empat Cara Penyelundupan Hukum Bagi Pasangan Beda Agama
Berita

Empat Cara Penyelundupan Hukum Bagi Pasangan Beda Agama

Meskipun sudah dilarang, perkawinan beda agama masih terus dilakukan. Berbagai cara ditempuh, demi mendapatkan pengakuan dari negara.

Oleh:
M-3/M-1/Tif
Bacaan 2 Menit
Empat Cara Penyelundupan Hukum Bagi Pasangan Beda Agama
Hukumonline

 

Penundukan diri terhadap salah satu hukum agama mempelai mungkin lebih sering digunakan. Dalam agama Islam, diperbolehkan laki-laki Islam menikahi wanita non-Islam, yang termasuk ahlul kitab. Ayat Al-Quran inilah yang dipraktekkan sungguh oleh lembaga-lembaga seperti Paramadina, Wahid Institute, dan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), bahkan diperluas jadi memperbolehkan kawin beda agama bagi wanita muslim.

 

Kasus yang cukup terkenal adalah perkawinan artis Deddy Corbuzier dan Kalina, pada awal 2005 lalu. Deddy yang Katolik dinikahkan secara Islam oleh penghulu pribadi yang dikenal sebagai tokoh dari Yayasan Paramadina.

 

Untuk perkawinan beda agama, mantan Menteri Agama Quraish Shihab berpendapat agar dikembalikan kepada agama masing-masing. Yang jelas dalam jalinan pernikahan antara suami dan istri, pertama harus didasari atas persamaan agama dan keyakinan hidup. Namun pada kasus pernikahan beda agama, harus ada jaminan dari agama yang dipeluk masing-masing suami dan istri agar tetap menghormati agama pasangannya.  Jadi jangan ada sikap saling menghalangi untuk menjalankan ibadah sesuai agamanya, kata Quraish.

 

Pernyataan Quraish ternyata senada dengan pernyataan Romo Andang Binawan SJ., dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya. Romo Andang juga menerangkan hukum gereja Katholik memperbolehkan perkawinan beda agama selama calon mempelai non-Katholik bersedia berjanji tunduk pada hukum perkawinan Katholik, monogami dan tidak bercerai seumur hidup, serta membiarkan pasangannya tetap memeluk Katholik.

 

Sudhar Indopa, pegawai Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta, Mei lalu di depan seminar tentang perkawinan beda agama yang diselenggarakan Lembaga Kajian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia terang-terangan menyatakan negara bukannya tidak mau mengakomodir perkawinan beda agama. Larangan tersebut tidak datang dari negara melainkan dari agama. Sepanjang tidak ada pengesahan agama, adalah tidak mungkin catatan sipil mencatat sebuah perkawinan, tandas Sudhar.

 

Pendapat berbeda disampaikan pengajar hukum Islam di UI Farida Prihatini. Farida menegaskan bahwa MUI melarang perkawinan beda agama. Pada prinsipnya, lanjut Farida, agama-agama lain juga tidak membolehkan, bukan hanya agama Islam. Semua agama tidak memperbolehkan kawin beda agama. Umatnya saja yang mencari peluang-peluang. Perkawinannya dianggap tidak sah, dianggap tidak ada perkwianan, tidak ada waris, anaknya juga ikut hubungan hukum dengan ibunya. Itu zina, tandas Farida.

 

Ketua Program Kenotariatan UI ini menolak anggapan jika dikatakan lebih baik menikah daripada kumpul kebo. Ia menilai hukum tidak akan tegak dengan baik jika masih ada penyelundupan hukum. Menurut ia, jika peraturannya sudah tegas, cukup ditegakkan saja.

 

Solusi terakhir adalah menikah di luar negeri. Lies melihat banyak artis yang lari ke luar negeri seperti Singapura dan Australia untuk melakukan perkawinan beda agama. Ia menjelaskan jika melakukan perkawinan di luar negeri, berarti tunduk pada hukum di luar negeri. Pasangan tersebut mendapat akte dari negara itu, kemudian akte di bawa pulang untuk dicatatkan saja. Artinya tidak memperoleh akte lagi dari negara.

 

Masalahnya kalau nanti mau cerai, apakah bisa di sini di Pengadilan Negeri? Saya rasa sih bisa kalau di Pengadilan Negeri. Tapi kalau luar negerinya ada yang beragama KUA, karena di luar negeri tidak ada KUA. Di luar negeri semua perkawinan dicatatkan di catatan sipil. Kalau Islam ya paling-paling di mesjid sana, tidak ada KUA, kata Lies saat dihubungi hukumonline.

 

Farida menilai Pemerintah tidak tegas. Meskipun UU tidak memperbolehkan kawin beda agama, tetapi Kantor Catatan Sipil bisa menerima pencatatan perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Padahal, lanjut ia, Kantor Catatan Sipil merupakan produk negara. Dengan demikian, seharusnya yang dicatat KCS adalah sesuai dengan hukum Indonesia.  Secara hukum tidak sah. Kalau kita melakukan perbuatan hukum di luar negeri, baru sah sesuai dengan hukum kita dan sesuai dengan hukum di negara tempat kita berada. Harusnya kantor catatan sipil tidak boleh melakukan pencatatan, kata Farida.

 

Dalam satu seminar di Depok, Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata, menjabarkan ada empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan. Empat cara tersebut adalah meminta penetapan pengadilan, perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama, penundukan sementara pada salah satu hukum agama dan menikah di luar negeri.

 

Meminta penetapan pengadilan terakhir kali dilakukan oleh Andi Vonny Gani pada 1989. Jika RUU Adminduk yang saat ini sedang dibahas DPR disahkan, akan lebih banyak lagi penetapan pengadilan dimohonkan. Ketua Konsorsium Catatan Sipil Lies Sugondo menyatakan bahwa solusi penetapan pengadilan yang disarankannya turut dimasukkan dalam RUU Adminduk.

 

Perkawinan menurut masing-masing agama merupakan interpretasi lain dari pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pagi menikah sesuai agama laki-laki, siangnya menikah sesuai dengan agama perempuan. Masalahnya adalah perkawinan mana yang sah? Terhadap cara ini, Prof Wahyono menyatakan perlu penelitian lebih jauh lagi.

Tags: