Hukum Perjanjian Ala Hukum Adat
Resensi

Hukum Perjanjian Ala Hukum Adat

Apa benar Hukum Adat terlalu terbelakang untuk ikut serta dalam hukum perjanjian? Herlien Budiono menulis, hukum adat Indonesia justru adalah salah satu syarat sahnya perjanjian.

Oleh:
M-3
Bacaan 2 Menit
Hukum Perjanjian Ala Hukum Adat
Hukumonline

 

Secara beruntun, buku ini mentuturkan alur pikir Herlien sehingga sampai pada kesimpulan asas keseimbangan dapat sungguh-sungguh diterapkan dalam perjanjian dan karenanya patut dijadikan salah satu syarat keabsahan sebuah perjanjian.

 

Keinginan untuk memperkaya khasanah hukum nasional Herlien muncul karena TAP MPR No. II/MPRS/1960. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara di atas menyatakan hukum nasional harus mengedepankan keseragaman, keadilan, dan kepastian hukum yang tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD45.

 

Undang-undang warisan Belanda memang mengedepankan individualitas. Hal ini bertentangan dengan Pancasila yang berintikan semangat persatuan. Ciri khas persatuan yang harmonis ini, menurut Herlien, hanya dapat digali dari nilai-nilai Hukum Adat Indonesia yaitu, agar tercapai persatuan harus ada keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.

 

Walaupun pada dasarnya perjanjian dibuat secara individual, perjanjian itu tetap tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan normatif yang ada dalam masyarakat (syarat sahnya perjanjian: sebab yang halal). Jadi, dalam pandangan Herlien, perjanjian para pihak sebenarnya tidak lepas dari jalinan dengan masyarakat.

 

Karena tidak bisa lepas dari masyarakat, perjanjian baru dapat dikatakan sah apabila menyeimbangkan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat. Keseimbangan tersebut menjadi asasi dari perjanjian, bahkan jauh sebelum orang-orang sadar keberadaannya, asas keseimbangan telah lazim diterapkan.

 

Menurut Herlien, asas keseimbangan merupakan konstruksi dari kesusilaan, itikad baik, kepantasan dan kepatutan, penyalahgunaan keadaan, dan iustum pretium. Asas keseimbangan juga melalui interpretasi hermeneutik ternyata berhubungan dengan asas-asas klasik perjanjian.

 

Menarik ketika diperhatikan, Herlien berangkat dari uraian Moh. Koesnoe tentang asas laras (harmoni) dalam hukum adat Indonesia. Asas laras berkenaan dengan persoalan bagaimana memuaskan kebutuhan estetis yang hidup dalam masyarakat. Asas ini memberikan jawaban atas suatu persoalan sehingga penyelesaiannya itu dianggap memuaskan dari ukuran kebutuhan dan perasaan hukum dan moral: segala sesuatu telah kembali seperti semula (seperti sebelum sengketa muncul dan mengganggu keseimbangan masayarakat).

 

Kalau diperhatikan asas laras nyata diterapkan dalam konsep perkawinan jujur dalam masyarakat hukum adat Indonesia. Jujur (semacam mas kawin) dalam perkawinan adat Batak wajib diberikan kepada keluarga pengantin perempuan sebagai pemulih keseimbangan magis-religius kedua keluarga mempelai. Keluarga pengantin perempuan wajib mendapat jujur agar tidak menjadi pincang kehilangan satu anggotanya diambil keluarga mempelai laki-laki, sedangkan keluarga laki-laki wajib membayar jujur agar tidak keberatan menambah satu anggota keluarga. Dengan begitu tercapai keseimbangan dan keabsahan perkawinan.

 

Jika diterapkan dalam hukum perjanjian yang tidak bersifat sensitif, keseimbangan menentukan keabsahan perjanjian. Janji diantara pihak hanya mengikat sepanjang dilandasi asas keseimbangan hubungan antara kepentingan kedua belah pihak sebagaimana masing-masing pihak mengharapkannya. Jadi, penutupan kontrak yang baik adalah jika prestasi yang dijanjikan terpenuhi dan secara umum telah tercipta kepuasan.

 

Buku ini di satu pihak menggunakan banyak istilah hukum yang mungkin sulit dimengerti orang awam. Susunan kata-kata dalam kalimatnya amat cermat, mencerminkan bahasa hukum yang biasa ditemui dalam kontrak. Sesekali istilah asing dicantumkan disela-sela kalimat.

 

Tapi, seperti yang terjadi pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek), dapat muncul beragam penafsiran dari naskah yang aslinya tidak ditulis dalam Bahasa Indonesia ini. Sangat disayangkan, Herlien tidak menerjemahkan sendiri disertasinya.

 

Buku ini, di lain pihak memberikan daftar referensi yang cukup memukau. Lebih dari 280 daftar pustaka yang digunakan, sebagian besar berbahasa Belanda, lebih dari 25 putusan Hoge Raad, Belanda dan lebih dari 25 putusan Mahkamah Agung, Indonesia.

 

Daftar referensi tersebut nampaknya juga menjanjikan pembaca buku ini perkembangan terbaru hukum perjanjian di Belanda. Dari buku ini dapat diketahui bahwa kecenderungan hukum civil law yang dikembangkan oleh Belanda telah bergerak dari individualisme menjadi komunalisme.

 

Indonesia telah lama menggunakan undang-undang warisan Perancis-Belanda abad 19. Bukannya tidak ada niatan para ahli hukum dan pemerintah untuk menggantinya, hanya saja setelah lebih 60 tahun Indonesia merdeka, nyatanya suatu sistem hukum nasional tidak juga terbentuk.

 

 

Judul: ASAS KESEIMBANGAN BAGI HUKUM PERJANJIAN INDONESIA, HUKUM PERJANJIAN BERLANDASKAN ASAS-ASAS WIGATI INDONESIA

Pengarang: Herlien Budiono

Penerjemah: Tristam P. Moeliono

Penerbit: PT Citra Aditya Bakti, Bandung

Tebal: xx hlm + 573 hlm

 

 

Herlien Budiono melihat celah ini sebagai kesempatan baginya untuk mengusulkan suatu asas baru perjanjian yang merupakan turunan dari prinsip hukum adat. Asas Keseimbangan diajukan Herlien sebagai asas penentu keabsahan suatu kontrak. Asas ini diklaim mandiri dan universal, sama seperti asas perjanjian klasik lain: konsesualisme, pacta sunt servanda, dan kebebasan berkontrak.

 

Herlien, notaris di Bandung, telah meraih gelar doktor dari Universitas Leiden, Belanda dengan buku ini. Buku yang aslinya disertasi berbahasa Belanda dengan judul Het Evenwichtsbeginsel voor het Indonesisch Contractenrecht, Contractenrecht op Indonesische beginselen geschoeid diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Tristam P. Moeliono agar mudah disebarluaskan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: