Ulah Debt Collector Masih Dikeluhkan Pengguna Kartu Kredit
Berita

Ulah Debt Collector Masih Dikeluhkan Pengguna Kartu Kredit

Jumlah pengaduan konsumen pengguna kartu kredit ke YLKI meningkat dalam dua tahun terakhir. Ulah debt collector yang kasar menempati urutan pertama dalam pengaduan konsumen.

Oleh:
CRM
Bacaan 2 Menit
Ulah <i>Debt Collector</i> Masih Dikeluhkan Pengguna Kartu Kredit
Hukumonline

 

Pengaduan konsumen terhadap masalah kartu kredit mencapai rekornya pada saat YLKI bersama dengan Bank Indonesia (BI) menggelar Bulan Pengaduan Konsumen Kartu Kredit dan ATM selama empat bulan, yakni mulai minggu ketiga Februari sampai minggu ketiga Juni 2005. Dalam empat bulan tersebut jumlah pengaduan yang masuk ke YLKI sebanyak 262 kasus.

 

Menurut Rahayu ada tiga masalah yang sering dikomplain oleh konsumen terhadap bank penerbit kartu kredit, yaitu masalah bunga tagihan kartu kredit, penyampaian informasi yang tidak transparan oleh bank penerbit dan masalah penagih hutang (debt collector).

 

Dalam hal masalah bunga tagihan kartu kredit, Rahayu mengakui kalau hal ini merupakan keteledoran konsumen dalam penggunaan kartu kredit. Menurutnya,  konsumen pengguna kartu kredit sebenarnya sudah tidak mampu untuk membayar tagihan kartu kredit. Di Indonesia menggunakan kartu kredit sudah menjadi tren. Kalau nggak pake kartu kredit nggak keren. Padahal gaji mereka belum tentu dapat menutupi jumlah tagihan tersebut, cetus Rahayu.

 

Namun, bukan berarti pihak nasabah saja yang dapat dipersalahkan dalam kasus semacam ini. Bank seharusnya juga bertanggung jawab sebagai pihak yang menerbitkan kartu kredit. Rahayu mengatakan, tidak sedikit bank penerbit kartu kredit yang royal dalam menerbitkan kartu kredit kepada seseorang yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam aplikasi kartu kredit.

 

Masyarakat dengan mudah bisa menemui di pusat perbelanjaan, sales yang menawarkan pembuatan kartu kredit kepoada konsumen. Tinggal foto copy KTP dan slip gaji, si calon pemilik kartu kredit sudah bisa mengaplikasi permohonan kartu kredit. Bahkan tak jarang, orang yang tidak mengaplikasi kartu kredit tiba-tiba dikirimi kartu kredit atas namanya.

 

Selain itu, lanjut Rahayu, bank penerbit kartu kredit kerap kali tidak transparan dalam menginformasikan sebab akibat dalam penggunaan kartu kredit. Misalnya, tentang kemudahan dan fasilitas penggunaan kartu kredit yang diberikan. Seringkali kemudahan-kemudahan itu tidak diimbangi dengan kemungkinan-kemungkinan yang pahit terhadap pemakaian kartu kredit seperti bunga yang tinggi dan prosedur penutupan kartu kredit. Biasanya konsumen sangat susah sekali untuk menutup kartu kredit, disamping pihak bank sendiri yang tidak akomodatif, kata Rahayu.

 

Masalah lainnya adalah debt collector. Kemungkinan terburuk bagi penunggak tagihan kartu kredit adalah didatangi satu atau beberapa orang debt collector. Mereka inilah yang akan melakukan penagihan.

 

Biasanya, jika si penunggak ini tetap tidak mampu melunasi tagihan kartunya, debt collector yang diperintah oleh bank penerbit kartu kredit akan mengambil sejumlah barang baik bergerak maupun tidak bergerak sebagai jaminan. Nah, jika si penunggak telah melunasinya, maka jaminan itu akan dikembalikan. Jika tidak, tentu saja barang itu lenyap. Dan nilai barang yang diambil setara dengan jumlah tunggakan, ujar Rahayu.

 

Mengarah ke Pidana

Perilaku debt collector saat ini masih menjadi masalah serius yang belum ada penanganannya. Di satu sisi konsumen merasa terganggu dengan ulah penagih hutang tersebut. Di sisi lain si debt collector sebagai utusan bank bertanggung jawab atas tunggakan-tunggakan hutang yang bisa merugikan bank.

 

Masalahnya, belum ada batasan dan aturan yang jelas tentang tata cara penagihan oleh seorang debt collector. Saat ini yang ada hanya sebatas pada aturan bank masing-masing. Tapi biasanya yang terjadi di lapangan, mereka itu (debt collector-red) melakukan hal-hal di luar kesepakatan antara bank dan agen, ungkap Rahayu.

 

Perlakuan debt collector ini menurut Rahayu sudah pada tahap yang memperihatinkan. Beberapa tindakan debt collector bahkan sudah mengarah pada tindakan pidana. Misalnya, membuat onar, meneror baik secara langsung maupun telepon, bahkan sampai mengancam akan membunuh si nasabah.

 

Sebenarnya itu bisa masuk pidana karena ada unsur perbuatan yang tidak menyenangkan. Apalagi ketika debt collector itu sampai mengamuk di perusahaan dimana nasabah bekerja. Karena ulah debt collector itu nama si konsumen jadi tercemar dan bisa saja terancam dipecat, papar Rahayu.  

 

Akibat perlakuan kasar itu, tak sedikit pengguna kartu kredit menyewa jasa pengacara untuk menyelesaikan tagihan kartu kreditnya. Ujung-ujungnya si pengguna kartu kredit bisa terbebaskan dari kewajibannya untuk melunasi tagihan kartu kredit. Hal inilah yang disesalkan oleh sejumlah pihak termasuk YLKI.

 

Menurut Rahayu, kalau tagihan itu memang kewajiban konsumen yang harus dibayar maka harus diselesaikan. Yang tidak boleh, lanjutnya adalah meniadakan kewajiban itu sehingga si pengguna kartu kredit terbebas dari kewajibannya. YLKI sendiri tidak respon dengan kelakukan konsumen seperti itu cuma YLKI hanya membantu konsumen bagaimana cara menyelesaikan kasus yang win-win solution, kemudian tidak merugikan konsumen dan pelaku usaha,  ujar Rahayu.

 

Saat ini YLKI memberikan dua opsi dalam penyelesaian kartu kredit jika konsumen tidak mampu membayar tunggakan kartu kredit. Opsi pertama berupa penghapusan bunga, dan opsi kedua, yakni pembayaran hutang pokok dengan cara mencicil sesuai dengan kemampuan. Itu penyelesaian yang YLKI minta dan dikabulkan oleh bank penerbit kartu kredit, tandasnya.

 

Namun, diakui Rahayu tidak semua bank memberikan solusi penyelesaian seperti itu karena masing-masing bank berbeda. Biasanya kalau bank yang lebih akomodatif terhadap konsumen maka dia akan menyelesaikan dua opsi itu. Tapi, Kalau banknya kurang peduli terhadap konsumen, satu opsi saja yang dikabulkan sudah untung bagi konsumen, jelas Rahayu.

 

Mediasi Perbankan

Cara lain lewat tentu saja lewat badan mediasi perbankan yang disediakan oleh Bank Indonesia. Fasilitas ini dituangkan dalam Peratuan Bank Indonesia (PBI) No. 8/5/PBI/2006 tertanggal 30 Januari 2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/14/DPNP tertanggal 1 Juni 2006.

 

Sarana mediasi ini memang tidak hanya ditujukan untuk persoalan kartu kredit saja. Secara umum persoalan transaksi keuangan. Bank Indonesia menjamin bahwa proses mediasi ini berlangsung sederhana, murah dan cepat.  

 

Nasabah atau bisa diwakilkan dapat mengajukan sengketa yang dihadapinya ke lembaga mediasi perbankan. Syaratnya sangat sederhana

 

  1. Sengketa yang dapat diajukan adalah sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi keuangan
  2. Sengketa yang dapat diajukan adalah sengketa yang timbul dari hasil penyelesaian pengaduan Nasabah yang telah dilakukan oleh Bank.
  3. Nasabah tidak dapat mengajukan tuntutan finansial yang diakibatkan oleh kerugian immaterial. Yang dimaksud kerugian immaterial antara lain adalah kerugian karena pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan.
  4. Nilai tuntutan finansial dengan jumlah maksimal adalah Rp 500.000.000,00. Jumlah tersebut dapat berupa kumulatif dari kerugian finansial yang telah terjadi pada Nasabah, potensi kerugian karena penundaan atau tidak dapat dilaksanakannya transaksi keuangan Nasabah dengan pihak lain, dan atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan Nasabah untuk mendapatkan penyelesaiannya Sengketa.
  5. Batas waktu pengajuan adalah paling lambat 60 (enampuluh) hari kerja, yang dihitung sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan Nasabah dari Bank
  6. Nasabah mengajukan penyelesaian sengketa kepada lembaga Mediasi perbankan secara tertulis dengan menggunakan formulir yang tersedia atau dibuat sendiri

Sumber : Bank Indonesia

Penyelesaian persoalan antara nasabah dengan bank penerbit kartu kredit dalam hal tunggakan tagihan kartu kredit belum menemui titik terang. Buktinya, data yang ada di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) untuk permasalahan perbankan dalam dua tahun terakhir menduduki posisi pertama dalam daftar pengaduan konsumen.

 

Dari permasalahan perbankan tadi, lebih dari setengah merupakan kasus kartu kredit. Sampai November 2006, jumlah pengaduan konsumen yang mengalami masalah dengan bank sebanyak 92 kasus. Sementara pada 2005 jumlahnya lebih banyak lagi, yakni sebanyak 337 kasus. Lebih dari setengahnya merupakan persoalan kartu kredit, ujar Karunia Asih Rahayu, Legal and Public Complain YLKI.

Tags: