PN Jaksel Segera Gelar Sidang Koneksitas Kasus Tabungan Perumahan
Berita

PN Jaksel Segera Gelar Sidang Koneksitas Kasus Tabungan Perumahan

KUHAP tidak memuat aturan mengenai kepangkatan dalam perkara koneksitas untuk mengantisipasi kalau ada kasus dengan terdakwa militer berpangkat tinggi.

Oleh:
Rzk
Bacaan 2 Menit
PN Jaksel Segera Gelar Sidang Koneksitas Kasus Tabungan Perumahan
Hukumonline

 

Pasal 94 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menyatakan perkara pidana koneksitas ditangani oleh majelis hakim yang terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang hakim. Ayat berikutnya menyatakan dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang mengadili perkara pidana koneksitas, majelis hakim terdiri dari hakim ketua dari lingkungan peradilan umum dan hakim anggota masing-masing ditetapkan dari peradilan umum dan peradilan militer secara berimbang.

 

Melihat susunan majelis yang dipaparkan Ketua PN Jaksel, uniknya hakim militer yang ditugaskan menangani perkara ini hanya berpangkat mayor. Padahal, berdasarkan tata urutan kepangkatan militer mayor berkedudukan lebih rendah dibandingkan kolonel. Artinya, pangkat hakim militer yang menangani perkara ini lebih rendah dari tersangka dari kalangan militer.

 

Tidak ada aturan

T. Nasrullah, pengajar hukum acara pidana dari FHUI, berpendapat dalam perkara koneksitas diperbolehkan hakim militer berpangkat rendah mengadili terdakwa militer yang berpangkat lebih tinggi. Pendapat Nasrullah ini didasarkan pada kenyataan tidak adanya ketentuan dalam KUHAP yang mengatur persoalan ini. Dia menduga tidak adanya ketentuan yang mengatur mengenai kepangkatan militer dalam perkara koneksitas, dalam rangka mengantisipasi apabila ada perkara yang terdakwa militernya memiliki pangkat paling tinggi sehingga tidak akan ada hakim militer yang bisa mengadilinya.

 

Kalau ada terdakwa militer bintang tiga, nanti tidak ada hakim yang berpangkat lebih tinggi yang dapat duduk di majelis, jelasnya. Menurut Nasrullah, pada prakteknya sejumlah perkara koneksitas tidak mempersoalkan apakah hakim yang mengadili berpangkat lebih rendah dari terdakwanya.

 

Lebih lanjut, Nasrullah mengatakan masalah kepangkatan tidak lagi dipersoalkan begitu perkara tersebut sudah memasuki proses hukum. Sebagai analogi, dia mencontohkan kasus dugaan korupsi BNI yang melibatkan sejumlah pejabat tinggi POLRI, dimana aparat yang melakukan penyidikan berpangkat lebih rendah. Ketika itu (perkara, red.) masuk persidangan maka semua kepangkatan ditanggalkan, sambungnya.

 

Terkait hal ini, Ketua PN Jaksel Andi Samsan Nganro mengatakan tidak tahu-menahu kenapa hakim militer yang dikirim hanya berpangkat mayor. Menurut Andi, PN Jaksel sudah menginformasikan kepada Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) bahwa terdakwa militer yang diadili berpangkat kolonel. Jadi, kalau yang dikirim mayor, itu menjadi urusan internal mereka, tukasnya.    

 

Kasus posisi

Cerita kasus ini bermula ketika Yayasan Mahaneim yang dimiliki Samuel Kristanto menawarkan BPTWP TNI AD bekerja sama untuk menyimpan dana pendamping sebesar Rp100 milyar. Ketika itu, Samuel berjanji akan mengucurkan bantuan perumahan dari Belanda asal disediakan dana pendamping.

 

Tergiur dengan ajakan ini, pada bulan November 2004 Kepala BPTWP TNI AD Kolonel Ngadimin Darmosujono memutuskan untuk menggunakan dana BPTWP sebesar jumlah yang diminta Samuel. Dana TWP merupakan iuran untuk uang muka kredit perumahan yang dikumpulkan dari prajurit TNI sebesar Rp 2.500 sampai Rp 7.500 per bulan. Dana ini dikelola oleh Badan Pengelola TWP yang ada di tiap angkatan.

 

Namun, dana itu pada kenyataannya dipakai oleh Dedy Budiman Garna yang menawari Samuel dan Ngadimin kerja sama investasi. Pada perkembangannya, Kasus ini terungkap karena temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang menemukan aliran dana tak wajar. Laporan itu kemudian ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI AD sempat melakukan penyelidikan sebelum akhirnya dilimpahkan ke tim koneksitas.

 

Dalam waktu dekat, persidangan kasus dugaan korupsi Badan Pengelola Tabungan Wajib Perumahan (BPTWP) TNI AD akan segera digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Ketua PN Jaksel Andi Samsan Nganro menginformasikan majelis hakim yang menangani perkara tersebut telah dibentuk pada Senin lalu (8/1).

 

Sebagaimana diketahui, kasus ini melibatkan dua tersangka sipil dan satu tersangka militer. Dari sipil, tersangkanya adalah Pemilik Yayasan Mahaneim Samuel Kristanto dan seorang pengusaha bernama Dedy Budiman Garna. Sementara, dari militer adalah Kepala BPTWP TNI AD Kolonel Ngadimin Darmosujono. Ini akan disidangkan secara koneksitas karena perbuatannya dilakukan bersama-sama oleh sipil dan militer, jelas Andi.

 

Mengenai alasan kenapa PN Jaksel yang menangani perkara ini, pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam beberapa kesempatan menjelaskan bahwa kasus ini menjadi yurisdiksi PN Jaksel karena pencairan dana yang diduga berasal dari BPTWP terjadi di Bank Mandiri cabang Panglima Polim, Jakarta Selatan. Mengenai kapan tepatnya persidangan akan dimulai itu menjadi kewenangan majelis hakim, jawab Andi ketika ditanya mengenai jadwal sidang pertama perkara ini.

 

Dengan pertimbangan perkara ini adalah perkara koneksitas, maka susunan majelisnya pun terdiri dari hakim peradilan umum dan hakim peradilan militer. PN Jaksel menyumbang dua nama, yakni Soedarmadji sebagai ketua majelis dan Wahjono sebagai anggota majelis. Sementara, satu hakim lainnya berasal dari militer adalah Mayor CHK Budi Purnomo.

Halaman Selanjutnya:
Tags: