Mengkaji Gugatan PMH dalam Kasus Perusakan Lingkungan di Porong, Sidoarjo
Oleh: Fredrik J. Pinakunary*)

Mengkaji Gugatan PMH dalam Kasus Perusakan Lingkungan di Porong, Sidoarjo

Perdebatan mengenai keabsahan penjualan saham Kalila Energi Ltd. dan Pan Asia Enterprise Ltd. para pemegang saham Lapindo Brantas Inc. (Lapindo) oleh PT Energi Mega Persada (EMP) kepada Freehold Group Ltd., telah selesai dengan adanya pembatalan transaksi jual beli saham tersebut.

Bacaan 2 Menit
Mengkaji Gugatan PMH dalam Kasus Perusakan Lingkungan di Porong, Sidoarjo
Hukumonline

 

Permasalahannya apakah Lapindo telah melakukan perbuatan melawan hukum dan adakah keterlibatan EMP dalam perbuatan itu?

 

Perbuatan Melawan Hukum

Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti  kerugian tersebut. Jadi, unsur-unsur perbuatan melawan hukum terdiri dari:

1. Perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga mencakup perbuatan yang melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan prinsip kehati-hatian dan bertentangan dengan norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat. (Lihat: Putusan Lindenbaum-Cohen HR 1919);

2. Perbuatan sebagaimana dimaksud di atas mengandung kesalahan;

3. Mengakibatkan kerugian; dan

4. Terdapat hubungan sebab akibat antara kesalahan dengan kerugian.

 

Mengingat Indonesia adalah negara hukum, maka satu-satunya pihak atau lembaga yang berhak memutuskan atau menyatakan ada atau tidak adanya perbuatan melawan hukum adalah pengadilan melalui putusan. Berikut adalah analisis singkat mengenai unsur-unsur perbuatan melawan hukum bilamana korban menggugat.

 

1. Pelanggaran terhadap Hak Orang lain

Sudah menjadi fakta yang tidak terbantahkan (notoir feiten) bahwa luapan Lumpur akhirnya telah memakan korban jiwa dan menenggelamkan sekitar 8 desa sehingga 794 keluarga atau 2.174 orang telah mengungsi karena kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian, belum lagi sektor usaha yang terpaksa gulung tikar dan lahirnya sejumlah orang gila (sakit jiwa) baru di daerah tersebut  (Lihat: Koran Tempo 30 November 2006). Fakta-fakta tersebut memperlihatkan bahwa pengeboran yang dilakukan Lapindo telah merampas hak-hak dasar warga Porong, Sidoarjo untuk memeperoleh kehidupan secara layak seperti sebelum pengeboran dilakukan. Tentunya fakta-fakta ini harus dipertimbangkan oleh pengadilan untuk menentukan ada atau tidak adanya pelanggaran hak orang lain sebagai salah satu syarat gugatan perbuatan melawan hukum.

 

2. Kesalahan

Unsur kedua yang harus dibuktikan dalam gugatan perbuatan melawan hukum adalah kesalahan. Oleh karena itu, ada atau tidak adanya kesalahan Lapindo, akan diputus oleh pengadilan dalam persidangan. Permasalahannya bagaimana sistem pembuktian yang berlaku dan siapa yang harus membuktikan unsur kesalahan?

 

Mengenai sistem pembuktian dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Tanggung Jawab Atas Dasar Kesalahan

KUHPerdata kita menganut sistem tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on fault liability). Jadi, siapa yang menggugat harus membuktikan kesalahan tergugat (Lihat Pasal 1865 KUHPerdata dan prinsip actori incumbit probatio). Prinsip ini berfungsi untuk mencegah gugatan yang tidak berdasar dan bersifat mengada-ada, karena jika pembuktian dibebankan kepada tergugat maka dapat dipastikan bahwa akan lahir banyak gugatan yang tidak berdasar dan mengada-ada. Namun demikian, menurut kami ada hal-hal tertentu yang dapat dijadikan pertimbangan oleh pengadilan untuk tidak menerapkan sistem ini. Misalnya jika korban Lumpur menggugat, sudah selayaknya bagi pengadilan untuk tidak menerapkan sistem pembuktian tersebut karena masyarakat akan sangat kesulitan untuk membuktikan kesalahan Lapindo baik dari segi teknik pengeboran, penggunaan alat pengeboran, pemasangan selubung (casing) yang tentunya memerlukan tenaga ahli dan teknologi canggih yang biayanya sangat mahal dan sulit ditanggung oleh korban.

 

b. Tanggung Jawab Tanpa Kesalahan

Sudah menjadi fakta bahwa struktur sosial dalam masyarakat menimbulkan berbagai lapisan masyarakat. Lapisan atas adalah mereka yang mempunyai akses ke berbagai  kebutuhan ekonomi, sosial dan politik, sedangkan lapisan bawah biasanya tidak memiliki kesempatan yang dimiliki lapisan atas. Selanjutnya aktifitas di bidang industri yang dilakukan oleh dan menguntungan masyarakat di lapisan atas kerap membawa dampak negatif dalam kehidupan masyarakat kecil yang seringkali menjadi korban pemanfaatan tenaga, pencemaran lingkungan, dan penderitaan sosial lainnya. Fakta ini telah menjadi dasar dan alasan masyarakat lapisan bawah di Eropa untuk menuntut agar hukum melindungi kepentingan mereka dan sekaligus menjamin kehidupan ekonomi, politik maupun sosial masyarakat kecil. Pada saat itulah lahir ajaran hukum atau doktrin yang menuntut tanggung jawab para industriawan. Menurut doktrin tersebut, industriawan bertanggung jawab terhadap dampak negatif yang diakibatkan kegiatan industri tanpa harus membuktikan kesalahan industriawan bila kegiatannya menimbulkan kerugian. Dalam kasus Rylands vs Fletcher (1968) dikatakan …. the doctrine of strict (or absolute) liability has evolved in modern times in certain kinds of situation, that is not wrongful but give rise to liability even in the absence of an allegation of negligence or fault….

 

Selanjutnya tanggung jawab tanpa kesalahan atau tanggung jawab mutlak telah diterapkan dalam Konvensi Paris 1960 tentang Kapal Nuklir yang mengatakan: …because of special dangers involved in the activities within the scope of the convention and the difficulty of establishing negligence in view of the new techniques of atomic energy. Selain itu juga diatur dalam Konvensi Roma 1952 tentang Tanggung Jawab Terhadap Pihak Ketiga di permukaan Bumi, Montreal Agreement of 1966, Protokol Guatemala City 1971, Liability Convention of 1972 tentang Tanggung Jawab Internasional Peluncuran Benda-benda Angkasa, Pasal 35 UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 1992 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Dalam pasal 44 UU Nomor 15 Tahun 1992 dikatakan operator bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pihak ketiga di permukaan bumi dan tanggung jawab produk pesawat udara. (Lihat: Opini K. Martono SH, LL M pada Harian Kompas tanggal 9 April 2001).

 

Mengenai siapa yang harus membuktikan unsur kesalahan dalam permasalahan ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Bilamana korban menggugat berdasarkan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, maka seharusnya pengadilan menerapkan sistem pertanggungjawaban mutlak atau tanggung jawab tanpa kesalahan berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UUPLH dan penjelasannya[2].  Oleh karena itu pengadilan seharusnya menerapkan sistem beban pembuktian terbalik berdasarkan prinsip praduga bersalah sebagaimana telah diterapkan dalam Konvensi Warsawa 1929 yang diadopsi Indonesia dalam Staatblad 1939-100 tentang Ordonansi Pengangkutan Udara dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan dan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Selain Konvensi Warsawa, prinsip praduga bersalah (presumption of liability) juga dapat ditemui dalam Protocol The Hague 1955 dan Konvensi Guadalajara 1961.

 

Walaupun kesalahan tidak harus dibuktikan oleh korban, namun ada sejumlah indikasi bahwa Lapindo telah melakukan kesalahan. Hal ini antara lain dapat dilihat dari adanya permohonan arbitrase yang diajukan Medco terhadap Lapindo yang disebut-sebut telah melakukan gross negligence  karena tidak memasang selubung (casing) dan konon, PT Medici, kontraktor yang ditunjuk Lapindo untuk melakukan pengeboran tidak memiliki sertifikasi kompetensi.

 

3. Kerugian

Dalam permasalahan ini, telah terjadi kerugian immateriil dan materiil. Kerugian immateriil mencakup korban jiwa, depresi berat dan kegilaan, kehilangan ketenteraman hidup, masa lalu dan lain sebagainya yang tentunya tidak dapat dikalkulasi secara matematis. Selanjutnya kerugian materiil adalah sebesar US$ 140-170 juta plus biaya relokasi penduduk sebesar Rp.1-2 trilyun (versi Tim Nasional) atau US$180 juta – Rp.3 milyar (versi Danareksa) ditambah dengan US$ 106 (estimasi kerugian oleh Elliot Association Pte. Ltd. hingga akhir 2006) (Lihat Majalah Tempo, Edisi 27 November 2006).

 

Berdasarkan kajian Komnas HAM, terungkap telah terjadi kerusakan 170 hektar sawah, 3.614 orang dari 20 pabrik kehilangan pekerjaan, 1.532 keluarga (5.928 jiwa) kehilangan tempat tinggal, berbagai infrastruktur, seperti jalan, saluran irigasi, sekolah, kantor, masjid, musholla, dan puskesmas, rusak, serta sedikitnya 40 usaha kecil dan menengah tidak dapat berproduksi.

 

Dengan demikian unsur ketiga dalam perbuatan melawan hukum, yaitu kerugian telah jelas-jelas terjadi.

 

4. Adanya hubungan dengan akibat antar kesalahan dan kerugian

Unsur keempat yang harus dipenuhi dalam gugatan perbuatan melawan hukum adalah adanya hubungan sebab akibat antara kesalahan dan kerugian. Berdasarkan Penjelasan Pasal 35 UUPLH unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh korban untuk menuntut ganti kerugian. Namun demikian berdasarkan Pasal 35 ayat (2) UUPLH Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini:

a. adanya bencana alam atau peperangan;

b. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau

c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

 

Oleh karena itu, jika Lapindo dapat membuktikan hal-hal tersebut di atas, maka perseroan tersebut dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. Sebaliknya jika Lapindo tidak dapat membuktikan hal tersebut maka jelas terbukti bahwa kerugian yang dialami masyarakt Porong, Sidoarjo adalah akibat dari kesalahan Lapindo.

 

Demikian analisis mengenai unsur-unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

 

Selanjutnya adalah beberapa permasalahan yang dapat dibahas, yaitu: Kapan ganti kerugian diberikan kepada korban? Dalam masalah perusakan lingkungan sebagaimana terjadi di Porong, Sidoarjo, berdasarkan Pasal 35 UUPLH, Lapindo wajib membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya perusakan lingkungan hidup. Namun demikian, Undang-undang memberikan kesempatan bagi Lapindo untuk membela diri, misalnya dengan membuktikan bahwa luapan Lumpur tersebut akibat dari bencana alam. Jika bencana alam dapat dibuktikan dan pengadilan menyetujui hal tersebut maka Lapindo dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. Selanjutnya permasalahan ganti rugi dan pemulihan keadaan akan diambilalih Pemerintah.

 

Kucuran dana Lapindo dan Bakrie group kepada korban

Adapun fakta bahwa Lapindo dan Bakrie Group telah mengucurkan sejumlah dana untuk korban Lumpur adalah merupakan bentuk pelaksanaan rasa tanggung jawab dan pemenuhan terhadap ketentuan UUPLH tersebut. Permasalahannya, sebesar apa jumlah dana sukarela tersebut akan dikeluarkan oleh Bakrie Group? Sampai berapa lama? Apakah dana tersebut dapat mengganti kerugian seluruh korban? Apakah dana tersebut telah sesuai dengan harapan korban?

 

Permasalahan-permasalahan tersebut tidak dapat dibiarkan berlarut-larut begitu saja tanpa adanya kepastian mengenai jumlah ganti rugi, biaya relokasi penduduk dan pemulihan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang jelas. Oleh karena itu sudah selayaknya bagi Lapindo untuk segera menyerahkan ganti kerugian kepada korban setidak-tidaknya sebesar US$ 140-170 juta plus biaya relokasi penduduk sebesar Rp.1-2 trilyun (versi Tim Nasional) atau US$180 juta – Rp.3 milyar (versi Danareksa) ditambah dengan US$ 106 (estimasi kerugian oleh Elliot Association Pte. Ltd. hingga akhir 2006) (Lihat Majalah Tempo, Edisi 27 November 2006). Pembayaran ganti kerugian tersebut harus dilakukan secepat mungkin sebagaimana diperintahkan Pasal 35 UUPLH.  Jika tidak, korban dapat segera mengajukan gugatan dan meminta pengadilan untuk segera menjatuhkan putusan provisi dan putusan serta merta atau putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad) walaupun tergugat mengajukan banding atau kasasi.

 

Putusan Provisi dan Serta Merta

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 6 Tahun 1975, tanggal 1 Desember 1975 jo. SEMA Nomor 3 Tahun 1978, tanggal 1 April 1978, hakim diinstruksikan agar tidak menjatuhkan putusan serta merta atau putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu kecuali dalam hal-hal yang tidak dapat dihindarkan, putusan serta merta yang sangat exceptionil dapat dijatuhi. Selanjutnya berdasarkan SEMA No. 3 Tahun 2000 tanggal 21 Juli 2000, putusan serta merta dapat dikabulkan antara lain apabila gugatan provisi dikabulkan.

 

Menurut kami, jika gugatan diajukan oleh korban, demi alasan keadilan bagi korban Lumpur, hakim selayaknya mengabulkan tuntutan provisi dan mengeluarkan putusan serta merta karena telah terdapat hal-hal yang tidak dapat dihindarkan seperti korban jiwa yang berjatuhan serta kerugian material dan immaterial yang tak ternilai.  Dalam kaitan itu perlu dikemukakan bahwa ada hal-hal teknis yang cukup sulit bagi hakim untuk mengabulkan permohonan serta merta, misalnya kewajiban menyetorkan deposit oleh penggugat. Namun demikian, dalam permasalahan ini hakim diharapkan untuk lebih mengutamakan rasa keadilan bagi masyarakat yang menjadi korban Lumpur tersebut.

 

Pihak yang berhak menggugat dan mekanisme pengajuan gugatan

Mengenai siapa yang dapat menggugat dan mekanisme gugatan apa yang dapat diajukan, kami berpendapat bahwa masyarakat yang menjadi korban berhak mengajukan gugatan dengan mekanisme gugatan perwakilan kelompok atau Class Action (Lihat: Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok). Selain masyarakat, organisasi yang bergerak di bidang lingkungan juga memiliki alas hak (legal standing) untuk menggugat dengan mekanisme Hak Gugat Lembaga Swadaya Masyarakat atau NGO's Standing to Sue (Lihat: Pasal 38 ayat (1) UUPLH). Selanjutnya mengenai hukum material yang harus dijadikan sebagai dasar gugatan, kami berpendapat bahwa gugatan tersebut harus diajukan berdasarkan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

 

Kapan EMP dapat diminta pertanggungjawaban

EMP sebagai pemegang saham Lapindo melalui Kalila Energi Ltd. dan Pan Asia Enterprise Ltd. dapat diminta pertanggungjawaban bilamana pengadilan telah menyatakan bahwa Lapindo melakukan perbuatan hukum dan EMP juga terlibat dalam perbuatan itu. Jika keterlibatan EMP terbukti, maka tanggung jawab EMP menjadi tidak tak terbatas. Artinya EMP harus bertanggung jawab secara pribadi atas perbuatan Lapindo.

 

Sehubungan dengan itu, perlu dikemukakan bahwa total aktiva EMP adalah sebesar US$ 837 juta. Artinya aktiva perseroan tersebut masih jauh berada di atas estimasi kerugian dan biaya bencana sebagaimana dikemukakan di atas. Disamping itu Bakrie Group juga menguasai PT Bumi Resources yang memiliki aktiva per 31 Maret 2006 sebesar US$1,867 miliar (Lihat: Minergynews.com tanggal 14 Juni 2006).

 

Pemberitaan bahwa Bakrie Group telah memberikan dana US$ 40 juta dan data mengenai kondisi aktiva EMP dapat dijadikan sebagai alasan untuk menyatakan kurang adanya itikad baik Lapindo, EMP atau Bakrie Group dalam memberikan ganti kerugian kepada korban. Tentunya dapat dilihat bahwa EMP dan Bakrie Group sangat memiliki kemampuan untuk segera memberikan dana sejumlah US$ 106 juta ditambah biaya bencana sebesar US$170 sebagaimana dikemukakan di atas. Dengan demikian, fakta bahwa masyarakat masih dalam keadaan terpuruk seharusnya dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Lapindo, EMP, Bakrie Group untuk segera memberikan dana tersebut kepada korban.

 

Bagaimana jika Lapindo Pailit

Apabila EMP terbukti terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang diduga telah dilakukan oleh Lapindo, maka dalam hal Lapindo pailit, EMP dapat dituntut untuk mengganti seluruh kerugian yang diakibatkan oleh Lapindo.

 

Sehubungan dengan itu, bilamana ganti kerugian yang saat ini diberikan Lapindo masih jauh dari harapan, maka korban dapat mempertimbangkan untuk mengajukan gugatan perdata dengan harapan pengadilan segera menjatuhkan putusan serta merta dan juga putusan yang menyatakan bahwa EMP terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Lapindo. Dengan demikian sekalipun Lapindo pailit, masyarakat masih memiliki dasar hukum yang kuat untuk menuntut pertanggungjawaban EMP yang jelas-jelas memiliki aktiva yang sangat besar.

 

 

Tanpa putusan pengadilan yang menyatakan keterlibatan EMP dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan Lapindo, maka EMP masih memiliki dalih untuk bernaung di bawah Pasal 3 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa pemegang saham perseroan tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang telah diambilnya. Sebaliknya, eksistensi putusan pengadilan sebagaimana dikemukakan di atas dapat menjadi alasan untuk meniadakan perlindungan terhadap EMP sebagai pemegang saham Lapindo (Lihat: Pasal 3 ayat (2) UUPT).

 

Ada pepatah Latin yang menyatakan Non solum quid licet, sed quid est conveniens, est considerandum; quia nihil quod est inconvenienis est licitum (Not only what is lawful, but what is proper or convenient, is to be considered; because nothing that is inconvenient is lawful). Tentunya menjadi harapan korban Lumpur agar hakim yang mengadili gugatan mereka tidak hanya mempergunakan penafsiran hukum semata melainkan juga mempertimbangkan hal-hal yang wajar atau pantas (proper) untuk dipertimbangkan seperti aspek kemanusiaan, sosial, ekonomi dan budaya karena telah menjadi adagium bahwa tidak ada suatu hal yang tidak pantas (baca: tidak adil) yang sesuai dengan hukum.

 

Khususnya kepada korban Lumpur ingatlah pepatah yang berbunyi Lou le lay done chose, la ceo done remedie a vener a ceo (where the law gives a right, it gives a remedy to recover). Jadi, gunakanlah hak yang telah diberikan karena hukum pada hakekatnya memberikan solusi (remedy) bagi anda untuk mendapatkan kembali (recover) hak-hak anda yang lahir dari luapan Lumpur tersebut.

 

*) Fredrik J. Pinakunary adalah advokat pada Lubis, Santosa & Maulana Law Offices



[1] Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya

 

[2]  Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Selanjutnya Penjelasan Pasal 35 antara lain mengemukakan bahwa pengertian bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melawan hukum pada umumnya.

Terlepas dari kontroversi penjualan saham tersebut, Lapindo dan para pemegang saham tetap diminta untuk sesegera mungkin memberikan ganti kerugian yang layak bagi masyarakat yang menjadi korban Lumpur. Tulisan ini membahas tentang dasar dan alasan tuntutan pertangungjawaban perdata yang dapat diajukan oleh masyarakat yang menjadi korban Lumpur tersebut.

 

Tanggung jawab Perdata

Secara perdata Lapindo dapat digolongkan sebagai perusahaan sekarat, mengingat tumpukan tanggung jawab (liabilities) yang sudah sangat tinggi dan tentunya akan bertambah banyak lagi seiring dengan derasnya luapan Lumpur dan meningkatnya jumlah korban, baik korban jiwa maupun korban materiil dan immateriil yang telah dan dapat terjadi lagi. Hal ini telah diakui dan dinyatakan sendiri oleh Nirwan Bakrie dalam Majalah Tempo Edisi 27 November 2006.

 

Seiring dengan itu Hilmi Panigoro pernah menyatakan bahwa Medco dapat saja mempailitkan Lapindo. Pertanyaannya, bagaimana jika Lapindo pailit baik melalui pemailitan yang dilakukan oleh Lapindo sendiri (voluntary bankruptcy) atau dipailitkan oleh salah satu rekanan atau krediturnya (involuntary bankruptcy).

 

Tentu dapat diperkirakan bahwa Lapindo telah memiliki cukup alasan untuk memailitkan diri sendiri atau dipailitkan oleh krediturnya, karena sangat mungkin bahwa persyaratan pemailitan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, diperkirakan telah terpenuhi.[1] Sehubungan dengan itu jika Lapindo pailit, apakah EMP dapat begitu saja lepas dari tanggung jawab hukum yang diakibatkan oleh Lapindo?

 

Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu dikaji Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) yang menyatakan bahwa pemegang saham perseroan tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang telah diambilnya. Namun demikian, Pasal 3 ayat (2) UUPT menyatakan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, antara lain apabila Pemegang Saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan (piercing the corporate veil). Dengan demikian tanggung jawab EMP menjadi tidak tak terbatas bilamana EMP terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Lapindo.

Tags: