Mempertanyakan Hegemoni Recall Anggota DPR di Tangan Partai Politik
Fokus

Mempertanyakan Hegemoni Recall Anggota DPR di Tangan Partai Politik

Ada harapan mekanisme recall tidak menjadi hak monopoli Parpol, tapi juga konstituen. Hanya saja, perlu dirumuskan mekanisme yang operasional implementatif.

Oleh:
Aru
Bacaan 2 Menit
Mempertanyakan Hegemoni <i>Recall</i> Anggota DPR di Tangan Partai Politik
Hukumonline

 

Jika dirunut sejarahnya, recall dikenal pada masa pemilu Orde Baru (1971-1997) yang menganut sistem pemilu proporsional murni, sedangkan dalam pemilu 1999 yang juga menganut sistem proporsional murni tidak dikenal recall, dan recall ternyata dihidupkan kembali dalam Pemilu 2004 yang menganut sistem Pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka (bernuansa/semi distrik).

 

Recall Kontroversial

No.

Nama

Partai

Alasan Recall

1.

Azzidin

Partai Demokrat

Direcall lewat pemecatan Badan Kehormatan. Kasus katering haji

2.

Marissa Haque

PDIP

Maju sebagai calon Wakil Gubernur dalam Pilkada Propinsi Banten

3.

Djoko Edhi Sutjipto Abdurrahman

PAN

Ikut studi banding RUU Perjudian ke Mesir

4.

Zaenal Ma'arif (?)

PBR

Poligami. Masih menjadi perdebatan.

Sumber: diolah dari berbagai sumber

 

Bangkit kembalinya recall diatur dalam Pasal 85 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU Susduk) dan Pasal 8 huruf g Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang partai Politik (UU Parpol). Bahkan, posisi recall semakin diperkukuh dengan payung Konstitusi. Tepatnya pada Pasal 22 B UUD 1945 Amandemen Kedua.

 

Memang, semua aturan tidak menyebutkan dengan jelas dalam hal mana seorang anggota DPR dapar di recall. Namun dalam buku Dewan Perwakilan Rakyat Periode 1999-2004 yang dikeluarkan Sekretariat Jendral DPR, recall ditujukan kepada anggota Parpol yang tidak menunjukkan loyalitas kepada Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Contohnya Marissa yang dianggap mbalelo karena DPP PDIP telah menunjuk calon dalam Pilkada Propinsi Banten.   

 

Menurut anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Lukman Hakim Syaifudin, masalah recall ini sangat dipengaruhi Sistem Pemilihan Umum (Pemilu) yang dianut di suatu negara. Dalam konteks Indonesia, menurut Lukman, peserta Pemilu adalah Parpol bukan perorangan.

 

Nah memang masyarakat diberikan peluang untuk menentukan diantara yang diusulkan parpol itu. Tapi penentuannya pun pada akhirnya parpol ‘kan karena ditentukan nomor urut, bukan berdasarkan suara terbanyak, ujar Lukman yang ditemui di DPR, Rabu (17/1). Karenanya, lanjut Lukman, terlepas suka atau tidak suka, kenyataan sistem pemilu menjadikan kewenangan Parpol demikian besar.

 

Senada dengan Lukman, ditemui secara terpisah, akademisi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Denny Indrayana menyatakan dalam Sistem Pemilu Distrik, konstituen mempunyai kedudukan yang kuat untuk menentukan nasib wakil rakyat yang berangkat dari distrik yang bersangkutan. Sementara, Sistem Proporsional yang dianut Indonesia, meski kedudukan konstituen tidak terlalu kuat namun bukan berarti tidak ada sama sekali.

 

Dalam keterangannya saat menjadi ahli dalam perkara Djoko Edhi di MK, terkait dengan Sistem Pemilu dan Recall, Denny menyatakan ada problematika dalam Konstitusi. Problematika itu menurut menurut peraih Doktor of Philosophy (Ph.D) dari Faculty of Law University of Melbourne, Australia ini adalah tidak disebutkannya Sistem Pemilu dalam Konstitusi. Hal inilah yang menurut Denny menjadi pintu pembuka bagi elit Parpol untuk bermain-main dengan Sistem Pemilu.

 

Nah, dalam perkara Djoko Edhi, Djoko merasa hak konstitusionalnya untuk melaksanakan aspirasi dan amanat rakyat dan hak pelaksanaan tugas DPR dengan baik telah terlanggar dengan recall atas dirinya. Karenanya, Djoko Edhi memohonkan judicial review UU Susduk dan UU Parpol ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK sendiri dalam putusannya yang berkomposisi 5:4 menolak permohonan itu. Alias menyatakan hak recall Parpol adalah sah atau konstitusional.

 

Mekanisme Recall   

Mekanisme recall di Indonesia sangat sederhana. Cukup usul DPP Parpol disampaikan kepada pimpinan DPR. Pimpinan DPR akan meneruskan kepada Presiden untuk dikeluarkan Keputusan Presiden (Keppres). Presiden dan DPR dalam hal ini sifatnya hanya sebagai kotak surat dan pengesahan saja. Pasalnya baik Pimpinan DPR maupun Presiden tidak bisa menolak usul itu. Sifatnya hanya administratif.

 

Kewenangan besar Parpol yang ditegaskan MK ini menimbulkan tanya, benarkah Parpol dapat mencabut mandat seorang anggota DPR yang diberikan ribuan konstituennya. Apalagi hanya dengan alasan melanggar Anggaran Dasar atau Anggaran rumah Tangga (AD/ART) yang seringkali tidak jelas. Banyak pihak termasuk pengamat politik Arbi Sanit mempertanyakan hal itu.

 

Menurut Arbi saat menjadi ahli dalam sidang perkara Djoko Edhi, kembalinya recall menunjukkan kemunduran. Kembali ke zaman otoritarian. Parpol saat ini menurut Arbi terjebak kembali oleh masa lalu. Menjadi amat berkuasa baik terhadap rakyat maupun warganya sendiri.

 

Berbeda dengan Arbi, MK dalam putusannya menyatakan recall tidak melanggar Konstitusi. Menurut Mahkamah, salah satu upaya dalam memberdayakan Parpol adalah dengan memberikan hak atau kewenangan untuk menjatuhkan tindakan dalam menegakkan disiplin terhadap anggotanya, agar anggota bersikap dan berbuat tidak menyimpang. Apalagi bertentangan dengan AD/ART.

 

Mahkamah khawatir, kalau Parpol tidak diberi wewenang menjatuhkan sanksi terhadap anggotanya yang menyimpang dari AD/ART atau kebijaksanaan Parpol maka anggota Parpol bebas berbuat semena-mena.

 

Sependapat dengan Mahkamah, menurut Lukman, recall sebagai hak Parpol dilandasi semangat pengawasan terhadap anggota DPR. Akan menjadi susah menurut Lukman kalau tidak ada mekanisme pengawasan terhadap wakil rakyat. Semangat itulah yang menurut Lukman melatarbelakangi diaturnya kembali recall yang sempat dikubur pada 1999.    

 

Namun hal ini ditepis oleh dua hakim konstitusi Prof. Jimly Asshidiqie dan Maruarar Siahaan. Dalam dissenting opinion nya, baik Jimly dan Maruarar sepakat bahwa jika recalling anggota DPR semata-mata atas dasar pelanggaran AD/ART partai yang bersifat hukum privat, maka hal itu merupakan pengingkaran atas sifat hubungan hukum anggota DPR dengan konstituen dan lembaga negara, yang seyogianya tunduk pada hukum publik (konstitusi).

 

Menurut kedua hakim konstitusi tersebut, recalling yang dilakukan partai politik terhadap anggotanya yang duduk di DPR, baik karena alasan-alasan disiplin partai dan alasan pelanggaran anggaran dasar dan rumah tangga, di samping diatur oleh hukum privat AD/ART partai juga harus tunduk pada hukum publik.

 

Anehnya, Mahkamah seolah berpendapat bahwa kebijaksanaan Parpol pasti untuk kepentingan rakyat. Sehingga terbangun logika tindakan anggota Parpol yang tidak sesuai dengan kebijakan Parpol pasti bertentangan dengan kepentingan rakyat. Hal mana dapat ditemui dalam pertimbangan Mahkamah yang menyatakan kebijaksanaan dan program Parpol sejatinya merupakan pemaduan (agregasi) yang dilakukan oleh Parpol dari berbagai kepentngan rakyat yang beragam. 

 

Kedaulatan Rakyat Bukan Kedaulatan Partai

Dalam rangka pengawasan anggota Parlemen, Lukman menginginkan mekanisme itu tidak menjadi monopoli Parpol. Tapi juga konstituen. Setidaknya konstituen di daerah-daerah pemilihan. Pertanyaan besarnya adalah bagaimana mekanismenya itu yang belum ada konsepsi yang utuh. Saya juga belum punya gambaran operasional yang implementatif, urai Lukman.

 

Sebelum ke tahapan mekanisme, menarik disimak pendapat hakim konstitusi Laica Marzuki. Laica yang termasuk dalam barisan empat hakim konstitusi yang menyatakan dissenting menyatakan recall legislation tidak lazim diterapkan di Parlemen negara yang menganut Sistem Pemerintahan Presidensiil, yang anggotanya dipilih menurut sistem distrik atau single member constituency. Mengingat sistem proporsional dengan daftar calon terbuka dalam Pemilu 2004, seyogianya menurut Laica paran anggota DPR yang terpilih tidak dapat di-recall oleh Parpol.

 

Penggunaan hak recall oleh Parpol, lanjut Laica cenderung menjadikan Parpol dominan terhadap anggota partainya sehingga anggota dewan lebih mementingkan kepentingan partainya dari pada membawakan aspirasi rakyat. Anggota dewan yang bersangkutan akan takut pada tindakan recall yang sewaktu-waktu dapat dikenakan terhadap dirinya. Dengan demikian, menurut Laica parlemen menjadi tidak solid serta tidak stabil, dikendalikan oleh elit partai-partai politik dari luar

 

Jika demikian, bagaimana mekanisme recall oleh konstituen? Apakah perlu diadakan polling untuk mengetahui bagaimana sikap konstituen di suatu daerah. Sebenarnya, mekanisme recall oleh konstituen ini mempunyai banyak varian. Sebut saja Amerika. Di Amerika menurut Denny ada dua mekanisme. Pertama, bisa dimulai pengumpulan tandatangan 10 orang. Tapi mereka harus bertanggungjawab mengumpulkan sekian persen suara yang memilih Senator. Setelah itu prosesnya bisa diteruskan ke Badan Kehormatan. Kedua, proses impeachment (pemakzulan) dengan diadakan pemilu di distrik bersangkutan. Pilihannya, di recall atau tidak. Prosesnya memang panjang. Itu adalah pilihan, tukas Denny.

 

Namun demikian, konsep seperti ini menimbulkan masalah, pasalnya, konsep perwakilan di Indonesia adalah perwakilan nasional bukan daerah,. Seorang anggota DPR adalah wakil rakyat bukan wakil daerah seperti DPD. Namun, mengutip pendapat hakim konstitusi Prof. Abdul Mukhtie Fajar yang juga termasuk hakim yang mengajukan dissenting, Indonesia menganut kedaulatan rakyat bukan kedaulatan partai.

 

Upaya Hukum

Jika sampai pada titik Parpol menjatuhkan titah me-recall anggotanya di Parlemen, lalu apa yang bisa dilakukan anggota DPR korban recall ini. Atau bahkan apakah konstituen yang tidak terima bisa mengajukan upaya hukum? Gugat perdata misalnya.

 

Sejarah mencatat Sri Bintang Pamungkas di-recall oleh Partai Persatuan Pembangunan pada 1995. Latarbelakangnya, Bintang kerap menyampaikan kritik terhadap Pemerintah. Puncaknya, Bintang menolak pertanggungjawabannya kepada Soeharto tahun 1993. tidak terima dengan recall atas dirinya, Bintang menggugat Keppre No.150/M Tahun 1995. ia mendaftarkan gugatan TUN 10 Agustus 1995 namun kandas. Hakim menyatakan recall sah.

 

Berbeda dengan Bintang, Djoko Edhi awalnya berupaya lewat jalur internal. Yakni Badan Arbitrase PAN. Upaya internal gagal, baru Djoko Edhi maju ke MK yang hasilnya tidak jauh berbeda. Alias gagal. Soal upaya hukum ini, Jimly dan Maruarar menilai bahwa recall oleh partai politik terhadap anggotanya yang ada di MPR  tidak dapat dibenarkan jika dilakukan serta merta tanpa melalui satu due process of law dalam mekanisme hukum.

 

Segendang sepenarian, Lukman setuju dengan adanya due process of law dalam mekanisme hukum. Namun demikian, Denny memandang sulit bagi korban recall atau malah konstituen untuk mempermasalahkan recall oleh Parpol. Menggugat Keppres ke PTUN akan sulit dikabulkan karena Keppres sifatnya hanya menyetujui saja alias administratif. Jika mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum di Pengadilan Negeri, akan menjadi masalah. Karena landasan konstitusionalnya dibenarkan ke MK. Akhirnya akan kembali ke MK. Sah kok kata MK, demikian Denny. 

 

Gara-gara kedapatan mengikuti studi banding Rancangan Undang-Undang (RUU) Perjudian ke Mesir, anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Djoko Edhi Sutjipto Abdurrahman di recall. Gara-gara memenuhi pinangan Partai Keadilan Sejahtera untuk menjadi calon Wakil Gubernur Propinsi Banten, Marissa Haque di recall Partai Demokrasi Indonesia perjuangan (PDIP). Senasib dengan Djoko dan Marissa, Wakil Ketua DPR Zaenal Ma'arif dari Partai Bintang Reformasi pun terancam di-recall gara-gara poligami.

 

Kata recall dalam bahasa Inggris mempunyai beberapa pengertian. Setidaknya empat menurut Peter Salim dalam The Contemporary English-Indonesia, yakni mengingat, memanggil kembali, menarik kembali atau membatalkan. Sementara, dalam kamus politik karangan BN Marbun, recall diartikan sebagai suatu proses penarikan kembali atau penggantian anggota DPR oleh induk organisasinya. Tentu saja Partai Politik (Parpol).

Tags: