MPR dan DPRAncaman Baru Bagi Kekuasaan Kehakiman?
Kolom

MPR dan DPRAncaman Baru Bagi Kekuasaan Kehakiman?

Masalah independensi kekuasaan kehakiman memasuki babak baru. Sebelumnya, ancaman terhadap kemandirian kekuasaan kehakiman lebih disebabkan karena peluang intervensi terhadap peradilan oleh pihak eksekutif (dan sebenarnya juga dilakukan oleh yudikatif –Mahkamah Agung). Kini dengan adanya perubahan situasi politik Indonesia pada tahun-tahun belakangan ini, ancaman tersebut juga datang dari lembaga legislatif atau lebih luas pada lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR).

Bacaan 2 Menit
MPR dan DPRAncaman Baru Bagi Kekuasaan Kehakiman?
Hukumonline

Hal ini merupakan konsekuensi logis dari pertarungan 3 (tiga) lembaga negara, yaitu DPR (termasuk MPR karena sebagian besar anggota DPR adalah anggota MPR), Mahkamah Agung, dan Presiden untuk saling menguatkan diri.

Tulisan ini bermaksud untuk mengulas bagaimana MPR dan DPR berupaya untuk menguatkan dirinya, dan di sisi lain mengancam independensi kekuasaan kehakiman dan melemahkan kewenangan yang seharusnya dimiliki oleh lembaga kekuasaan kehakiman. 

Beberapa isu yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah: Pertama, pemberian wewenangan kepada MPR untuk melakukan pengujian terhadap Undang-Undang. Kedua, pembuatan aturan agar seluruh lembaga negara, termasuk MA, memberikan laporan kepada MPR untuk dinilai. Ketiga, permainan politik dalam pemilihan hakim agung dan Ketua serta Wakil Ketua MA. Kelima, penolakan gagasan Komisi Yudisial.

Hak uji materiil oleh MPR

Sidang Tahunan MPR tahun 2000 menetapkan suatu Ketetapan MPR yang kontroversial, yaitu Tap MPR No. III/MPR/2000. Salah satu muatan Tap tersebut adalah pemberian kewenangan untuk menguji kesesuaian Undang-Undang dan Ketetapan MPR dengan Undang-Undang Dasar (Pasal 5). Sebuah kewenangan yang biasa dikenal sebagai hak uji material. 

Pada dasarnya, munculnya konsep hak uji materiil adalah untuk menjaga agar segala peraturan perundang-undangan (termasuk UU) yang dibuat oleh organ negara tidak bertentangan dengan semangat konstitusi. Konsep ini dibuat dengan asumsi bahwa konstitusi merupakan aturan dasar negara tertinggi di mana di dalamnya diatur hal-hal yang pembagian kekuasaan organ-organ negara secara imbang dan jaminan hak asasi manusia dan hal-hal fundamen lainnya.

Dengan dasar pemikiran tersebut, maka dapat dicegah berlakunya peraturan perundang-undangan yang dibuat semata-mata untuk kepentingan politik semata dan merugikan masyarakat. Karena itu dapat dimengerti, mengapa di berbagai negara di dunia, kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan diberikan kepada lembaga yang tidak memiliki kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, akan terbebas dari conflict of interest, misalnya Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.

Jika melihat dasar berpikir di atas, maka jelas bahwa pemberian kewenangan menguji kesesuaian TAP MPR dan UU dengan konstitusi kepada MPR tidak pada tempatnya. Bagaimana mungkin MPR, lembaga yang membuat TAP MPR, dapat menguji Tap yang dibuatnya sendiri secara objektif, yaitu berdasarkan atas penafsiran-penafsiran hukum dan bukan penafsiran politik semata. Dan bagaimana mungkin MPR, yang mayoritas anggotanya adalah anggota DPR, dapat menguji secara objektif UU yang dibuat oleh DPR (dan Presiden).

Tags: