Menelisik Kajian Internal DPR dan Gagasan Socially Responsible Law-Making
Fokus

Menelisik Kajian Internal DPR dan Gagasan Socially Responsible Law-Making

Laporan Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR mengungkapkan sejumlah masalah yang harus segera dibenahi, terutama fungsi legislasi. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia menggagas pembentukan hukum yang bertanggung jawab secara sosial.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Menelisik Kajian Internal DPR dan Gagasan <i>Socially Responsible Law-Making</i>
Hukumonline

 

Setelah itu, Tim Kajian mengidentifikasi masalah dan menelaah penyebab masalah-masalah itu timbul. Ruang lingkup kajian sesuai dengan fungsi yang dimiliki DPR, yaitu fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran. Masalah yang muncul pada ketiga bidang itu disisir satu per satu, untuk kemudian dicarikan solusinya. Hasil kajian Tim sudah disampaikan Darul Siska dalam Rapat Paripurna DPR 8 Desember lalu. Sayang, gaung laporan itu tidak terlalu terdengar dan tak sampai menimbulkan pro kontra.

 

Kalau boleh disebut, pembahasan atas Laporan Tim Kajian adalah diskusi informal di sebuah gedung di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan berselang beberapa hari setelah Laporan Tim disampaikan ke Rapat Paripurna. Hadir saat itu sejumlah kalangan yang selama ini banyak mengkritisi kinerja Dewan. Yang paling banyak disorot adalah kinerja bidang legislasi alias pembuatan undang-undang (UU).

 

Meski tak membahas secara khusus Laporan Tim Kajian, sejumlah dosen dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia juga menjadikan legislasi sebagai isu sentral dalam Catatan Akhir Tahun 2006 dan Prospek 2007. Lukman Hakim Saifuddin, anggota Tim Kajian, hadir dalam acara di kampus UI Depok ini dan  berusaha menjawab kritikan kalangan akademisi.

 

Tiga Masalah, Enam Solusi, Sembilan Rekomendasi

Kalau di runut kembali ke Laporan Tim Kajian, tercatat ada tiga masalah utama yang dihadapi DPR dalam bidang legislasi. Pertama, kualitas UU yang dihasilkan belum memadai sehingga kurang memberi manfaat langsung bagi kehidupan masyarakat. RUU yang menyangkut kepentingan hidup rakyat banyak tetapi tak banyak berkaitan dengan faktor-faktor ekonomis misalnya, pembahasannya berlarut-larut. Proses pembahasannya pun acapkali sepi dari anggota Dewan.

 

Kedua, target jumlah penyelesaian RUU yang telah ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) belum terpenuhi. Berdasarkan catatan hukumonline, dalam daftar Prolegnas 2007, 45 RUU di antaranya merupakan limpahan alias sisa yang belum selesai dibahas pada tahun 2005 dan 2006. Jumlah itu pasti bertambah karena dalam tahun 2007 ada 30 RUU yang menjadi prioritas. Bivitri Susanti, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) memprediksi bahwa perhatian DPR tahun ini akan lebih terfokus pada paket RUU bidang politik seperti RUU Pemilu, Parpol, dan Susduk.

 

Belum lagi apa yang diakui Eva Sundari, anggota DPR, tidak jarang muncul RUU baru yang sebelumnya tidak masuk Prolegnas. Selain itu harus dilihat pula siapa yang mengendors RUU tersebut, apakah Pemerintah atau Dewan. Eva memberi contoh RUU Keamanan Nasional (Kamnas) dan RUU Kepabeanan. Belum lagi supporting system yang belum sepenuhnya mendukung. Bayangkan jumlah petugas keamanan dalam (pamdal) jauh lebih banyak dibanding tenaga ahli buat anggota Dewan.

 

Ketiga, proses pembahasan RUU kurang transparan, sehingga sulit diakses publik. Menurut Bivitri Susanti, semua pemangku kepentingan perlu dimintai pendapat oleh DPR mengenai materi RUU yang sedang dibahas. Harus ada upaya memperkuat partisipasi masyarakat di satu sisi, dan akuntabilitas anggota Dewan di sisi lain. 

 

Untuk mengatasi ketiga persoalan utama tadi, Tim Kajian mengajukan enam solusi yaitu: (i) meningkatkan sosialisasi mekanisme dan proses penyusunan UU; (ii) membuka peluang partisipasi publik secara luas dalam proses penyusunan UU; (iii) merumuskan format penyerapan aspirasi masyarakat; (iv) meningkatkan kualitas dan profesionalisme staf pendukung; (v) mengembangkan perpustakaan menjadi bank data dan pusat pelayanan informasi parlemen; (vi) meningkatkan kemauan dan kemampuan anggota DPR mengakses data dan informasi.

 

Selain mewujudkan keenam solusi, Tim Kajian mengajukan sembilan rekomendasi. Kesembilan rekomendasi itu dapat dilihat pada tabel berikut:

 

  1. Merevisi Peraturan Tata Tertib DPR terutama mengenai (i) keanggotaan, tugas, fungsi, dan mekanisme kerja Baleg; (ii) mekanisme kerja antara anggota DPR (pengusul RUU), Alat Kelengkapan dengan Baleg dalam pengajuan RUU; (iii) pengaturan mengenai sifat-sifat rapat pembahasan RUU agar dilakukan secara terbuka sehingga mudah diakses publik.
  2. Meningkatkan rapat koordinasi Baleg dengan Alat Kelengkapan Dewan untuk mengevaluasi target RUU per tahun.
  3. Merumuskan kembali kewenangan Bamus dalam pengambilan keputusan.
  4. Penyusunan agenda dan jadwal rapat yang lebih efektif.
  5. Penataan ulang desain ruang-ruang rapat sehingga lebih kondusif bagi proses demokrasi.
  6. Kehadiran pimpinan Dewan dan Alat Kelengkapan Dewan dalam rapat-rapat.
  7. Penentuan sifat Rapat Panja pada dasarnya terbuka kecuali rapat menentukan lain.
  8. Membangun kesepakatan Pemerintah dan DPR dalam menentukan batas waktu penyelesaian suatu UU.
  9. Meningkatkan kerja sama dengan lembaga pendidikan tinggi dan institusi atau lembaga lain terkait dengan perundang-undangan.

 

 

Socially responsible law-making

Begitulah adanya. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia merasa terpanggil untuk menggagas suatu proses pembuatan hukum yang bertanggung jawab secara sosial. Gagasan itu dilansir ke publik bersamaan dengan peluncuran hasil catatan lembaga itu mengenai kualitas legislasi 2006. Catatan PSHK bertajuk ‘Bobot Kurang, Janji Masih Terutang' itu belum jauh bergeser dari catatan-catatan terdahulu maupun hasil kajian lembaga lain.

 

Konsep socially responsible law-making mengandung arti pergeseran penilaian kinerja legislasi DPR. Selama ini, ukuran kinerja lebih dititikberatkan pada jumlah UU yang dihasilkan dalam satu periode masa sidang. Faktanya, selalu saja ada sisa RUU yang tak selesai dibahas. Bahkan ada yang sudah bertahun-tahun tak kunjung selesai. RUU KMIP termasuk dalam kategori ini. Alih-alih menyelesaikan RUU tersebut, Pemerintah malah mengajukan RUU tanding berupa RUU Rahasia Negara. Alhasil, terjadi adu kekuatan antara mereka yang menganggap KMIP sebagai payung (umbrella act) bagi RUU Rahasia Negara dengan pandangan sebaliknya.

 

Kini, penilaian kinerja bergeser pada kualitas. Kinerja legislasi DPR diukur dari kualitas UU yang mereka hasilkan. Mengambil contoh legislasi 2006, PSHK mencatat ada 39 UU yang dihasilkan DPR. Dari sisi jumlah, tentu hasil ini relative banyak. Tetapi jangan lupa bahwa 16 diantaranya adalah UU Pemekaran Wilayah, 1 penetapan Perpu menjadi UU, 7 UU pengesahan konvensi internasional atau perjanjian kerja sama bilateral, dan 4 UU berkaitan dengan APBN. Jadi, simpul PSHK, hanya ada 11 UU kategori non-rutin.

 

Pada tahun 2007 ini setumpuk pekerjaan sudah menanti di meja anggota Dewan. Selain tumpukan 76 RUU, DPR hampir pasti akan disibukkan pula dengan tugas lain seperti seleksi hakim agung, seleksi anggota KPK dan sejumlah komisi lain. Jadi? Tidak banyak yang bisa dikatakan mengenai politik legislasi 2007, ujar Bivitri.

Respondennya 550. Tugasnya mengkaji fungsi ke-550 orang tersebut, apakah sudah berjalan sebagaimana mestinya atau belum. Toh, hanya butuh waktu kurang dari 10 bulan bagi Darul Siska dan tim untuk menyelesaikan kajian mereka terhadap kinerja lembaga dimana ke-550 orang itu bernaung. Hasilnya adalah sebuah laporan setebal 134 halaman bertajuk Reformasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia: Laporan Hasil Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI. Hasil kajian itu akan dibukukan. Oh ya, Tim Kajian ditetapkan melalui SK Pimpinan DPR No. 12 tertanggal 16 Februari 2006.

 

Darul Siska adalah politisi Partai Golkar yang menjabat Wakil Ketua di dalam Tim. Tim ini melakukan kajian terhadap kinerja DPR. Selain Darul Siska, Tim diisi nama-nama seperti Eva Kusuma Sundari, Lukman Hakim Saifuddin, dan Alvin Lie. Sekilas akan timbul pertanyaan mengapa tim yang mengkaji kinerja DPR justeru berasal dari orang dalam sendiri. Tetapi, seperti disebutkan Wakil Ketua DPR Zaenal Ma'arif (yang sekaligus bertindak selaku Ketua Tim, Tim Kajian dibentuk untuk merespon penilaian negatif masyarakat terhadap kinerja DPR. Raison d ‘etre-nya adalah menjadikan kritik, kekecewaan dan tanggapan negatif masyarakat sebagai dasar untuk memperbaiki kinerja Dewan.

 

Tim dipimpin Darul Siska pun bekerja kurang dari 10 bulan. Dimulai dengan pengumpulan data dan informasi mengenai kinerja Dewan dari orang dalam atau pun orang luar. Selain lembaga swadaya masyarakat yang selama ini mengamati DPR, Tim Kajian juga mengundang Lembaga Administrasi Negara (LAN), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bappenas, Badan Pemeriksa Keuangan, plus mengunjungi redaksi dua media cetak.

Halaman Selanjutnya:
Tags: