Eggy Divonis 3 Bulan Penjara
Berita

Eggy Divonis 3 Bulan Penjara

Putusan MK yang membatalkan pasal penghinaan presiden tak mempengaruhi putusan hakim. Kuasa hukum Eggy menuding bahwa hakim telah melampaui kewenangannya.

Oleh:
CRH
Bacaan 2 Menit
Eggy Divonis 3 Bulan Penjara
Hukumonline

 

Majelis menambahkan, pada dasarnya HAM terbagi dua: deregetable rights  dan non-deregetable rights. Kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum termasuk deregetable rights. Artinya, hak tersebut dapat dibatasi oleh negara.

 

Majelis juga mempertimbangkan realitas penghinaan kepala negara/pemerintahan di negara maju. Dalam KUHP di negara maju, Jerman misalnya, kewibawaan kepala negara tetap dilindungi. Kepala negara adalah simbol negara berdaulat. Bahkan PBB juga berpendapat demikian. Kecuali, jika seorang kepala negara melakukan pelanggaran HAM berat, ucap Kusriyanto.

 

Terkait dengan pernyataan Eggy di KPK mengenai rumor bagi-bagi mobil Jaguar oleh seorang pengusaha kepada presiden dan sejumlah pembantunya, Majelis menyatakan, hal itu merupakan hak politik Eggy sebagai warga negara. Tapi nyatanya, rumor tersebut telah meresahkan para pihak yang disebut-sebut Eggy. Majelis berpendapat hal itu tergolong penghinaan.

 

Atas dasar itu serta berpegang pada keadilan dalam Islam dimana segala sesuatu harus ditempatkan pada tempatnya, Majelis berusaha menjatuhkan hukuman yang paling meringankan terdakwa.

 

Akan Protes ke MA

Bukan Eggy Sudjana kalau tak pandai beretorika. Usai sidang, dia pun langsung mengeluarkan kecaman. Peradilan ini menghina ilmu hokum dan menghina akal sehat. Kalau terdakwa meninggal, mestinya perkara dihentikan. Demikian juga jika pasalnya yang meninggal, maka perkara juga harus dihentikan, ujarnya.

 

Firman Wijaya, salah satu kuasa hukum Eggy, juga berkomentar pedas. Putusan ini dapat mematikan kebebasan berekspresi, tandasnya dengan nada tinggi. Sejak adanya putusan MK, tambahnya, pasal penghinaan presiden telah berubah azas dari kriminalisasi ke dekriminalisasi.

 

Lebih dari itu, lanjut Firman, putusan MK secara jelas menyatakan berlaku sejak diucapkan, bukan pada waktu mendatang. Mestinya perkara ini dihentikan, kecuali jika JPU merubah dakwaannya. Yang dipakai seharusnya adalah isi (diktum) putusan yang berlaku sejak diucapkan, bukan malah pendapat ahli yang dipakai, ungkapnya.

 

Firman menambahkan, putusan ini sama sekali tidak menguntungkan Eggy. Karena itu, pihaknya memastikan akan mengajukan banding. Tapi tidak hanya banding, kami juga akan melayangkan protes keras kepada MA. Alasannya, hakim telah melampaui kewenangannya, pungkasnya. 

Setelah 8 bulan disidangkan, vonis terhadap Eggy Sudjana akhirnya jatuh juga. Majelis Hakim PN Jakarta Pusat, Kamis (22/2), dalam putusannya menyatakan, politisi merangkap pengacara itu terbukti bersalah melakukan penghinaan terhadap presiden. Terdakwa melanggar Pasal 134 jo Pasal 136 bis KUHP, kata Ketua Majelis Andriani Nurdin. Karena itu, Majelis menghukum Eggy 3 bulan penjara dengan masa percobaan 6 bulan.

 

Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan JPU, yaitu 4 bulan penjara dengan masa percobaan 6 bulan. Majelis menilai, hal yang memberatkan hukuman adalah perbuatan Eggy yang telah menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan presiden. Sementara yang meringankan adalah sikap Eggy yang kooperatif selama persidangan. Eggy juga telah minta maaf kepada presiden, yang akhirnya presiden memaafkan. Lebih dari itu, telah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mencabut pasal penghinaan terhadap presiden.

 

Dalam pertimbangannya, Majelis menyatakan bahwa pada 6 Desember 2006, MK telah membatalkan berlakunya Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP tentang penghinaan terhadap presiden. Namun, merujuk pada pendapat Prof Romly Atmasasmita, Majelis berpendapat bahwa putusan MK tersebut berlaku untuk masa yang akan datang dan tidak bisa berlaku surut.

 

Perbuatan terdakwa dilakukan sebelum adanya putusan MK tersebut. Pasal-pasal yang telah dicabut MK tersebut masih memiliki kekuatan hukum. Karena itu putusan MK tidak dapat meniadakan tuntutan JPU, ucap Hakim Anggota Kusriyanto.

 

Meski demikian, Majelis berusaha menerapkan Pasal 134 dan Pasal 136 bis KUHP dalam konteks kekinian. Artinya, Majelis tidak ingin memahami pasal penghinaan presiden sebagaimana yang terjadi pada jaman kolonial dimana pasal ini mulai dirumuskan. Harus dilihat dari konteks historis dan dalam kerangka perlindungan HAM, kata Kusriyanto.

Tags: