Catatan Reflektif atas Pengujian-Pengujian UU Advokat
Oleh: Amrie Hakim

Catatan Reflektif atas Pengujian-Pengujian UU Advokat

Beberapa waktu lalu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, mengungkapkan bahwa Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UUA) termasuk undang-undang yang paling banyak dimohonkan pengujiannya ke MK. Sejak 2003 hingga 2006 sudah lima permohonan yang telah diputus MK.

Bacaan 2 Menit
Catatan Reflektif atas Pengujian-Pengujian UU Advokat
Hukumonline

 

Pasal mengenai Organisasi Advokat sudah mulai dipersoalkan bahkan sebelum Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) terbentuk pada 21 Desember 2004. Judicial review yang diajukan oleh APHI diajukan saat PERADI masih berwujud embrio yaitu Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI). Seperti diketahui, KKAI adalah wadah kerja sama delapan organisasi advokat yang disebut secara definitif di UUA.

 

Upaya hukum APHI ke MK pada saat itu dipicu oleh kebijakan pendataan ulang dan verifikasi advokat se-Indonesia yang dilaksanakan KKAI. KKAI berbekal wewenang yang diberikan oleh Pasal 32 ayat (3) UUA memulai kebijakan itu pada Juni 2003. APHI keberatan dengan biaya yang dibebankan dalam proses itu karena dianggap terlalu besar dan kemudian melayangkan judicial review. APHI menilai Pasal 32 ayat (3) diskriminatif terhadap organisasi advokat selain delapan yang disebut di dalam pasal tersebut.

 

Pada pertengahan 2006, giliran kebijakan pendataan ulang dan verifikasi advokat se-Indonesia yang dilaksanakan PERADI yang dipersoalkan oleh Sudjono dkk. Mereka mempersoalkan salah satu butir pengumuman pendataan ulang dan verifikasi advokat di sebuah media massa yang dianggap melanggar hak asasi mereka. Dalam permohonannya, Sudjono dkk menganggap PERADI mengancam eksistensi IKADIN dan profesi mereka sebagai advokat.

 

Sementara, karena PERADI dianggap bukan merupakan Organisasi Advokat yang dimaksud UUA dan kedelapan organisasi advokat yang disebut Pasal 32 ayat (3) telah gagal membentuk Organisasi Advokat yang diamanatkan UUA, Fatahilah Hoed, yang juga seorang calon advokat, mengajukan judicial review ke MK.

 

Meski pada akhirnya MK menolak permohonan-permohonan tersebut di atas, namun MK membuat sejumlah pendapat yang penting dalam sebagian putusan atas perkara-perkara tersebut. Dalam perkara Sudjono cs misalnya, MK menyatakan kedelapan organisasi pendiri PERADI tetap eksis namun kewenangannya sebagai organisasi profesi advokat, yaitu dalam hal kewenangan membuat kode etik, menguji, mengawasi, dan memberhentikan Advokat, secara resmi kewenangan tersebut telah menjadi kewenangan PERADI.

 

MK juga menyatakan bahwa kedelapan Organisasi Advokat pendiri PERADI tetap memiliki kewenangan selain kewenangan yang telah menjadi kewenangan PERADI, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat meniadakan eksistensi kedelapan organisasi, yang karenanya melanggar prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana diatur UUD 1945.

 

Dalam putusan perkara No.014/PUU-IV/2006 itu, secara tegas menyatakan PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri yang juga melaksanakan fungsi negara. Fungsi negara yang dimaksud oleh MK, dengan merujuk pada putusan atas perkara No. 006/PUU-II/2004, adalah kewajiban para advokat pada umumnya untuk memberikan akses pada keadilan bagi semua orang.

 

…akses pada keadilan adalah bagian tak terpisahkan dari ciri lain negara hukum yaitu bahwa hukum harus transparan dan dapat diakses oleh semua orang (accessible to all), sebagaimana diakui dalam perkembangan pemikiran kontemporer tentang negara hukum. Jika seorang warga negara karena alasan finansial tidak memiliki akses demikian maka adalah kewajiban negara, dan sesungguhnya juga kewajiban para advokat untuk memfasilitasinya, bukan justru menutupnya (vide Barry M. Hager, The Rule of Law, 2000, hal. 33). Demikian bunyi pertimbangan hukum MK dalam perkara No. 006/PUU-II/2004.

 

Maraknya judicial review yang mendera UUA tidak sepenuhnya mencerminkan seluruh kritik yang ada terhadap UUA. Advokat secara umum memiliki kritik tersendiri terhadap isi UUA maupun pelaksanaannya. Dalam berbagai kesempatan misalnya, PERADI kerap mengeluhkan belum adanya pengakuan yang tulus akan status advokat sebagai penegak hukum dari unsur penegak hukum lain. Peran advokat hingga kini cenderung masih dianggap berada di luar sistem penegakan hukum.

 

Tapi, mengingat pengujian-pengujian terhadap UUA di MK selama kurang lebih tiga tahun terakhir lebih pada tataran pelaksanaannya, hal tersebut, seperti dikatakan Ketua MK, perlu dijadikan bahan renungan tentang apa yang perlu dilakukan, termasuk konsolidasi internal, agar undang-undang yang baru nanti bisa menjadi solusi bagi perbaikan negara hukum.

 

Barangkali, perlu pula direnungkan apakah dalam perjalanannya UUA telah memberikan kemaslahatan bagi advokat dan publik secara umum seperti yang diharapkan? Advokat tidak boleh hanya berpuas diri dengan status penegak hukum dan mengejar pengakuan akan status tersebut. Bukankah pengakuan dan kepercayaan dari masyarakat jauh lebih berharga ketimbang huruf dan kalimat dalam undang-undang?

 

*) Penulis adalah alumnus FH Universitas Indonesia. Tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis.

Meski sejauh ini hanya satu permohonan pengujian UUA yang dikabulkan MK, namun mengingat banyak pihak yang mempermasalahkan undang-undang itu ke MK maka Jimly pun menyimpulkan bahwa UUA bermasalah, baik itu dari segi isi maupun proses pembentukannya (hukumonline.com, 1/12/06). Sekilas, kesimpulan itu kontradiktif dengan fakta bahwa hampir semua permohonan pengujian UUA dimentahkan MK, tapi boleh jadi unsur bertubi-tubinya yang menjadi penekanan Jimly.

 

Pada 2006 silam, ada tiga permohonan pengujian UUA ke MK, sedang sisanya di tahun 2004 dan 2003. Satu-satunya permohonan judicial review UUA yang dikabulkan MK pada 9 Desember 2004 adalah yang diajukan oleh Tongat dkk yang berakhir dengan Pasal 31 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (No. 006/PUU-II/2004). Putusan ini tergolong berat bagi profesi advokat karena Pasal 31 adalah satu-satunya ketentuan pidana dalam UUA yang diharapkan dapat melindungi publik dari praktik advokat gadungan.

 

Kemudian, dilihat dari pasal UUA yang paling banyak dimohonkan pengujiannya, Pasal 32 menempati urutan pertama. Dari empat ayat dalam pasal tersebut, hanya ayat (2) yang belum pernah diajukan ke MK. Bahkan, Pasal 32 ayat (3) sempat diujikan dua kali yaitu oleh Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia (APHI) pada 2003 (No. 019/PUU-1/2003) dan Fatahilah Hoed pada 2006 (No. 015/PUU-IV/2006). Pasal 32 ayat (3) adalah ketentuan mengenai pelaksanaan secara bersama-sama tugas dan wewenang Organisasi Advokat oleh IKADIN, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM, dan APSI.

 

Pasal-pasal UUA lain yang juga berkaitan dengan Organisasi Advokat yakni Pasal 28 ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 1 ayat (4) juga tercatat pernah dimohonkan judicial review. Adalah Sudjono dkk yang mengajukan pengujian kedua pasal terhadap UUD 1945 ke MK pada 2006 silam (No. 014/PUU-IV/2006). Lagi-lagi, pada MK memutuskan menolak permohonan yang diajukan oleh tiga advokat yang juga anggota Dewan Kehormatan DPP IKADIN tersebut.

 

Adapun pasal-pasal UUA lain yang pernah diujikan adalah mengenai hal yang beragam yaitu Pasal 1 ayat (1), Pasal 3 ayat (1) huruf d, dan penjelasan Pasal 2. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ketentuan-ketentuan dalam UUA mengenai Organisasi Advokat lah yang paling sering dipersoalkan ke MK.

Tags: