Catatan dari Pelaksanaan Ujian Calon Hakim 2007
Fokus

Catatan dari Pelaksanaan Ujian Calon Hakim 2007

Pelaksanaan ujian calon hakim tahun ini dianggap sudah lebih baik dari tahun kemarin. MA pun merasa yakin bahwa ujian berlangsung ‘bersih'.

Oleh:
M-3/Mys
Bacaan 2 Menit
Catatan dari Pelaksanaan Ujian Calon Hakim 2007
Hukumonline

 

Selentingan tak sedap pun bertiup kencang meski pengumuman ujian masih lama. Seorang peserta lain misalnya meniupkan informasi yang dia dengar bahwa agar dapat ujian, fulus masih bisa bermain. Ujian tak ubahnya sebagai formalitas belaka. Benarkah selentingan itu? Tentu sulit membuktikan.

 

Bahwa pelaksanaan ujian terkesan longgar bagi sebagian peserta, belum tentu akan dimanfaatkan oleh peserta lain. Sejumlah peserta yang ditemui hukumonline usai ujian membantah telah memanfaatkan kelonggaran itu untuk menyontek. Nggak niat. Masalah contek menyontek memang sudah disadari MA, bukan hanya dalam ujian kali ini. Tahun 2006 lalu, ketika meninjau pelaksanaan ujian di Stadion Jatidiri Semarang, Ketua Muda MA Bidang Pengawasan Gunanto Suryono sudah mewanti-wanti. Biar saja saling menyontek. Kalau salah mereka yang akan tanggung sendiri. Yang jelas MA hanya akan memilih mereka yang berkualitas, ujarnya.

 

Tidak sedikit pula yang memberi apresiasi positif. Peserta yang sudah ikut ujian tahun lalu menyatakan secara umum seleksi tahun ini sudah lebih baik. Panitia cukup bagus dibanding tahun kemarin, lebih ketat. Tahun ini juga ada tes pengetahuan umum, termasuk Bahasa Inggris dan scholastik padahal tahun lalu tidak ada, puji Andri Hermawan, alumnus Universitas Pancasila.

 

Merry, alumnus IAIN Imam Bonjol Padang juga sepakat, Pelaksanaan tahun ini lebih baik, lebih ketat. Dulu handphone boleh bunyi, sekarang tidak, ujarnya. 

 

Berbeda dengan Andri, Aprian Iskandar, lulusan Universitas Krisnadwipayana berpendapat pengawasannya tidak terlalu ketat walau pelaksanaannya rapi. Firhot, lulusan Universitas Lampung setuju dengan Aprian, Memang ketat, tapi tidak seketat pengawasan ujian advokat. Lagipula tempat duduknya juga tidak nyaman, komentar Firhot yang ternyata telah lulus ujian advokat.

 

Sayang, upaya hukumonline mendapatkan informasi lebih jauh mengenai pelaksanaan ujian mengalami hambatan. Petugas pelaksana ujian di lapangan enggan berbicara banyak. Sementara petinggi MA yang menjadi pelaksana ujian saling melempar tanggung jawab. Bayangkan, jumlah pasti peserta ujian pun tak diketahui secara pasti, demikian pula jumlah ‘kursi' yang akan diisi para peserta seluruh Indonesia. Pengumuman ujian pun kemungkinan dilakukan secara tertutup karena peserta sudah disuruh membawa amplop kosong disertai perangko.

 

Djoko Sarwoko menunjuk nama M. Rum Nessa sebagai pelaksana yang mengetahu informasi pelaksanaan ujian cakim. Ketika dihubungi, Nessa malah menunjuk balik Djoko Sarwoko. Ketika dikontak kembali, belakangan Nessa menunjuk nama Aconur sebagai pihak mengetahui.  Nama yang disebut terakhir adalah Kepala Biro Kepegawaian MA.

 

Antisipasi

Lepas dari fasilitas yang mungking kurang memadai, MA mengklaim telah melakukan upaya-upaya yang perlu untuk mencegah kebocoran soal ataupun kecurangan-kecurangan lain. Sudah ada antisipasi jangan sampai soal-soal bocor ke peserta sebelum ujian berlangsung. Soal-soal juga disegel dan dijaga pengirimannya hingga ke daerah. Juru bicara MA Djoko Sarwoko mengatakan soal ujian baru diserahkan 10 hari sebelum ujian untuk diperbanyak. Sementara jawaban baru diserahkan beberapa saat sebelum ujian berlangsung. Yang bekerja sampai malam (mengurus pengepakan soal) hanya beberapa orang saja. Kemudian jawabannya baru tadi pagi diserahkan, jelasnya.

 

Sebelumnya, Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Hasril Hertanto memang mengkhawatirkan terjadinya kebocoran soal. Maklum, pelaksanaan ujian diserahkan kepada Pengadilan Tinggi, bukan langsung ditangani Mahkamah Agung hingga ke lokasi ujian. Menurut Hasril, seyogianya ujian cakim dijaga semaksimal mungkin kerahasiaan soal dan jawabannya. Di lapangan, pengawasan pun diperketat. Maklum, yang sedang diseleksi adalah orang-orang yang kelak menangani perkara masyarakat.

 

Rekrutmen terbuka atau tertutup?

Jumlah peserta di Jakarta menurun. Begitulah penjelasan dari Murdiyati, salah seorang panitia ujian dari Pengadilan Tinggi DKI. Penurunan itu bisa jadi disebabkan kualifikasi kesarjanaan yang terbatas pada sarjana hukum dan sarjana syariah. Tetapi bisa juga rekrutmen yang belum sepenuhnya terbuka.

 

Selama ini, sistem rekrutmen cakim memang relatif tertutup. Tanpa mengedepankan kualitas, yang mendapat prioritas direkrut adalah panitera atau panitera pengganti yang sudah menjadi ‘orang dalam' pengadilan. Sebagai contoh, pelaksanaan ujian cakim Peradilan Agama se-Jawa Timur pada tahun 2004. Kala itu ada 139 peserta yang terdaftar. Salah satu kualifikasi peserta adalah panitera atau panitera pengganti dengan masa kerja yang harus dilampiri dengan SK pengangkatan.

 

Djoko Sarwoko mengklaim bahwa MA sudah mengumumkan ‘lowongan' cakim dan CPNS itu di media massa. Sejumlah peserta mengklaim sebaliknya. Mereka mengaku waktu pengumuman dan pelaksanaan ujian agak mepet. Pengumuman ditempelkan di setiap Pengadilan Tinggi. Masalahnya, orang yang datang ke Pengadilan Tinggi kan sedikit, kritik Hasril Hertanto. Ia mengusulkan agar pengumuman penerimaan cakim ditempel di setiap pengadilan tingkat pertama, selain di media massa. Minimal di situs MA, tambahnya.

 

Kebanyakan peserta yang ditemui hukumonline mengaku mendengar kabar ‘lowongan' cakim dari mulut ke mulut. Setelah mendapat info barulah mereka secara bergantian berangkat ke Pengadilan Tinggi. Bayangkan, dalam waktu hanya tiga hari, 22 sampai 24 Januari, mereka harus mempersiapkan segala persyaratan agar bisa ikut ujian.

 

Agar tudingan miring ke MA dan jajarannya tak selalu muncul, pelaksanaan ujian cakim bisa meniru pola yang diterapkan oleh PERADI, dengan melibatkan pihak ketiga. Dengan catatan, bahwa pihak ketiga sama sekali tak boleh campur tangan dalam membuat soal-soal ujian.

 

Namun menurut Djoko, melibatkan pihak ketiga tidak menjamin pelaksanaan ujian cakim lebih baik dan lebih bersih.  Sudah ada aturannya. Lagipula saya tidak yakin bisa jadi lebih baik kalau ditangani pihak ketiga, tandas hakim agung itu.

 

Pelaksanaan ujian masuk menjadi pegawai negeri sering dipandang sinis sebagian orang. Sudah rahasia umum, bukan kualitas yang dicari, tapi yang paling berani bayar mahal atau yang koneksinya paling kuat. Begitulah selalu gunjingan yang muncul usai perhelatan penerimaan pegawai negeri. Tak terkecuali penerimaan calon hakim.

 

Kamis, 8 Maret lalu, berlangsung serentak ujian calon hakim di Indonesia. Para peserta merupakan pelamar untuk calon hakim di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara. Selain itu, Mahkamah Agung juga membuka ruang bagi calon pegawai negeri sipil di lingkungan peradilan.

 

Di Jakarta, ujian berlangsung di Hall A (lapangan basket) Stadion Sumantri Brojonegoro, Kuningan. Tak ada kemewahan. Para peserta berjumlah 797 orang harus mengerjakan ujian di tempat penonton basket biasa duduk. Otomatis para peserta harus banyak membungkuk saat mengerjakan 300 soal dalam waktu 300 menit.

 

Entah karena berada di lapangan yang agak terbuka dan jumlah pengawas yang tak terlalu mencolok, pelaksanaan ujian cakim jauh dari kesan ketat. Dibandingkan ujian kedua calon advokat di kampus Fakultas Ilmu Budaya UI tahun lalu, penyelenggaraan ujian cakim masih terlihat agak longgar. Seorang peserta bercerita kepada hukumonline, ia masih bisa ‘berbagi informasi' dengan peserta disampingnya. Pengawasnya sms-an, mbak, ujar peserta tadi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: