Ada Fakta yang Dimunculkan Sendiri oleh Hakim
Fokus

Ada Fakta yang Dimunculkan Sendiri oleh Hakim

Penyidik, penuntut dan majelis hakim dinilai memiliki peran dalam mereduksi fakta yang sebenarnya.

Oleh:
Her
Bacaan 2 Menit
Ada Fakta yang Dimunculkan Sendiri oleh Hakim
Hukumonline

 

Kekeliruan fatal bahkan dilakukan PN Jakarta Pusat ketika mereka-reka fakta yang tidak pernah diajukan JPU dan tidak didukung alat bukti. Dalam pertimbangannya, majelis hakim PN Jakarta Pusat berpendapat racun arsenic bukan masuk melalui minuman (welcome drink) berupa jus jeruk yang disodorkan sebelum take off, melainkan melalui penyajian makan malam (meal) berupa mie goreng yang telah disiapkan Oedi Irianto. Menurut majelis eksaminasi, hal itu merupakan fakta yang dimunculkan sendiri oleh hakim tanpa ada bukti.

 

Kejanggalan lain adalah soal pembuktian unsur berencana. Asumsi yang dibangun pengadilan adalah seakan-akan perencanaan pembunuhan dilakukan di dalam pesawat Garuda, setelah take off di Jakarta sampai Singapura. Pelakunya pun terbatas pada orang-orang yang berada dalam pesawat itu.

 

Majelis eksaminasi justru menengarai adanya perencanaan matang yang dilakukan sejumlah nama dari Badan Intelijen Negara (BIN) dan Garuda. Karena itu, majelis eksaminasi sangat menyayangkan tidak adanya tindak lanjut terhadap kemungkinan keterlibatan mereka.

 

Keterlibatan orang-orang BIN dan Garuda sebenarnya mulai tercium ketika TPF berhasil mengungkap siapa saja yang berkomunikasi dengan Pollycarpus, sebelum kematian Munir, 6 September 2004. Dan pada persidangan di PN Jakarta Pusat, kemungkinan keterlibatan BIN dan petinggi Garuda makin gamblang. Tapi ketika itu JPU tidak mengeksporasinya lebih jauh. Hakim juga tidak bertindak tegas terhadap keterangan-keterangan yang saling bertentangan.

 

Tak pelak, majelis eksaminasi menuding adanya reduksi fakta di setiap tingkatan proses hukum. Penyidik, penuntut dan majelis hakim dinilai memiliki peran dalam mereduksi fakta-fakta yang sebenarnya.

 

Kesimpulan dan Rekomendasi Majelis Eksaminasi

 

 

Kesimpulan

 

 

Rekomendasi

 

 

Penggunaan surat palsu oleh Pollycarpus bukan perbuatan pidana yang berdiri sendiri. Di balik itu terdapat peluang untuk mengungkap lebih lanjut pembunuhan berencana terhadap Munir.

 

Terjadi peniadaan fakta berkaitan dengan unsur berencana di setiap tahap peradilan.

 

PN Jakarta Pusat memang keliru dalam memunculkan fakta yang tidak diajukan JPU dan tidak didukung alat bukti dalam pertimbangan putusannya.

 

MA tidak menggali lebih jauh kebenaraan materiil, padahal MA seharusnya tidak hanya berperan sebagai judex juris, tapi juga judex facti.

 

Bebasnya terdakwa dari dakwaan pembunuhan berencana terhadap Munir mengakibatkan terjadinya impunitas bagi para pelaku.

 

 

Kepolisian dan kejaksaan segera memeriksa Rohainil Aini dan Ramelga Anwar dari Garuda yang diduga terlibat pembuatan surat palsu Pollycarpus.

 

Kepolisian hendaknya menindaklanjuti temuan TPF mengenai permufakatan pembunuhan berencana terhadap Munir dengan memeriksa para pihak yang direkomendasikan TPF maupun yang sudah diperiksa di pengadilan tapi masih perlu digali lebih dalam.

 

Jika hasil penyidikan dilimpahkan ke pengadilan, hendaknya ketua pengadilan dan ketua MA menunjuk majelis yang kredibel, berintegritas, impartial yang berbeda dari majelis sebelumnya.

 

Jika nanti hasil penyidikan tersebut menghasilkan bukti yang menunjukkan keterkaitan Pollycarpus dalam pembunuhan berencana terhadap Munir, kejaksaan Agung hendaknya menggunakan bukti tersebut sebagai novum untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

 

Jika Kejaksaan Agung nanti mengajukan PK, hendaknya majelis hakim PK menggali kebenaran materiil dan tidak hanya fokus pada judex juris.

 

   Sumber: putusan eksaminasi

 

Desak JPU Ajukan PK

Dalam rekomendasinya, majelis eksaminasi menegaskan perlunya gebrakan kepolisian dan kejaksaan. Gebrakan tersebut diharapkan mendatangkan setidaknya dua hal: selain diseretnya tersangka baru, juga kemungkinan ditemukannya bukti baru yang bisa dijadikan novum oleh kejaksaan untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK).

 

Disadari Rudi Satriyo, pengajuan PK bukan perkara gampang. Secara legal formal, PK oleh jaksa tidak dimungkinkan, kacuali jika KUHAP direvisi. Tapi sudah ada yuresprudensi mengenai bolehnya jaksa mengajukan PK, yaitu dalam perkara Mukhtar Pakpahan dan Gandhi Memorial School, ujarnya.

 

Seide dengan Rudi, juru bicara Kejaksaan Agung Salman Maryadi juga mengungkapkan kemungkinan jaksa mengajukan PK. Berdasarkan teori interpretasi a contrario terhadap Pasal 263 KUHAP, pengajuan PK dimungkinkan oleh jaksa. Menurut pasal itu, permintaan PK dapat dilakukan bila ada bukti baru (novum), bukti yang bertentangan satu sama lain, dan kekhilafan hakim, ungkapnya.

 

Di pihak lain, Mohammad Assegaf, pengacara Pollycarpus, menegaskan bahwa PK oleh jaksa tidak bisa ditempuh. Walau dulu pernah ada contohnya, namun Assegaf menganggap hal itu tak lepas dari permainan politik belaka. Secara legal formal jelas tidak mungkin, tandasnya.

 

Assegaf sepakat dengan majelis eksaminasi yang menyatakan putusan kasasi MA memiliki kelemahan. Namun Assegaf mengaku tidak mengerti alasan yang dipakai majelis eksaminasi yang terlalu memojokkan Pollycarpus. Kalau mau obyektif, ujarnya, kelemahan putusan MA adalah satu rangkaian dengan amburadul-nya penyusunan BAP, dakwaan, hingga putusan pengadilan.

 

Terlalu sopan

Proses eksaminasi ini telah berjalan sejak akhir 2007 lalu. Pihak-pihak yang menggagasnya antara lain YLBHI dan Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM).

 

Meski cukup pedas dalam memberikan penilaian, tapi majelis eksaminasi masih dianggap kurang berani oleh mantan Sekjen Komnas HAM Asmara Nababan. Majelis eksaminasi terlalu sopan. Mestinya perlu ada rekomendasi untuk memberhentikan hakim agung MA yang meloloskan Pollycarpus, kecuali hakim yang memilih dissenting opinion, cetusnya.

 

Keluhan Nababan tersebut tak sepenuhnya benar. Majelis eksaminasi bahkan berani mencurigai adanya upaya sistematis untuk membebaskan semua pihak yang terlibat. Kita sudah menduga MA akan membuat putusan seperti ini. Memang ada kecenderungan untuk membebaskan pembunuh Munir, ungkap Firmansyah Arifin. Dia kecewa terhadap pengadilan yang dinilainya sangat payah. Dalam kasus Akbar Tanjung, ujarnya, MA juga memeriksa judex facti, tapi dalam kasus Munir MA hanya fokus pada judex jurist.

 

Kecurigaan seperti itu memang tak aneh. Toh, publik terlanjur berprasangka adanya keterlibatan pihak intelijen. Memang ada kecenderungan pembebasan berencana terhadap para pihak yang terlibat dalam pembunuhan Munir. Tapi ini hanya analisis. Kita tak bisa membuktikan. Putusan  MA sendiri telah melecehkan akal sehat publik, ungkap Irianto Subiakto.

 

Sementara itu, Suciwati mengaku sangat kecewa dengan tidak hadirnya para pihak terkait dalam pembacaan putusan eksaminasi. Tidak ada keseriusan untuk mengungkap pembunuhan Munir. Tidak ada sensitivitas. Persoalan ini hanya dianggap angin lalu, ujarnya. Dia berharap eksaminasi dapat menjadi pelajaran agar ke depan tragedi seperti ini tidak terulang.

 

Tak ada suara berapi-api. Pun tak ada gebrakan meja. Tapi pembacaan putusan eksaminasi publik atas proses hukum kasus pembunuhan Munir mampu membikin emosi meluap.

 

Dengan sepenuh rasa, Rudy Satriyo (pakar hukum pidana), Irianto Subiakto (advokat), dan Firmansyah Arifin (ketua KRHN) membacakan putusan itu, di sebuah tempat di Jakarta Pusat, Rabu (14/3). Bersama Prof Soetandyo Wignjosoebroto dan Prof Komariah Emong Sapardjaja, ketiganya menjadi majelis eksaminasi. Sayang, dua guru besar tersebut berhalangan hadir. Putusan Mahkamah Agung (MA) atas perkara pidana pembunuhan berencana terhadap Munir layak dikaji karena kontroversial, baik dari sisi pembuktian maupun amar putusannya, ucap Irianto, membuka pembacaan putusan eksaminasi.

 

Sisi kontroversial itu begitu kentara karena majelis hakim MA yang mengabaikan keterkaitan antara penggunaan surat palsu dengan dakwaan pembunuhan berencana. Padahal, penggunaan surat palsu tidak bisa berdiri sendiri tanpa ada motif yang terkait. Selain itu, MA juga hanya terpaku pada judex jurist, sehingga mengabaikan judex facti.

 

Kesalahan yang dilakukan MA, di mata para pengkaji, sejatinya hanyalah kelanjutan saja dari tidak beresnya proses persidangan kasus pembunuhan Munir. Mula-mula JPU membuat dakwaan dengan asumsi seolah-olah pembunuhan berencana dan penggunaan surat palsu sebagai perbuatan pidana yang berdiri sendiri. Asumsi JPU tersebut lantas ditindaklanjuti oleh pengadilan dan MA. 

Tags: