Pasal Karet akan Jadi Pasal Besi
Delik Agama dalam Revisi KUHP

Pasal Karet akan Jadi Pasal Besi

Akhir-akhir ini kasus penodaan agama cukup mereda. Meski demikian, bukan berarti kehidupan beragama vakum dari masalah. Perangkat hukum pidana di negeri ini justru mendapat tudingan sebagai biang masalah baru.

Oleh:
Her
Bacaan 2 Menit
Pasal Karet akan Jadi Pasal Besi
Hukumonline

 

Rumadi mencontohkan kasus shalat dua bahasa yang dilakukan Yusman Roy di Malang, Jawa Timur, 2005 lalu. Semula Yusman Roy dituduh melakukan penodaan agama, tapi tak terbukti. Namun dia tetap dihukum dua tahun penjara dengan tuduhan menyebarkan berita yang mengakibatkan permusuhan (pasal 157 KUHP). Hal itu, kata Rumadi, tak lepas dari adanya tekanan massa.

 

Sebaliknya, tanpa tekanan dari massa, hakim yang menangani kasus penodaan agama dapat bertindak obyektif. Contoh mutakhirnya adalah kasus Penodaan agama yang dituduhkan kepada Teguh santosa, Pemred Rakyat Merdeka Online dan Muhammad Abdul Rahman, pengikut Lia Eden.

 

Bagi Rumadi, sejatinya pasal-pasal tersebut bisa dihapus karena substansinya sudah dicover pasal 286-287 KUHP tentang penghinaan terhadap golongan penduduk. Kalaupun tetap dipertahankan, harus ada jaminan bahwa perlindungan terhadap agama juga menyangkut semua jenis agama dan keyakinan, serta harus dengan rumusan yang jelas untuk menghindari subjektifitas.

 

Sementara itu, salah satu anggota Tim Revisi KUHP Rudi Satriyo bertekad akan mengurangi jumlah pasal mengenai penodaan agama. Tak perlu terlalu rinci, apalagi ada pengulangan yang tidak perlu, ungkapnya. Indonesia, lanjutnya, bisa meniru Belanda dengan hanya memuat satu pasal saja yang mengatur kebebasan beragama. Terlalu rincinya aturan mengenai delik penodaan agama dipandangnya tetap akan menimbulkan banyak polemik.

 

Bagaimana dengan agama-agama yang tidak diakui di Indonesia atau aliran kepercayaan? Bagaiamana kalau kasusnya seperti karikatur nabi Muhammad yang dibuat media Denmark kemudian dimuat oleh media kita? ujar Rudi. Sayang, dia mengaku tak terlibat dalam revisi pasal-pasal penodaan agama yang termaktub dalam buku II KUHP. Dia hanya mendapat jatah revisi buku I KUHP.

 

 

Pasal 342

Setiap orang yang di muka umum menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-Nya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak kategori IV.

 

Pasal 344

Setiap orang yang dimuka umum mengejek, menodai, atau merendahkan agama, Rasul, Nabi, Kitab Suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak kategori IV.

 

 

Alih-alih memperjelas, dirincinya pasal penodaan agama malah membikin istilah-istilah buram. Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Bivitri Susanti mencontohkan, istilah ‘keagungan Tuhan' dan ‘merendahkan agama'. Siapa yang bisa mendefinisikannya? Padahal sebuah undang-undang harus jelas, tuturnya.

 

Sementara itu, rencana LBH Jakarta untuk mengajukan judicial review terhadap UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama akan segera direalisasikan. Dalam waktu dekat kita akan tindak lanjuti, ujar direktur LBH Jakarta Asfinawati. Selama ini, UU tersebut sering dipakai untuk menjerat penganut aliran yang dianggap sesat.

 

Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama adalah pasal karet. Agar tak molor dan mengkerut, pasal tersebut kini sedang direvisi. Perluasan formulasi delik akhirnya ditempuh dengan merincinya menjadi dua bagian dengan 8 pasal. Bagian pertama mengenai Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama (pasal 341-345)  dan bagian kedua mengenai Tindak Pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah (pasal 346-348).

 

Setelah tampil begitu rinci, pasal penodaan terhadap agama justru berubah rupa: dari pasal karet menjadi pasal besi. Siapa saja yang memilih out of mainstraim dari penafsiran agama kaum mayoritas bakal dengan mudah kena digebuk.

 

Pasal-pasal penodaan agama nantinya akan menguntungkan kelompok tertentu yang suka meminjam ‘tangan negara' untuk memperjuangkan dan mengamankan posisinya, kata peneliti The Wahid Institute, Rumadi, dalam acara Konsultasi Ahli Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama dalam Rancangan KUHP di gedung PBNU, Kamis (15/3).

 

Bagaimanapun juga, dirincinya pasal penodaan agama tak lantas menjadi solusi terbaik. Nyatanya, serinci apapun sebuah undang-undang tetap berpotensi multitafsir. Karena itu, potensi kesewenang-wenangan tetap membayangi. Pada pokoknya kasus penodaan agama bermula dari perbedaan tafsir terhadap agama, ujar Rumadi.

 

Dari penelitian Rumadi terungkap, suara mayoritas adalah pemegang kendali apakah seseorang akhirnya dapat dijerat dengan pasal pendoaan agama atau tidak. Hakim dalam memutus kasus penodaan agama bergantung pada adanya pressure massa. Dan selama ini hampir seluruh kasus penodaan agama melibatkan massa, ungkapnya.

Tags: