MAHKAMAH, Sebuah Pengadilan Hati Nurani
Resensi

MAHKAMAH, Sebuah Pengadilan Hati Nurani

Ajukanlah perkara Saudara pada hakim yang tertinggi Yang Maha Mengetahui. Sebutkanlah nama-Nya. Hanya Dia yang bisa menjawab semua pertanyaan dan memberikan keadilan dari semua keadilan…

Oleh:
Rzk
Bacaan 2 Menit
MAHKAMAH, Sebuah Pengadilan Hati Nurani
Hukumonline

 

Perasaan ini bahkan tidak terobati oleh perhatian penuh kasih sayang yang dicurahkan sang istri Murni (Mutiara Sani) meskipun tengah berbadan dua. Dengan kondisi sakit-sakitan, peran Murni tidak hanya sebagai istri merangkap perawat tetapi bahkan ‘tongkat' bagi Saiful yang untuk berjalan beberapa meter saja tertatih-tatih dan butuh dipapah. Sejak sakit, Saiful memang tidak beraktivitas apapun kecuali berpindah-pindah dari tempat tidur ke jendela kamar dan sebaliknya.

 

Penyebab kegelisahan Saiful yang pertama adalah kondisi kantor yang sejak ditinggalkannya menjadi ajang perebutan kursi layaknya panggung politik. Satu demi satu karyawan yang mengincar kursi Saiful rajin menyambangi. Dengan dalih bersimpati dan dengan modal wajah pura-pura sedih, mereka menjilat Saiful. Ajang jilat-menjilat, khususnya oleh Madjid dan istrinya (Melela Gayo dan Lisa A. Ristargi) semakin marak ketika kondisi Saiful semakin kritis.

 

Kegaduhan diluar ternyata tidak sebanding dengan kegaduhan yang dirasakan dalam diri Saiful. Bahkan, bisa dibilang ajang perebutan posisi pimpinan yang terjadi di kantornya tidak terlalu merisaukan Saiful. Ada satu ganjalan yang teramat besar sehingga mendorong Saiful untuk menampik ajakan dua ‘tamu khusus', Citra I (Meritz Hindra) dan Citra II (Aspar Paturusi) yang telah siap menjemput.

 

Ganjalan tersebut adalah bagian dari catatan sejarah hidup Saiful ketika berperan sebagai ‘hakim' dalam pengadilan medan perang, dimana dia menjatuhkan sanksi hukuman mati untuk sahabatnya sendiri Anwar (Ayez Kassar). Menjelang ajalnya, Saiful gamang apakah dengan putusan tersebut berarti dia dapat dikatakan sebagai pembunuh sang sahabat atau hanya menjalankan tugas selaku komandan.

 

Persoalan ini kemudian dibawa ke Mahkamah, sebuah pengadilan hati nurani yang diharapkan dapat menyudahi kecemasan yang dirasakan Saiful. Bak gambaran pengadilan pada umumnya, Mahkamah dipimpin oleh majelis hakim yang terdiri dari representasi tiga orang yang dianggap memiliki kontribusi membentuk diri seorang Saiful Bahri.

 

Sebagai ketua majelis dipilih guru sekolah Saiful yang dianggap telah membuka wawasan Saiful terhadap peristiwa-peristiwa alam. Dua anggota majelis lainnya adalah seorang guru agama yang telah mengajarkan Saiful perihal kaidah-kaidah agama dan seorang pemikir yang dijadikan panutan oleh Saiful.

 

Namun, keberadaan tiga orang yang dianggap berjasa itu ternyata tidak mampu menyelesaikan persoalan. Saiful kemudian mengajukan dirinya sendiri sebagai hakim. Namun, lagi-lagi cara ini pun tidak mengahsilkan apa-apa. Akhirnya, Saiful yang menjadi hakim atas dirinya sendiri menghasilkan keputusan yang berbunyi: Ajukanlah perkara saudara pada hakim yang tertinggi Yang Maha Mengetahui. Sebutkanlah nama-Nya. Hanya Dia yang bisa menjawab semua pertanyaan dan memberikan keadilan dari semua keadilan…

 

Sejalan dengan judulnya, pementasan ‘Mahkamah' didesain sedemikian rupa agar memiliki nuansa hukum. Misalnya dapat dilihat dari kesediaan sejumlah nama petinggi hukum mulai dari Ketua MA Bagir Manan, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, Menhukham Hamid Awaluddin, dan Ketua MK Jimly Asshiddiqie menorehkan kata sambutan dalam buku profil ‘Mahkamah'. Di tengah-tengah kesibukan mereka sebagai pejabat negara, Ketua MA dan Jaksa Agung bahkan menyempatkan diri hadir pada hari pembukaan. Selain itu, di jajaran pemain tercantum juga nama seorang advokat Humphrey Djemat.  

 

Walaupun tidak secara eksplisit terlihat kaitannya dengan dunia hukum, pementasan teater ‘MAHKAMAH' setidaknya –terkesan diharapkan- dapat memberikan ‘sentilan' kepada para aparat penegak hukum yang hingga kini masih menjadi sorotan masyarakat. Pergulatan dalam diri Saiful seolah-olah ingin menegaskan bahwa keadilan hakiki hanya dapat dirasakan dan diciptakan oleh hati nurani. Dan tanpanya, jangan pernah berharap ada keadilan di dunia ini.

 

Terkait hal ini, menarik untuk menyimak kalimat penutup dari kata sambutan Ketua MA yang menyatakan Mari kita berkaca bersama melalui pertunjukan Mahkamah ini. Sehingga kita pun dapat menjadikan nurani kita sebagai hakim dari Mahkamah yang baik atas segala perilaku kita sebagai manusia. 

Yustisiabel atau pencari keadilan tidak selalu identik dengan korban, terdakwa, atau bahkan masyarakat yang tidak terkait sekalipun. Hakim sang penentu keadilan juga berhak mencari keadilan karena seperti halnya mereka yang disebut tadi, hakim juga memiliki hati nurani yang bak alarm akan otomatis berbunyi apabila mendapati sesuatu yang tidak adil.

 

Lumrahnya, alarm mungkin saja bisa diredam dengan menekan tombol atau dibiarkan sampai baterai sebagai sumber energinya habis. Namun, cara ini tidak berlaku bagi hati nurani karena hati nurani sumber energinya bukanlah baterai, melainkan nyawa dan tidak ada tombol untuk meredamnya kecuali menghilangkan nyawa tersebut. Selagi nyawa masih bersemayam dalam tubuh manusia maka selama itu pula hati nurani akan meneriakkan keadilan.

 

Demikian kurang-lebih ilustrasi pergulatan dalam diri Saiful Bahri, tokoh utama dalam pentas Teater ‘Mahkamah' karya sastrawan besar Alm. DR. H. Asrul Sani yang digelar di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Pementasan ini didedikasikan oleh Sanggar Pelakon pimpinan Mutiara Sani untuk mengenang tiga tahun wafatnya sang maestro yang juga tenar dengan karya-karya lainnya seperti Gerhana Terpanjang, Gersang, Sebuah Ruang yang Bersedih dan Terang, Antara Hari Kemarin dan Esok, Istri Pilihan, dan banyak lagi. 

 

MAHKAMAH

(Sebuah  Pengadilan Hati Nurani)

Karya terbaik DR. H. Asrul Sani

 

Dimainkan oleh SANGGAR PELAKON

Pimpinan Mutiara Sani

 

Sutradara : Jose Rizal Manua, Penata Artistik : Hardiman Rajab,

Penata Musik : Gibran Sani, Penata Suara : Totom Kodrat,

Penata Cahaya : Sonny Sumarsono, Penata Kostum : Denny Sarumpaet,

 Penata Rias : Andiyanto Salon,Pimpinan Produksi : Mutiara Sani

 

Para Pemain :

Mutiara Sani, Ray Sahetapy, Aspar Paturusi, Humphrey Jemad,Saeful Amri,

 Meritz Hindra, Ayes Kassar, Ela Gayo, Hari Patakaki, Lisa dan John Mini.

 

 

Dalam lakon ini, Saiful yang dimainkan secara apik oleh artis kawakan Ray Sahetapy, digambarkan sebagai seorang tua reanta yang tinggal menunggu detik-detik meninggalkan dunia fana ini dan kemudian menghadap kepada-Nya. Masa penantian ini dijalani Saiful dengan sangat berat. Tidak hanya karena kondisi kesehatannya saja yang semakin memburuk tetapi juga perasaan yang tidak tenang, gelisah, dan was-was.

Halaman Selanjutnya:
Tags: