Komisi tersebut dibentuk oleh Presiden Olusegun Obasanjo dan dimaksudkan sebagai katarsis atas berakhirnya salah satu masa kediktatoran militer yang paling brutal di Afrika. Salah satu pekerjaan komisi tersebut adalah mengadakan hearing pengadilan dengan menghadirkan para penggugat dan tergugat dalam ruangan yang sama.
Siaran hearing yang dilakukan di Lagos, Nigeria itu segera menjadi hit. Para pemain utama terdiri dari para korban pelanggaran HAM, dan tentu saja, para pelakunya yang sebagian besar terdiri dari para mantan jenderal yang dulunya sangat ditakuti oleh ke 110 juta warga Nigeria; baik yang masih hidup maupun yang sudah menghirup tanah kubur.
Selain itu, kisah yang ditampilkan juga tak kalah menarik. Ada berbagai pengungkapan persengkokolan dan metode-metode pembunuhan, diantaranya, bahan kimiawi mematikan yang disemprotkan pada kacamata. Semuanya itu dengan setting usaha mempertahankan kontrol atas salah satu produsen minyak terbesar di Afrika, Shell Oil.
Lantas, drama tidak hanya terjadi di masa lalu. "Adegan-adegan" hearing pun kerap menampilkan tangis-tangisan dan peluk-memeluk antara para mantan jenderal dengan para korban pelanggaran HAM.
Sekalipun demikian, berbagai kalangan menilai proses hearing tersebut tidak akan mencapai hasil maksimal. Pasalnya, komisi yang berusaha mencontoh Truth and Reconciliation Commission di Afrika Selatan itu, tidak menawarkan amnesti kepada para saksi maupun pelaku yang terlibat dalam pelanggaran HAM. Akibatnya, para saksi dan pelaku yang dihadirkan pun kemungkinan besar tidak benar-benar mengungkapkan semuanya, alias berbohong.
"Ini memang lebih baik dari (sinetron) 'The Rich Also Cry,'"ujar Farouk Lawan, anggota DPR Nigeria. "Orang-orang terhibur. Namun, tidak akan ada kelegaan psikologis karena anda tahu orang itu berbohong, dan dia tidak akan bisa jujur karena tanpa amnesti, dia akan melibatkan dirinya (dalam perkara kejahatan itu),"jelas Lawan.