Pengalihbahasaan Konstitusi Bisa Terganjal Istilah Hukum
Bahasa Hukum

Pengalihbahasaan Konstitusi Bisa Terganjal Istilah Hukum

Dalam rangka sosialisasi UUD 1945, Mahkamah Konstitusi terus menerbitkan konstitusi versi bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Sudah ada beberapa versi pengalihbahasaan. Terakhir, Rabu (18/4) ini, Mahkamah akan meluncurkan buku UUD 1945 dalam bahasa Mandarin, hasil kerja sama dengan Majelis Tao Indonesia.

Oleh:
M-5/CRA
Bacaan 2 Menit
Pengalihbahasaan Konstitusi Bisa Terganjal Istilah Hukum
Hukumonline

 

Misalkan perbedaan makna istilah amnesti, abolisi, grasi, dan rehabilitasi. Atau, padanan kata yang pas untuk otonomi daerah, pajak dan pungutan lain yang memaksa, dan hal ihwal kegentingan yang memaksa.

 

Sejauh ini, UUD 1945 sudah dialihbahasakan ke dalam bahasa Sunda, Bali, Jawa, Batak, Bima, dan Pegon/Arab Melayu. Pusat Bahasa mengaku tidak dilibatkan sama sekali dalam pengalihbahasaan ini.

 

Dalam berbagai kesempatan, Ketua MK Prof. Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa pengalihbahasan UUD 1945 ke dalam bahasa daerah bukanlah suatu kemunduran, melainkan harus dilihat dalam konteks mendekatkan UUD kepada masyarakat. Menurut Jimly, pengalihbahasaan itu berkaitan dengan tumbuhnya kesadaran kenegaraan warga masyarakat, termasuk mereka yang selama ini belum memahami bahasa Indonesia.

 

Kepala Pusat Bahasa Depdiknas Dendy Sugono menilai pengalihbahasaan itu di satu sisi sangat bermanfaat bagi masyarakat, terutama para penutur bahasa daerah. Para penutur bahasa daerah lebih mudah UUD 1945 sehingga konstitusi tersebut tersosialisasi hingga ke daerah. Pengalihbahasaan itu memberikan pemahaman UUD kepada mereka yang tidak mengerti bahasa Indonesia, ujarnya saat dihubungi hukumonline.

 

Berdasarkan catatan Pusat Bahasa, saat ini masih ada sekitar 7,7 juta penduduk berusia di atas 10 tahun yang tidak mengerti bahasa Indonesia. Jumlah yang tidak menggunakan dalam kehidupan sehar-hari tentu saja lebih banyak. Maklum, jumlah bahasa daerah di Indonesia cukup banyak. Dendy menyebut angka 740 jenis bahasa daerah.

 

Cuma, ia berharap agar Mahkamah Konstitusi tidak hanya memperhatikan bahasa daerah dengan jumlah penutur banyak. Bahasa daerah yang jumlah penuturnya sedikit juga harus diperhatikan. Jika tidak, masyarakar minoritas itu bisa menuding Mahkamah melakukan diskriminasi atau merasa tidak diperhatikan. Namun Dendy mengakui adanya kesulitan untuk mengalihbahasakan UUD 1945 ke dalam seluruh bahasa daerah yang ada.

 

Selain itu, tak kalah pentingnya, adalah peristilah hukum. Bahasa konstitusi bukanlah bahasa pasaran. Pilihan kata demi kata harus tepat, sehingga pengertian dan maksudnya pun jelas. Dalam pengalihbahasaan UUD ke dalam bahasa daerah, hal ini menjadi problem. Menurut Dendy, belum tentu ada istilah yang cocok atau sesuai dengan bahasa hukum yang dipakai konstitusi. Kendalanya, bahasa daerah yang dipakai tidak memiliki istilah hukum yang sesuai, ujar pengajar mata kuliah Bahasa Indonesia Hukum itu.

Tags: