Hak Negara vs Hak Kreditur : Memilih Mana yang Harus Didahulukan
Fokus

Hak Negara vs Hak Kreditur : Memilih Mana yang Harus Didahulukan

Hingga kini, para ahli dan praktisi hukum masih silang pendapat hak tagih siapa yang harus didahulukan.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Hak Negara vs Hak Kreditur : Memilih Mana yang Harus Didahulukan
Hukumonline

 

Tindakan penyitaan oleh jaksa dalam perkara korupsi lazim dilakukan sebelum aset milik terpidana dilelang untuk menutupi pembayaran uang pengganti. Dengan demikian, atas aset milik terpidana harus didahulukan kepentingan negara untuk menutupi kerugian negara,  

 

Sedangkan J. Satrio, pakar hukum Universitas Soedirman berpendapat lain. Menurutnya,  jaksa selaku eksekutor berhak melakukan penyitaan sepanjang dapat dibuktikan itu adalah hasil dari kejahatan. Sepanjang hanya tindakan  penyitaan saja, tidak menjadi masalah jika jaksa menyita barang (yang sudah disita sebagai jaminan keperdataan) Satrio berujar.

 

Namun, lanjut Satrio, pemegang jaminan memiliki preferen atau dengan kata lain kedudukannya diutamakan. Satrio berpendapat, jika barang yang disita tersebut sudah dieksekusi, maka kreditur pemegang tanggunganlah yang memiliki hak lebih dulu menerima pelunasan. Jika ada sisanya baru dikasihkan ke negara, tuturnya.

 

Entah khilaf atau tidak. J. Satrio dalam bukunya Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Kebendaan menyebutkan, berdasarkan Pasal 1137 KUHPerdata, Negara dan badan hukum publik lainnya mempunyai hak tagih yang kedudukannya lebih didahulukan.  

 

Senada dengan Satrio, Mohamad Assegaf berpendapat bahwa hak kreditur harus lebih diutamakan. Kreditur harus selalu dipandang beritikad baik. Oleh karenanya, harus dilindungi donk haknya, kata pengacara kawakan tersebut. Jika hak kreditur tetap dilanggar, lanjut Assegaf, hal tersebut menunjukkan tidak adanya kepastian hukum di negeri ini.  

 

Disita untuk perkara orang lain

Perihal penyitaan rumah Marwati dan Ollah menjadi lebih kompleks karena izin penyitaan yang dikeluarkan PN Jaksel tertuang dalam penetapannya bernomor 1982/Pid.B/2004/PN.Jaksel. Seperti diuraikan dalam berkas perlawanan, penetapan pengadilan tersebut terkait dalam perkara dengan nomor yang sama, yaitu 1982/Pid.B/2004/PN.Jaksel dengan terdakwa Adrian Herling Waworuntu sebagai terpidana kasus pembobolan BNI dengan L/C fiktif.

 

Karuan saja Marwati mengajukan perlawanan ke PN Jakarta Selatan. Ia merasa, dua rumah yang sudah ditempatinya sejak tahun 1982 adalah merupakan jerih payahnya dengan sang suami.  Rumah itu dimiliki Marwati dan Ollah sejak tahun 1982. Itu dibuktikan dengan adanya surat sertifikat hak milik, ujar Achmad Michdan, kuasa hukum Marwati. Artinya, kepemilikan rumah baru sudah berlangsung lama jauh sebelum skandal pencairan L/C fiktif BNI.

 

Melalui Michdan, Marwati menuntut agar PN Jaksel membatalkan penetapan No. 1982 sekaligus mengangkat penyitaan yang dilakukan oleh Kejari Jakarta Selatan. Kami mempertanyakan, kenapa rumah miliki pelawan (Marwati) ikut disita? Padahal sudah jelas bukti kepemilikannya. Selain itu keputusan hakim untuk menyita rumah tersebut, bukan terdapat di dalam putusan Ollah Abdullah Agam, melainkan dalam perkaranya Adrian Waworuntu. Ini kan aneh tanya Michdan heran.

 

Undang-undang No 31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi memang mengatur mengenai sanksi pembayaran uang pengganti kepada terpidana korupsi. Mengacu pada ketentuan Pasal 18 Ayat (1) huruf b UU Korupsi, besar uang pengganti yang wajib dibayarkan jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari hasil korupsi.

 

Lebih jauh disebutkan dalam Ayat (2) pasal yang sama, jika terpidana tidak mampu membayar uang pengganti dalam jangka waktu satu bulan sejak putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka harta benda si terpidana dapat disita untuk menutupi pembayaran uang pengganti tersebut.

 

Sedangkan pada Pasal 19 Ayat (1) UU Korupsi disebutkan bahwa pengadilan tidak akan menjatuhkan putusan yang berisi perampasan barang-barang yang bukan milik terdakwa. Namun demikian, Ayat (2) pasal tersebut memberikan hak kepada pihak ketiga yang barangnya terlanjur disita, yaitu dengan mengajukan surat keberatan yang ditujukan ke Pengadilan bersangkutan, paling lama dua bulan sejak putusan dibacakan di sidang yang terbuka untuk umum.

 

Artinya, berdasarkan ketentuan UU Korupsi tersebut di atas, Marwati dan Ollah Abdullah Agam berhak mengajukan keberatan ke pengadilan sejak putusan terhadap Adrian Waworuntu dibacakan. Namun apa daya. Seperti dituturkan Michdan, jangankan mengajukan keberatan, pemberitahuan mengenai sita saja tidak pernah disampaikan ke pihak keluarga Ollah. Kami baru mengetahui ketika pihak kejaksaan datang dan bermaksud menyita berdasarkan penetapan PN Jakarta Selatan, ujar Michdan.

 

Tindakan perlawanan yang dilakukan Marwati, menurut Rudi Satriyo, pakar hukum pidana Universitas Indonesia sudah tepat. Menurut dia, pihak ketiga yang merasa dirugikan karena barangnya disita dalam perkara orang lain, berhak mempertanyakannya. Jaksa bisa saja menyitanya. Namun dengan syarat, putusannya sudah harus berkekuatan hukum tetap dan menyatakan barang tersebut merupakan hasil dari tindak pidana, Rudi menegaskan.

 

Sedangkan Chaerul Huda berpendapat agar, dalam perkara seperti ini, jaksa harus menunda eksekusi terhadap barang sitaan. Jaksa harus menunda eksekusi barang sitaan, kata Huda. Penundaan eksekusi tersebut, lanjut Huda, dapat dilakukan jika pihak ketiga yang mengaku memiliki barang sitaan tersebut, dapat menunjukkan bahwa ia memiliki itikad baik. Misalkan ia bisa membuktikan bahwa barang itu didapat dari proses jual beli dan sebagainya, tandasnya.

 

Dalam konteks inilah, menarik untuk terus mengawal perkara Marwati. Bukan tidak mungkin hakim di PN Jakarta Selatan akan membuat teroboson hukum. Lebih dari itu, ke depan pengadilan diharapkan benar-benar melakukan proses pembuktian yang cermat dalam hal sita-menyita barang bukti.

 

Nasib sial memang sedang merundung Marwati Sadikin. Setelah ditinggal sang suami, Ollah Abdullah Agam, yang dijebloskan ke lembaga pemasyarakatan Cipinang, kini dua rumahnya pun disita oleh kejaksaan karena dianggap sebagai barang hasil tindak pidana korupsi. Ollah sendiri adalah salah seorang terpidana 15 tahun dalam skandal pembobolan BNI dengan pencairan L/C fiktif yang merugikan negara hingga Rp1,7 trilyun.

 

Persoalan sita rumah ini menjadi menarik karena Marwati dan Ollah sebelumnya pernah menjaminkan dua rumahnya yang terletak di bilangan Cipete, Jakarta Selatan, ke pihak ketiga, masing-masing Bank Prasidha Utama pada tahun 1996 dan PT Nindya Karya pada tahun 1998. Parahnya lagi, karena belum mampu menyelesaikan kewajibannya, kedua rumah tersebut kemudian disita berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

 

Meskipun belum ada sengketa yang mencuat diantara dua kreditur tersebut dengan pihak Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, namun tidak dapat dipungkiri jika akhirnya sengketa itu sewaktu-waktu akan menyeruak juga. Pendapat para ahli dan praktisi hukum pun terbelah dalam memandang masalah ini.

 

Chaerul Huda misalnya. Ahli hukum pidana Universitas Muhamadiyah Jakarta ini mengatakan, kepentingan negara untuk menyita barang yang diduga berasal dari hasil kejahatan harus didahulukan ketimbang kepentingan privat atau perdata. Harus pidana dulu, karena prinsip umumnya kepentingan publik mesti didahulukan dari pada kepentingan perdata, tukas Huda.

Tags: