Meraba Arah Revisi UU Pos
Fokus

Meraba Arah Revisi UU Pos

Baik Depkominfo, DPR, KPPU, maupun pemain swasta menilai Undang-Undang Pos sudah usang. Di tengah semangat yang menggebu, revisi ini justru bukan prioritas Prolegnas tahun ini.

Oleh:
Ycb/CRP/CRN
Bacaan 2 Menit
Meraba Arah Revisi UU Pos
Hukumonline

 

Kembali ke Indonesia. Ekonom Didik J. Rachbini menilai sebuah perusahaan BUMN sekalipun, tak boleh memonopoli. Kecuali ada undang-undang yang mengatur, ungkap mantan anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ini.

 

Didik berpendapat, sebuah SE menteri tak bisa mengatur monopoli. Yang mengaturnya harus setingkat undang-undang, seru Didik yang kini menjadi Ketua Komisi VI DPR ini (Bidang BUMN, Industri, dan Perdagangan).

 

Itu pun, lanjut Didik, justru jatah monopoli mestinya diberikan kepada usaha kecil dan menengah (UKM), bukan kepada perusahaan besar atawa BUMN. PT Garuda Indonesia saja saat ini harus bersaing dengan armada swasta, lanjutnya memberi contoh.

 

Selain Posindo, pihak yang paling berkepentingan tentunya pelaku swasta. Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia (Asperindo) sudah menyampaikan buah pikirnya. Ada beberapa hal yang perlu ditampung dalam UU Pos anyar.

 

Selain merombak definisi surat, Asperindo mengusulkan jaminan legalitas usaha swasta. Maklum, selama dokumen tersebut masih dibungkus amplop tertutup, dokumen tersebut masuk kategori surat. Padahal, yang berhak menggelar jasa kiriman surat (surat, warkatpos, dan kartupos) hanya Posindo. Walhasil, pangsa pasar swasta tergerogoti. Dus, komoditi kurir swasta dianggal ilegal. Padahal izin usaha kami sudah legal karena diberikan oleh pemerintah sendiri, ungkap Direktur Eksekutif Asperindo, H. Syarifuddin.

 

Yang paling penting, tentu saja pencopotan monopoli Posindo. Monopoli beda dengan kewajiban melayani publik (Public Service Obligation, PSO), ungkap Sekretaris Jenderal Asperindo, M. Kadrial (27/4).

 

Kadrial, yang juga Direktur PT RPX, menjelaskan PSO hanya untuk menyubsidi masyarakat tak mampu. Jika monopoli ini dipaksakan, akibatnya Posindo dan pemerintah justru merugi. Pemerintah justru malah menyubsidi perusahaan asing besar yang memanfaatkan surat berperangko. Harga perangko saat ini lebih rendah daripada ongkos kirim yang ditanggung oleh Posindo. Tujuannya, untuk membantu rakyat yang hidup di daerah terpencil.

 

Karena itulah, Jeffrey Massei, Anggota DPR Komisi I (Bidang Informatika), menekankan pemisahan jasa kiriman surat perangko dengan kiriman ekspres. Biarlah jasa kiriman ekspres terbuka juga bagi kalangan swasta, ungkapnya dalam sebuah pesan singkat, Rabu (2/5).

 

Selanjutnya, Asperindo menginginkan regulasi pada pemain asing. Maklum, usaha kurir adalah usaha padat karya. Sebagian besar pekerjanya, Tamatan SMA, bahkan penyandang cacat, tutur Kadrial.

 

Menurut Kadrial, jika ada kiriman internasional yang masuk ke Indonesia, jasa kurir asing harus kerja sama dengan kurir lokal. Pemain asing cukup membawanya sampai pintu gerbang airport. Lalu diserahkan kepada patnernya di Indonesia. Jangan sampai seperti sektor lain yang sudah dikuasai oleh asing, sambungnya.

 

Selain paparan di atas, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Muhammad Iqbal menegaskan pentingnya perizinan. Iqbal memang belum menjelaskan teknis gamblangnya. Apakah nanti izin di bawah Depkominfo atau Departemen Perhubungan, Itu nanti. Yang jelas, perizinan menyangkut standar kelayakan usaha supaya menjamin kepuasan konsumen, ujarnya, Senin (30/4). Kala itu Iqbal baru saja menerima rombongan Asperindo menyampaikan gagasan mereka tentang industri postal.

 

Boks Wawancara:

Ketua KPPU, Muhammad Iqbal: Jangan Memperkeruh Iklim Persaingan

 

Revisi UU Pos bakal bergulir lama. Padahal, SE Menkominfo 1/2007 kadung terbit. Apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah, PT Pos Indonesia (Posindo), dan kalangan swasta? Kepada Hukumonline, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Muhammad Iqbal menuturkan uneg-unegnya. Berikut nukilan wawancara, pada Senin petang (30/4), di Gedung KPPU kawasan Jalan Juanda.

 

Di masa pembahasan revisi UU Pos, SE Menkominfo 1/2007 masih berjalan. Bagaimana ini?

Selama masa transisi ini, maka KPPU meminta semua pihak, baik swasta, pemerintah, maupun Posindo bisa menciptakan iklim persaingan yang sehat. Jangan sampai ada perilaku yang bisa menimbulkan persaingan tak sehat. Termasuk dari segi regulasi. Regulasi yang telah maupun yang akan diterbitkan oleh Pemerintah.

 

Tapi, prakteknya, akibat terbitnya SE tersebut, sudah banyak klien kurir swasta yang memutus kontrak langganan dan migrasi ke Posindo...

Itulah bagian dari dampak regulasi. Makanya kami menyarankan, buatlah regulasi yang mendorong persaingan sehat. Bentuknya seperti apa? Kita memang belum menyampaikan denga detil. Kita perlu waktu untuk merumuskan saran yang tepat. Tapi, intinya kami ingin semua pihak termasuk pemerintah mendukung iklim persaingan sehat.

 

Ada ketentuan internasional Universal Postal Union (UPU). Apa memang benar, sebuah BUMN, dalam hal ini Posindo, berhak memonopoli kegiatan bisnis?
Kita hanya melihat undang-undang yang mengaturnya. Saya melihat UU Pos tak mengatur hak eksklusif UPU oleh Posindo. Yang ada adalah hak monopoli untuk beberapa jenis pengiriman surat (surat, warkatpos, kartupos). Secara eksplisit UU Pos menyebutnya Perum Pos Indonesia. Inilah yang sudah tidak relevan karena sudah berubah menjadi PT Pos Indonesia Persero. Fungsi sebuah perum dan persero kan berbeda. Kalau persero kan bisa mengambil keuntungan.

 

Dari sudut persaingan usaha, sepanjang hak eksklusif ini ada pada sebuah UU, ini dikecualikan. Artinya boleh. Tapi masalahnya, bukan hak eksklusifnya. Tapi ada daerah yang belum diatur oleh UU maupun aturan yang ada. Yang dipermasalahkan kan bukan hak eksklusifnya Posindo. Tapi, dokumen yang dikelola oleh swasta ini termasuk surat atau tidak? Kita butuh interpretasi yang lebih tegas.

 

Apa yang bisa dilakukan saat ini di tengah rambu-rambu peraturan yang masih kabur? Maksudnya jangan menambah parah iklim persaingan itu seperti apa?

PT Posindo sebagai BUMN kan milik pemerintah. Keunggulan Posindo kan network yang sangat besar. Ada 3.600 kantor pos. Jangan dianggap sebagai liabilities (kewajiban) oleh Posindo. Tapi anggaplah sebagai aset. Kalau kita melihat ke depan perkembangan industri postal, kan besar sekali potensinya. Kita harus siapkan Posindo agar lebih mapan.

 

Inilah yang bisa jadi sinergi karena jaringan yang besar itu bisa dipakai sebagai mitra pihak swasta. Gampang-gampangnya, ketika Telkom monopoli, dan memasuki era kompetisi, dia sudah punya jaringan yang besar. Bagaimana pemain baru bisa mengakses dan memanfaatkan jaringan Telkom -istilahnya interkoneksi? Ini kan bisa efisien dan sinergis.

 

Masalahnya Posindo terlalu sibuk mengurusi bidang di luar core business...

Hahaha... sekarang kan jadi pos pencairan dana bantuan tunai. Aduh... Intinya BUMN jangan jadi beban bagi pemerintah. Di satu sisi, Posindo jangan masuk ke jenis usaha berkompetisi, tapi dengan harga bersubsidi. Itu gak boleh karena gak fair. Misal harga subsidi kan perangko surat. Perangko itu kategori untuk masyarakat yang tak mampu. Untuk surat korporasi, bersainglah dengan wajar dengan standar pelayanan yang sama.

 

Nyatanya Posindo mampu mengirimkan kotak suara Pemilu. Atau bekerja sama dengan Bank Muamalat membentuk jaringan kartu Shar-E. Posindo punya potensi menghadapi persaingan ke depan.

 

(Ycb)

 

Usahakan Masuk Prioritas 2008

Sayangnya, hasrat mereka harus tertahan. Pada 2007, RUU Pos bukan merupakan prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Posisinya kini masih mandek di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Ada 200 RUU baru. Namun pemerintah kurang ngotot mengedepankan RUU ini. Tahun ini kurang mungkin karena terdesak oleh RUU paket politik, terutama RUU Pemilu, cerita Wakil Ketua Baleg, Bomer Pasaribu.

 

Menurut Bomer, saat ini Baleg sedang mengumpulkan bahan kajian dari berbagai negara. Indonesia sudah tertinggal dari Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Bomer mengungkapkan industri postal memang sudah semakin pesat perkembangannya. Artinya, revisi UU Pos seharusnya mendapat tempat prioritas juga.

 

Jika ingin segera menuntaskannya, baik Pemerintah via Menteri Hukum dan HAM maupun Baleg, kudu mengusulkannya menjadi Prolegnas 2008. Dan itu harus kita usahakan pada sidang-sidang semester dua tahun ini, tutur Bomer.

 

Saat ini Asperindo sedang berusaha agar RUU ini secepatnya dibahas. Kami akan terus melobi supaya posisi RUU ini jelas, tutur Ketua Umum M. Johari Zein, yang juga Direktur Eksekutif PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (Tiki JNE), Senin lalu (30/4). 

 

Belum reda dampak terbitnya Surat Edaran (SE) Menkominfo 1/2007. SE tersebut mewajibkan setiap pengiriman surat harus melalui PT Pos Indonesia Persero (Posindo). Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Sofyan A. Djalil, SE tersebut sekadar untuk menjalankan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos (UU Pos). Artinya, UU Pos masih menganggap penting monopoli Posindo. Padahal, industri postal begitu pesat perkembangannya.

 

Karena itulah, banyak kalangan yang bertekad bulat merevisi UU Pos. Tak mau kalah, Sofyan juga ingin merombak UU tersebut. Solusinya, percepat pembuatan UU Pos yang baru, tuturnya dalam sebuah pesan singkat (sms) (29/4).

 

Lucunya, guliran wacana keterbukaan industri postal justru sudah ada sejak 1985, tatkala usia UU Pos baru setahun. Kepala Komisi Perdagangan Federal Amerika Serikat (Federal Trade Commission) James C. Miller III berpendapat, era monopoli postal harus diakhiri. James menuangkannya dalam artikel End The Postal Monopoly yang dimuat dalam Cato Journal, Volume 5 Nomor 1 Tahun 1985. Menurut James, jika industri perposan dibuka, bakal terjadi efisiensi yang menguntungkan. Saat itu, nilai pasar industri pos sudah mencapai AS $26 juta. Jika persaingan dibuka, pelaku lama bakal berbenah diri sehingga makin menguntungkan konsumen.

Tags: