Perlindungan Hak Reproduksi Perlu Masuk Amandemen UU Kesehatan
Berita

Perlindungan Hak Reproduksi Perlu Masuk Amandemen UU Kesehatan

Angka kematian ibu di Indonesia masih termasuk yang tertinggi di Asia. Selain karena proses produksi yang tidak sehat, hal itu juga disebabkan perlindungan hukum terhadap hak reproduksi belum memadai.

Oleh:
M-5
Bacaan 2 Menit
Perlindungan Hak Reproduksi Perlu Masuk Amandemen UU Kesehatan
Hukumonline

 

Konstruksi seksualitas dalam hukum dan kebijakan di Indonesia juga belum mendukung. Masruchah mencontohkan peran negara yang terlalu mengontrol seksualitas lewat kebijakan, hukum, dan tafsir agama; dimana seksualitas perempuan dikonstruksikan untuk memperkuat kekuasaan negara yang berwajah maskulin. Selain itu, kriminalisasi prilaku homoseksual dengan anak-anak (pasal 292 KUHP), dan langgengnya gender streotyping baik dalam UU Perkawinan maupun UU Kesehatan.

 

Untuk mengatasi masalah itu memang banyak cara yang bisa dilakukan. Salah satunya, kata Masruchah, adalah mendekonstruksi konsep-konsep seksualitas yang dianggap baku. Ke depan, konsep itu harus mengacu pada hak-hak asasi manusia. Selain itu menghapus praktek yang mendegradasi kelompok-kelompok yang dianggap ‘abnormal', serta melakukan pemberdayaan hak-hak seksualitas dan reproduksi perempuan.

 

Untuk itulah Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia Masruchah mendesak agar amandemen Undang-Undang Kesehatan memasukkan klausul perlindungan hukum terhadap hak reproduksi perempuan. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, kata Masruchah, belum mengatur secara memadai. Tidak ada pasal mengenai pelayanan kesehatan reproduksi, ujarnya.

 

Padahal, perlindungan tersebut merupakan implementasi dari komitmen ICPD Tahun 1994. Memang, sejumlah aturan sudah memberikan perlindungan hukum kepada kaum perempuan. Misalnya UU No. 7 Tahun 1984 tentang penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam hukum internasional, perlindungan hukum juga terdapat pada Deklarasi Wina, Deklarasi Beijing dan Deklarasi Cairo.

 

Atashendartini Habsjah, Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan, memberikan contoh UU Ketenagakerjaan.  Perempuan perlu mendapatkan pelayanan atas kesehatan reproduksinya. UU Ketenagakerjaan 2003 sudah memberikan hak kepada wanita untuk mengambil cuti haid.

 

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) BRA Mooryati Soedibyo juga memandang pentingnya kesehatan reproduksi perempuan dilindungi oleh hukum. Sebab, kesehatan reproduksi berkaitan dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Itu pula sebabnya, Mooryati mendukung revisi UU Kesehatan dan menyetujui usul Masruchah agar masalah hak reproduksi dimasukkan. Harus dilakukan upaya mendasar untuk meningkatkan derajat kesehatan perempuan dan kesejahteraannya, antara lain dengan cara merevisi UU Kesehatan, ujar anggota DPD mewakili DKI Jakarta itu.

 

Khusus untuk hak reproduksi dalam kaitannya dengan kesehatan perempuan di Indonesia belum diatur. Faktanya, angka kematian ibu hami di Indonesia masih cukup tinggi yakni 370 per 100.000 kelahiran hidup. Artinya, ada kematian 370 orang dalam setiap 100 ribu kelahiran. Selain ini prevalensi anemia pada ibu hamil masih di atas 50 persen. Realitas lain yang kurang mendukung adalah stigmatisasi terhadap perempuan lajang atau menjanda.

Tags: