Mahkamah Konstitusi Indonesia di Mata Orang Jerman
Resensi

Mahkamah Konstitusi Indonesia di Mata Orang Jerman

Sejak MK dibentuk, buku-buku mengenai MK semakin banyak ditemukan di pasaran, baik yang ditulis lingkar dalam MK sendiri maupun orang lain yang menaruh minat pada masalah-masalah ketatanegaraan.

Oleh:
CRA/Mys
Bacaan 2 Menit
Mahkamah Konstitusi Indonesia di Mata Orang Jerman
Hukumonline

 

Sebagai lembaga baru, bagaimanapun Mahkamah harus memperkenalkan diri kepada khalayak. Serangkaian kegiatan dilaksanakan, publikasi persidangan secara luas, akses putusan yang lebar, dan sosialisasi hingga ke pelosok. Itu merupakan langkah yang coba ditempuh sembilan hakim konstitusi dan jajarannya. Toh, semua upaya tersebut belum sepenuhnya membuahkan hasil. Belum semua warga mengenal seperti apa gerangan Mahkamah Konstitusi dan tugas-tugasnya. Tidak mengherankan kalau seorang sopir taksi Jakarta yang diminta Petra mengantarkan ke Gedung Mahkamah Konstitusi, si sopir malah bingung. Atau cerita fiktif tentang kebingungan Ibu Ina mengenai prosedur beracara.

 

Potongan cerita mengenai Ibu Ina dan sopir taksi adalah dua bagian yang menarik perhatian saya saat pertama kali membolak balik buku ini, komentar Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Bivitri Susanti.

 

 

The New Indonesian Constitutional Court

A Study Into Its Beginnings and   First Years of Work

 

Penulis: Petra Stockmann

Penerbit: Hanns Seidel Foundation

Terbitan: Jakarta, April 2007

Halaman: 119 + XV

 

 

 

Ini bukan buku pertama Petra mengenai Indonesia. Sebelumnya, bule asal Jerman ini telah menulis Indonesian Reformasi as Reflected in Law, Change and Continuity in Post-Suharto Era Legislation on the Political System and Human Rights (2004). Setahun kemudian ia juga menyumbang tulisan untuk sebuah buku mengenai masa setelah kejatuhan Soeharto, berjudul Development in Legislation in the Megawati Era.

 

Sebenarnya buku Petra tak banyak berbeda dengan buku-buku Mahkamah Konstitusi yang ditulis Jimly Asshiddie, misalnya. Tentu saja tak luput dari bahasan, adalah latar belakang dan urgensi sebuah Mahkamah di negara demokrasi. Ia juga menjelaskan kewenangan dan tugas Mahkamah, serta pelaksanaannya selama tahun pertama Mahkamah berdiri. Salah satu informasi penting yang dibahas Petra adalah proses pencalonan kesembilan hakim konstitusi.

 

Laica Marzuki, Soedarsono dan Maruarar Siahaan adalah hakim usulan Mahkamah Agung. Jimly Asshiddiqie, Achmad Roestandi dan I Dewa Gede Palaguna usulan DPR. Sisanya, HAS Natabaya, Mukhtie Fadjar dan Harjono merupakan usulan Pemerintah (saat itu Presiden Megawati). Menurut penelusuran Petra, beberapa orang hakim konstitusi berlatar belakang partai politik (hal. 15). Sepertinya, Petra ingin meretas suatu jalan untuk menyelidiki apakah latar belakang parpol sang hakim berpengaruh pada pandangan-pandangan atau pertimbangan hukum yang dia berikan.

 

Mengenai pentingnya mahkamah konstitusi dalam sebuah Negara yang sedang mengalami transisi demokrasi, Petra mengutip pendapat dari Ketua Mahkamah Konstitusi Korea Selatan, Yoong-Joon Kim yang mengatakan berdasarkan pengalaman negaranya, Dari sudut pandang politik, dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi telah mempercepat proses demokrasi di Korea Selatan dari system otoriter pada rezim yang lalu. Sistem hukum, yang telah mengontrol konstitusi dari luar, saat ini telah memasuki tahap reformasi (hal. 1)

 

Petra juga menceritakan perdebatan DPR dan Pemerintah dalam membatasi kewenangan MK dalam melakukan Judicial Review. Pendapat mayoritas pada saat itu menghendaki kewenangan MK dalam melakukan Judicial Review hanya terbatas pada UU yang dibuat setelah amandemen pertama (hal.11) Pendapat mayoritas tersebut dituangkan dalam Pasal 50 UU MK. Sayangnya, dalam perjalanannya, Pasal tersebut dibatalkan sendiri oleh MK.

 

Putusan-putusan MK yang kontroversial juga menjadi sorotan Petra. Diantaranya, putusan mengenai pemulihan hak politik para eks tapol PKI (Hal. 44), putusan mengenai Provinsi Irian Jaya Barat (hal. 53), masalah tentang asas retroaktif yang ditafsirkan MK (hal. 64).

 

Pada bagian kesimpulan, Petra menilai bahwa MK mampu bergerak ke depan melebihi lembaga peradilan lain dalam hal transparansi. Masyarakat bukan hanya bisa mengakses putusan, tetapi juga risalah-risalah persidangan. Sebuah fakta yang seharusnya patut ditiru oleh lembaga lain.

Salah satu buku terbaru adalah The New Indonesian Constitutional Court, a Study into Its Beginnings and First Year of Work, ditulis Petra Stockmann. Entah karena ditulis orang bule, perhatian terhadap buku ini begitu besar, sampai ada acara peluncuran buku di sebuah hotel yang dihadiri pakar tata negara Tanah Air.

 

Mahkamah Konstitusi memang menjadi pemain baru di tatanan kenegaraan Indonesia sejak 2003. UUD 1945 hasil amandemen telah menempatkan Mahkamah sebagai the guardian of the constitution, bahkan juga sebagai the sole interpreter of the constitution. Lembaga ini dibentuk untuk menjaga prinsip keseimbangan antara kepentingan rakyat dengan hasil kerja DPR dan Pemerintah dalam bidang perundang-undangan. Mahkamah bertugas mengontrol agar suatu undang-undang tetap berada pada jalur konstitusi yang benar.

Tags: