Hak Pekerja untuk Didahulukan dalam Perkara Kepailitan
Fokus

Hak Pekerja untuk Didahulukan dalam Perkara Kepailitan

Penjelasan UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa dalam keadaan pailit, pembayaran upah didahulukan daripada utang lainnya. Pasal 95 ayat 4 UU Ketenagakerjaan menjadi senjata ampuh bagi pekerja.

Oleh:
KML/M-3
Bacaan 2 Menit
Hak Pekerja untuk Didahulukan dalam Perkara Kepailitan
Hukumonline

 

Berdasarkan catatan hukumonline, Great River bukan perusahan pertama yang dimohonkan pailit oleh karyawannya. Sebelumnya, ada permohonan pailit karyawan PT Roxindo Mangun Apparel Industry (Putusan No. 49/PAILIT/2004/PN.NIAGA.JKT.PST). Pada sejumlah kasus, mayoritas buruh sering maju ke pengadilan niaga sebagai kesatuan menuntut hak mereka setelah perusahaan dinyatakan pailit. Misalnya karyawan PT Starwin Indonesia dalam perkara Putusan No. 05 PK/N/2005 atau karyawan PT Daya Guna Samudera Tbk dalam perkara putusan Putusan No. 08 K/N/2005.

 

Nah, dalam kasus Great Rivet, tampaknya agak lain. Tidak semua pekerja menyetujui langkah yang diambil lima pekerja GRI tersebut. Sebagian pekerja yang mengatasnamakan diri Solidaritas Pekerja Great River justeru mengecam langkah pailit yang diajukan oleh lima orang karyawan. Solidaritas Pekerja berharap perusahaan-perusahaan Great River masih bisa beroperasi sehingga mereka bisa bekerja kembali. Martanto, Koordinator Solidaritas, menuduh permohonan pailit yang diajukan kelima karyawan (Susanto Cs) sebagai tindakan bunuh diri. Lebih baik direstrukturisasi. Lagi pula, siapa itu Susanto Cs? ketuasnya.

 

Harapan untuk kembali bekerja ditepis Syafruddin, salah seorang pemohon pailit. Great River telah membunuh dirinya sendiri ujar Syafruddin.

 

Syafrudin mengaku mewakili kepentingan seluruh pekerja yang sudah nyaris setahun tidak dibayar. Permohonan pailit merupakan langkah strategis untuk mengamankan pembayaran upah seluruh pekerja, bukan semata-mata kelima pemohon.

 

Lelang dan hubungan industrial

Harapan para karyawan untuk bekerja kembali dan mendapatkan hak-hak mereka bisa jadi kian sulit. Kreditur perusahaan sudah menempuh upaya hukum. Bahkan Bank Mega, sudah melelang salah satu aset perusahaan berupa pabrik di Cibinong dengan harga bukaan sekitar 47 miliar. Aset perusahaan sudah lelang, dan pemenangnya adalah PT Samudera Biru pada 31 Mei lalu, jelas Hendri Dunan, salah seorang pekerja Great River yang mendengar langsung informasi lelang dari PN Cibinong.

 

Toh, proses lelang itu tak menyurutkan niat para pekerja untuk menuntut hak. Ratusan pekerja kini sedang memperjuangkan hak mereka lewat Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta. Persidangan kasus ini sempat rusuh, saat hakim melalui putusan selanya memulangkan limaribu pekerja pabrik Great River ke kampung mereka di Jawa Barat. Berdasarkan kompetensinya, hakim hanya mengizinkan sekitar 500 pekerja, yang bekerja di Kantor GRI Jakarta untuk beracara di PHI Jakarta. Putusan sela hakim merujuk pada UU yang memang menyaratkan gugatan diajukan di tempat buruh bekerja. Rencananya Kamis ini perkara akan diputus.

 

Menurut Syafri, pekerja akan lebih mendapat kepastian dengan permohonan pailit dibanding hanya menancapkan harap ke pengadilan industrial. Pasalnya, putusan tingkat pertama PHI tidak dapat langsung dilaksanakan, sementara kreditur GRI lainnya siap mengeksekusi Hak Tanggungan. 

 

Pekerja merasa berhak mengajukan permohonan pailit. Langkah para karyawan dinilai Aria Suyudi sudah tepat. Peneliti kepailitan dari Pusat Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) ini menjelaskan definisi utang yang telah ditambahkan UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memperluas maknanya menjadi ‘kewajiban'. Sebelum definisi ini ditambahkan, Sutan Remi Syahdeini dalam bukunya Hukum Kepailitan (2004), sempat menggarisbawahi inkonsistensi Mahkamah Agung dalam melihat utang, apakah secara luas (seluruh kewajiban debitur) atau sempit (hanya ekses dari perjanjian kredit saja-red).

 

Utang dalam pasal 1 angka 6 didefinisikan sebagai kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.

 

Andaikan permohonan pailit mulus, pastinya pembagian hak-hak para kreditur setelah pailit jatuh akan menimbulkan masalah, mengingat disini para pekerja GRI merasa sebagai pihak yang paling berkepentingan. Pertanyaan yang pasti muncul ialah bagaimana kedudukan pekerja sebagai Kreditur. Seberapa superiorkah hak mereka?   

 

Siapa didahulukan?

Kalau terjadi kepailitan suatu perusahaan akibat permohonan karyawan yang belum dibayar upahnya, timbul pertanyaan. Apa yang akan didahulukan: pembayaran upah buruh atau pembayaran kepada kreditur separatis?

 

Dalam bukunya Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan (2002), J. Satrio mengklasifikan kedudukan hak kreditur dengan merujuk Buku Dua Bab XIX KUH Perdata dan Pasal 21 UU No. 6 tahun 1983 yang diubah oleh UU No. 9 tahun 1994. Di sini, hak negara (pajak, biaya perkara, dll) ditempatkan sebagai pemegang hak posisi pertama, diikuti oleh kreditur separatis (pemegang hak tanggungan, gadai, fidusia, hipotik).

 

Sedangkan pekerja dianggap sebagai kreditur preferens dengan privelege (hak istimewa/prioritas) umum karena mengambil pelunasan atas hasil penjualan seluruh harta kekayaan debitur berada di posisi keempat, setelah kreditur preferens dengan privelege khusus (pembelian barang yang belum dibayar, jasa tukang, dll). Terakhir, kedudukan kreditur konkuren dengan jaminan umumnya. Tapi itu sebelum berlaku Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 

 

Pasal 95 (4) Undang-Undang ini menyebutkan, pembayaran upah pekerja didahulukan apabila perusahaan pailit. Dalam penjelasan disebutkan yang dimaksud didahulukan ialah dibayar mendahului utang-utang lainnya. Meski GRI belum tentu dibereskan bila dipelihara oleh kurator, apakah konsekuensinya kedudukan pekerja lebih superior dari Kreditur Separatis, atau bahkan Negara, dalam pendahuluan pelunasan haknya?   

 

Pasal 95 Ayat (4)

Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya

 

Penjelasan Ayat (4)

Yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu dari pada utang lainnya.

 

Saat dihubungi hukumonline, J. Satrio mengakui bahwa pasal ini meningkatkan kedudukan upah dibanding kreditur lain. Undang-undangnya bilang begitu ujarnya. Selain itu, ia mengaku bingung dengan penempatan upah sebagai privilige paling atas dibanding hak kreditur lain, karena sebenarnya posisi upah paling tinggi di privilege.

 

Bahkan penjelasan UU ini menurutnya juga dapat membuka kemungkinan terjadi perebutan antara fiscus (petugas pajak) dan pekerja. Wah, biar hakim yang memutus, biar dia pusing sendiri. Putusannya nanti dapat menjadi yurisprudensi, ujarnya. Lebih lanjut, kurator juga akan kebingungan membagi hak para kreditur.

 

Pasal 1134 ayat 2 BW memang menyatakan gadai dan hipotik tempatnya lebih tinggi daripada kreditur lainnya kecuali dinyatakan sebaliknya oleh undang-undang. Kalau UU Ketenagakerjaan mau (mengecualikan -red), undang-undang harus menyatakan secara spesifik bahwa tingkatannya lebih tinggi daripada gadai dan hipotik, jelas Aria Suyudi.

 

Aria juga berpandangan utang dan jaminan harus dibedakan. Dalam UU kepailitan juga dinyatakan bahwa hak kreditur separatis dapat dijalankan seolah-olah tidak ada kepailitan. Hukumnya belum jelas. Kreditur separatis bisa dirugikan, timpal Swandi Halim, pengacara dan kurator.

 

Dari sini terlihat betapa lemahnya kedudukan kreditur. Tidak seperti J. Satrio yang menyarankan menunggu jurisprudensi, Swandi cenderung berpendapat perdebatan berkepanjangan ini bisa selesai bila ada putusan politis dalam bentuk undang-undang.

 

Walau begitu, dalam praktiknya, peneliti dari Pusat Pengkajian Hukum (PPH) Tri Harnowo menyatakan bahwa hak buruh maupun pajak bisa mencapai 100 persen jika negosiasi lancar. Tri berpendapat negosiasi setelah pailit merupakan faktor yang cukup menentukan. Memang kedua golongan ini mempunyai kekuatan lebih dibandingkan kreditor lain.

 

Swandi Halim mengamini Tri. Menurut Swandi, buruh mempunyai nilai lebih dengan kemampuan melakukan pendudukan aset sedangkan petugas pajak dalam sita. Siapa yang mau beli kalau aset sedang diduduki pekerja atau sedang berada di bawah sita negara, tambahnya.

 

Kalau hukumnya diperdebatkan, perkara permohonan pailit Great River akan menjadi salah satu contoh menarik bagaimana pandangan pengadilan. Silahkan ditunggu!

Lima pekerja Great River International (GRI) mengajukan permohonan pailit terhadap perusahaannya ke Pengadilan Niaga PN Jakarta Pusat. Usaha ini ditempuh segelintir pekerja untuk mengamankan aset GRI, dengan harapan pembayaran atas upah ribuan pekerja yang tertunggak dapat ‘diamankan' oleh kurator. Kalau perusahaan dinyatakan pailit, apakah buruh akan mendapat prioritas pembayaran hak?  

 

Manuver ke Pengadilan Niaga merupakan usaha kesekian para pekerja setelah produksi pabrik perusahaan ini terhenti. Upah juga belum dibayar sejak Juni 2006. Selain menunggak ke karyawannya, Utang GRI antara lain ialah kepada Bank Mandiri, Bank Mega, dan Nikko Securities. Kuat dugaan dana tersebut dilarikan petinggi perusahaan. Direktur Utama perusahaan Sunjoto Tanudjaja sudah dinyatakan buron oleh Kejaksaan Agung sejak Mei 2006.

 

Setelah dua tahun lalu menghentikan perdagangan saham awal Mei lalu,  Bursa Efek Jakarta (BEJ) juga telah menghapuskan pencatatan efek (delisting) Great River Internasional. Dan kini, perusahaan harus menghadapi permohonan pailit.

Tags: