Menunggu Keberanian Hakim Memerintahkan Penyingkapan Dokumen
Fokus

Menunggu Keberanian Hakim Memerintahkan Penyingkapan Dokumen

Dalam perkara perdata, sebenarnya Hakim bisa memerintahkan para pihak untuk membuka dokumen-dokumen terkait perkara. Logikanya, penafsiran a contrario, selama tidak dilarang berarti dapat dilakukan.

Oleh:
KML
Bacaan 2 Menit
Menunggu Keberanian Hakim Memerintahkan Penyingkapan Dokumen
Hukumonline

 

Dalam sidang perkara ini Senin (18/06) pekan lalu, kuasa hukum Lapindo Ahmad Muthosim menolak permintaan Tim Advokasi. Ia enggan membuka dokumen-dokumen yang dimiliki kliennya dibuka karena hal itu dinilainya melanggar hukum acara. Kalaupun pembukaan dokumen dilakukan atas perintah hakim, Lapindo masih akan mempertimbangkan apakah memenuhi perintah tersebut atau tidak. Kini, para pihak menunggu keputusan hakim.

 

Sistem Common Law dan Belanda

Dalam perkara perdata di negara pengguna sistem common law, termasuk di Singapura dan Malaysia, praktek ini lazim terjadi. Para pihak dapat saling meminta secara timbal balik pembukaan surat-surat keterangan lawannya maupun mendatangkan saksi sebelum dan saat persidangan. Bila salah satu pihak menolak, hakim dapat memaksa para pihak untuk membuka dokumen yang terkait perkara dengan dikecualikannya jenis dokumen tertentu.

Tujuan penyingkapan dokumen bermacam-macam, antara lain mengamankan saksi dan bukti, serta menghindari kejutan dipersidangan. Selain itu, cukup sering terdapat kondisi dimana terdapat dokumen yang signifikan dalam pembuktian perkara yang enggan disingkap salah satu pihak. Penyingkapan sebelum persidangan juga dapat membuat para pihak mengetahui posisi masing-masing, sehingga mendorong perdamaian antara keduanya.

Di Amerika, pada prinsipnya segala sesuatu yang relevan dan bukan merupakan dikecualikan (priviliged) dapat disingkap. Penyingkapan ini biasanya dilakukan sebelum persidangan, dengan hanya sedikit campur tangan hakim. Sanksi yang diberikan oleh hakim bagi pihak yang tak membuka informasi pun beragam, antara lain: denda, mencegah bukti lawan untuk diajukan, bahkan menolak sebagian atau seluruh dalil pihak penolak. Demikian diatur dalam Bab V Federal Rules of Civil Procedure (FRCP) atau Hukum Acara Perdata Federal Amerika Serikat. Dokumen-dokumen dimaksud melingkupi email dan bermacam dokumen elektronik. 

 

Beberapa waktu lalu, dalam kelanjutan perkara Garnet Investment melawan BNP Paribas yang melibatkan duit Tommy Soeharto sebesar $AS30 juta, Hakim pengadilan Guernsey (daerah administrasi Inggris) memerintahkan penyingkapan (disclosure) dokumen-dokumen Garnet soal transaksi, aset, dan nilainya. Salah Perintah dalam wujud putusan sela tersebut merupakan buah dari intervensi Permintah Indonesia dalam perkara ini.

 

Dari penelusuran hukumonline, terungkap bahwa sejak 2002 telah terjadi perubahan hukum acara perdata Belanda. Aturan baru yang kini berlaku memberi hakim peran aktif dalam pencarian fakta dan kebenaran, jadi tak lagi hanya berpangku tangan dan menunggu ‘aksi' pihak berperkara. Berdasarkan aturan tersebut, Hakim dapat memerintahkan para pihak untuk menyediakan dokumen, dan meminta saksi didatangkan ke persidangan. Pihak berperkara lebih dimungkinkan untuk meminta dokumen, foto, video dan file komputer dalam setiap tingkatan prosedur.

 

Indonesia

Kewenangan hakim menyingkap dokumen belum dijamin oleh hukum acara perdata kita. Hanya dalam perkara Tata Usaha Negara (TUN) dan perkara pidana saja hakim dapat memerintahkan penyingkapan dokumen atau mendatangkan saksi. Di Pengadilan TUN misalnya, Pasal 85 dan 86 UU Peradilan TUN menyatakan hakim dapat meminta pejabat TUN untuk menyingkap dokumen. Hakim dapat pula memanggil saksi untuk dimintai keterangan atas permohonan salah satu pihak, atau inisiatifnya sendiri. Pasal 85 menyebutkan untuk kepentingan pemeriksaan dan apabila hakim ketua sidang memandang perlu ia dapat memerintahkan pemeriksaan terhadap surat yang dipegang oleh pejabat Tata Usaha Negara, atau pejabat lain yang menyimpan surat, atau meminta penjelasan dan keterangan tentang sesuatu yang bersangkutan dengan sengketa.

 

Sedangkan di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana kita (UU 8/1981-KUHAP), Pasal 180 menyatakan hakim ketua sidang juga dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan, bila hal tersebut diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan,.

 

Dalam perkara perdata, selama ini Hakim di Indonesia bak ‘terkungkung' Pasal 163 HIR (Herziene Inlandsch Reglement)-Hukum Acara Perdata- yang berbunyi siapa yang mendalilkan dialah yang harus membuktikan, serta konsep kedudukan sama (equal) para pihak dimuka pengadilan. Asas yang menyatakan bahwa hakim harus bersikap pasif dalam perkara juga turut menunjang ‘diamnya' hakim.

 

Hakim PN Jakarta Pusat Heru Pramono beranggapan alasan hakim tidak pernah memerintahkan pembukaan ialah karena tidak ada aturan tentang itu. Heru menyatakan prinsipnya Hakim tetap berpegang pada 163 HIR, Siapa yang mendalilkan dibebani pembuktian.

 

Selama tidak diatur hukum acara atau tidak ada aturan yang membolehkan itu merupakan pelanggaran hukum acara. Seandainya hakim melanggar hukum acara pihak yang dikalahkan dapat mengajukan hal tersebut sebagai alasan untuk melakukan upaya hukum ujar pria yang juga menjabat sebagai Humas Pengadilan.

 

Meski begitu, menurut Heru ada dokumen tertentu yang dapat diminta pembukaannya. Dokumen termaksud seperti bundel di notaris, warkat di Badan pertanahan Nasional dan akta catatan sipil. Tapi untuk membuka dokumen lawan saya belum pernah. Kecuali telah ada aturan yang membolehkan. ujarnya

 

Sebetulnya kemungkinan bagi hakim mengeluarkan perintah penyingkapan dalam perkara perdata belum tertutup. Untuk dasar penyingkapan, menurut Yoni hakim dapat saja menggunakan prinsip a contrario, (selama tidak dilarang, berarti dapat digunakan. Hakim boleh saja (menggunakan-red), belum pernah terjadi, tetapi tidak ada salahnya untuk dicoba ujarnya. Menurutnya ini juga sesuatu yang baik.

 

Mantan Hakim Agung Yahya Harahap juga berpendapat Hakim dapat memaksa para pihak untuk menyingkap dokumen tersebut. Apalagi bila hakim perlu mengetahui isi dokumen ujarnya. Catatannya, dokumen itu hanya akan digunakan untuk kepentingan perkara tersebut.

 

Selain itu Yahya berpandangan, penyingkapan dokumen dapat dikembangkan seperti hal-hal lain yang sebenarnya tidak diatur hukum acara perdata, tetapi terlaksana dalam praktek. Yahya menyarankan para pihak dalam perkara perdata untuk mengajukan permohonan penyingkapan dokumen dalam gugatan provisionilnya.

 

Praktisi hukum Todung Mulya Lubis juga mendukung ide ini, karena ia menganggap persoalan beban pembuktian tidak melulu kepentingan dari dan terletak pada penggugat. Sebetulnya ada konvergensi antara penggugat dan tergugat dalam pembuktian ujar Todung memberi alasan.

 

Soal pelaksanaannya, Todung skeptis hakim dengan diskresinya sendiri akan membuat terobosan dengan memberi perintah penyingkapan dokumen. Menurutnya, akan lebih baik bila dibuat aturan dari pucuk tertinggi lembaga yudikatif. Lebih lanjut kata Todung, format aturan ini dapat berbentuk Surat Edaran maupun Peraturan Mahkamah Agung, yang mewajibkan hakim meminta dokumen dibuka apabila dapat menjadikan terang suatu perkara.    

 

Perselisihan Hubungan Industrial

Sebenarnya telah ada terobosan peningkapan dokumen dari lembaga legislatif, dalam penyelesaian sengketa pekerja-pengusaha. Karena sifat Pengadilan Hubungan Industrial semi perdata, hukum acara yang dipakai menyelesaikan perselisihan ini ialah UU 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagai Lex specialis dan hukum acara perdata.

 

UU ini memberi hak kepada hakim untuk mendatangkan saksi serta menyingkap dokumen. Kewenangan ‘penyingkapan' ini tertera dalam Pasal 91. Tidak main-main, pihak yang menolak perintah dari hakim dapat dikenakan sanksi pidana. Pasal 91 ayat (1) menyebutkan barangsiapa yang diminta keterangannya oleh majelis hakim guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya tanpa syarat, termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan. Namun, ayat (2) pasal ini mewajibkan hakim untuk merahasiakan semua keterangan yang dia minta. 

 

Menurut Heru yang juga hakim PHI, Pasal tersebut ada untuk membantu buruh yang tidak punya akses terhadap dokumen, serta meminta keterangan pihak perusahaan. Misalnya, buruh kadang tidak dikasih kontrak, dan pengusaha tidak mau membuka dokumen. Heru menyatakan karena ada aturan yang membolehkan, maka ada dasar hukum bagi hakim.

 

Meski begitu, dari catatan hukumonline pasal ini belum pernah dipakai oleh hakim di Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta. Saat dikonfirmasi Heru mengakui dalam praktek ‘permintaan keterangan' jarang dilakukan, melainkan dalam hal tertentu saja. Ia juga tidak ingat dalam perkara mana saja dia pernah memerintahkan. Normalnya ya 163 HIR, ujarnya. Bisa jadi gara-gara pasal itulah, Heru pernah menolak permintaan penggugat agar saksi dari pihak tergugat dihadirkan ke persidangan.

 

Meski telah dikenal cukup lama di negara Common Law, Discovery (Amerika Serikat) atau Disclosure (Inggris), yakni perintah hakim untuk menyingkap dokumen pihak lawan kurang dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Di negeri ini belum pernah ada kejadian hakim memaksa pihak yang berperkara untuk menyingkap dokumen. Setidaknya, begitulah pandangan Pengajar hukum acara perdata, dan Ketua Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum (LKBH) Universitas Indonesia, Yoni A Setyono.

 

Bisa jadi dalam sejarah peradilan Indonesia sudah pernah ada, tetapi tidak terlacak. Salah satu kasus teranyar adalah permintaan korban lumpur Siadoarjo kepada hakim PN Jakarta Pusat, yakni permintaan Tim Advokasi Korban Lumpur Sidoarjo kepada Pemerintah dan PT Lapindo (tergugat dan turut tergugat) agar mau membuka dokumen hasil kajian penyebab lumpur.  Lapindo diminta  membuka semua dokumen terkait pengeboran sumur yang berakhir muncratnya lumpur Sidoarjo. Majelis hakim menyatakan akan mempertimbangkan permintaan Tim Advokasi Korban Lumpur Sidoarjo itu.

 

Menurut Taufik Basari, anggota Tim Advokasi, dokumen-dokumen tersebut penting untuk dibuka di depan persidangan agar jelas penyebab semburan lumpur panas yang hingga kini belum teratasi. Data di dalam dokumen antara lain berisi laporan harian pengeboran, dan surat dari Medco (salah satu pemegang saham blok Brantas bersama Santos) yang mempertanyakan ketiadaan casing serta surat mengenai dugaan adanya kecerobohan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: