Penegakan Hukum dan Delegitimasi Negara
Oleh: Syamsul Arief *)

Penegakan Hukum dan Delegitimasi Negara

Bagiku beginilah bunyi keadilan : keadilan tidaklah sama dan tidak akan menjadi sama. Frederick Nietzche, dalam Thus Spoke Zarathustra

Bacaan 2 Menit
Penegakan Hukum dan Delegitimasi Negara
Hukumonline

 

Ketika kekuasan telah terkonsolidasi di tangan satu kekuatan masyarakat yang terlembaga atau ketika negara muncul mengambil alih kekuasaan, sebagaimana dikatakan  Jean Jacques Roesseau dengan teori kontrak sosial – individu menyerahkan sebagian kebebasanya kepada negara dengan tujuan kebebasannya dapat dilindungi oleh negara-- kejahatan yang kerap muncul mendistorsi  harmoni relasi-relasi damai di masyarakat  sejatinya dikontol negara. Cesare Beccaria, tokoh aliran klasik dalam hukum pidana, memandang kontrak sosial itu mengandung dua bagian yakni individu sebagai pihak peserta kontrak, law abinding citizen (warga taat hukum) yang telah memberikan mandat kepada negara untuk mempertahankan hukum pidana dan individu sebagai obyek dari bekerjanya hukum, dan the law breaker (warga pelanggar hukum) yaitu subyek dari penerapan hukum pidana yang juga memerlukan perlindungan terhadap kemungkinan tindakan penguasa. 

 

Melalui mandat yang diberikan rakyat, melalui tangannya yang adil negara sah  memulihkan dan menstabilisasi situasi sosial di masyarakat yang timbul akibat kejahatan. Penegakan hukum yang ditangani negara dipercaya  sebagai pilihan yang  paling rasional dan adil menggantikan cara-cara di masa purba. Namun sama halnya ketika orang menggugat nilai keadilan yang dihasilkan dari penegakan hukum dan penjatuhan sanksi secara individual, orang juga mempertanyakan nilai keadilan yang diciptakan oleh negara melalui aparat penegak hukumnya. Sebab aparat bukan saja gagal memenuhi prinsip pembalasan yang mengandung sifat nestapa terhadap pelaku kejahatan. Tetapi juga gagal mencapai prinsip prevensi umum yakni menakut-nakuti orang untuk tidak berbuat jahat dan menjadikan masyarakat pada umumnya taat pada hukum.

 

Keadilan sebagai orientasi substansial dari hukum pada akhirnya berubah menjadi ketidakadilan justeru oleh hukum itu sendiri ketika hukum masuk pada  bagian yang sifatnya prosedural. Bagian dimana hukum diasumsikan suka hati bukan lagi dalam konteks diskresi yang bersifat kepatutan oleh masing-masing penegak hukumnya.

 

Di satu sisi, hak asasi individu sebagai pelanggar hukum dalam ketentuan hukum acara pidana dilindungi oleh hukum. Di sisi lain, pada umumnya individu memiliki hak atas perlidungan hukum dari kejahatan yang dilakukan orang lain. Pada kenyataannya hukum pidana yang dijalankan oleh negara tidak lagi mampu mengatasi kejahatan-kejahatan serius dalam masyarakat.

 

Seperti halnya juga cerita kasus Saprudin dan Mulyadi di atas, bila dibandingkan dengan beberapa kejahatan lain yang justru lebih membahayakan seperti korupsi, praktik penegakan hukum pidana kita menggambarkan nilai ketidakadilan yang mencolok. Terhadap pelaku kejahatan korupsi yang given  dilakukan kaum pejabat penerapan due process of law berjalan lunak dan kompromis. Misalnya saja dalam penahanan. Meskipun negara menganggap korupsi sebagai kejahatan extraordinary,  tidak ada kemestian dan tindakan yang khusus untuk menahan para pelakunya. Ini berbeda dengan pelaku tindak pidana pencurian meskipun hanya kejahatan biasa, para pelaku tidak saja menjalani perlakuan hukum yang rigid dan keras tapi juga mendapat reaksi kekerasan langsung dari masyarakat.

 

Sejalan dengan pikiran  D.W. Steenhuis (Criminology in the 21th Century, 1990), kondisi tersebut dapat disimpulkan dari beberapa sebab. Pertama, terdapat ketidakseimbangan antara tindakan yang diberikan negara (pemerintah) kepada seorang pelaku kejahatan dan terhadap seorang warga masyarakat yang justru taat kepada hukum. Kedua, penegakan hukum tidak akan mencapai kemajuan jika dalam praktik peradilan, pelaku kejahatan sering diperlakukan dan diberi kedudukan yang lebih baik dibandingkan mereka yang bukan pelaku kejahatan atau warga masyarakat yang taat kepada hukum.

 

Asas equality before the law yang mengandung pengertian bahwa setiap orang sama dan sejajar dimata hukum tanpa memperdulikan status sosial, profesi atau segala hal lain yang melekat dalam diri seseorang pada praktik penegakan hukumnya sungguh sulit diwujudkan. Asas equal treatment yakni perlakuan ketentuan hukum yang sama terhadap setiap orang yang melakukan kejahatan dan tidak memberikan peluang kemudahan terhadap orang yang lain dengan alasan-alasan yang tidak patut dan tidak logis, juga pada praktinya tidak semudah diucapkan. Asas presumtion of innocent yang pada prinsipnya adalah penghormatan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa/terpidana, pada praktiknya menjadi alat  pertahanan buat pelaku kejahatan untuk menghindari proses tindakan-tindakan hukum seperti penahanan yang sah di mata hukum dan tindakan defensif ketika rakyat menggugat posisi status sosialnya.

 

Perlakuan yang berbeda tersebut menunjukan wajah mendua dalam upaya pemberantasan korupsi itu sendiri. Perlakuan yang istimewa dari aparat penegak hukum bahkan juga dari masyarakat sendiri terhadap pelaku korupsi mudah untuk ditemukan jawabannya manakala korupsi dianggap sebagai perbuatan yang lumrah. Biaya tambahan dalam mengurus KTP misalnya sudah dianggap lumrah, meskipun sejatinya tidak dapat dibenarkan. Uang negara yang dicuri dianggap bukan  harta kekayaan pribadi dan ini berbeda ketika bawang merah dicuri orang dari warung waktu kita tidur. Istilah uang negara hanyalah istilah teknis saja.

 

Sebenarnya istilah uang negara sama dengan uang rakyat. Sebab rakyatlah yang menghasilkan dana dan membiayai negara melalui pajak. Paling tidak rakyat dijadikan komoditas untuk menghimpun dana dari negara pendonor. Jadi negara bukanlah entitas mahluk yang tiba-tiba bisa menghasilkan uang. Melainkan mandat rakyat yang diberikan kepada pejabat yang menjalankan organisasi negara inilah yang menjadi dasar bagi negara memperoleh kekayaan. Dengan konklusi sederhana maka rakyatlah yang mensubsidi negara dan bukan sebaliknya.

 

Bila uang rakyat yang dicuri melalui negara pelakunya diperlakukan secara istimewa maka untuk kejahatan pencurian seperti kisah Saprudin dan Mulyadi di atas hampir semua kita temukan para pelakunya mendapatkan ganjaran yang sesungguhnya dari hukum itu sendiri. Sering kita dengar para pencuri yang dibakar hidup-hidup lalu mati ditempat atau pencuri yang telah lumpuh kakinya ketika menjalani pemeriksaan di pengadilan akibat digebuki ramai-ramai oleh masyarakat yang memergokinya, kemudian mati kepayahan di penjara ketika menjalani hukuman.

 

Kegagalan memahami esensi korupsi dengan pembelotan terhadap makna uang atau harta yang dicuri melalui eupemisme istilah telah menciptakan dekriminalisasi tindak korupsi. Kondisi dimana ketika penegakan hukum pidana berjalan terhadap suatu kejahatan namun tidak menghasilkan efektifikasi hukum pidana  atau tidak menghadirkan efek keadilan di masyarakat konsekuensinya hukum dan penegakan yang setengah hati itu justru merupakan pintu masuk bagi lahirnya delegitimasi negara. Pada akhirnya kita akan melihat hancurnya kekuasaan negara atau kekuasaan yang memerintah berlangsung  akibat tekanan-tekanan yang saling bersaing (kontradiksi) yang tanpa sadar diciptakannya negara itu sendiri. Pada titik ini maka dapat dipahami mengapa masyarakat kembali menggunakan cara-cara purba untuk menyelesaikan persoalan kejahatan yang terjadi.

 

Bila kondisi ini meluas maka praktik seperti penyerangan suatu kelompok masyarakat kepada kelompok masyarakat lainnya, aksi premanisme kepada wartawan oleh sekelompok orang, pola kriminalitas sadis  di kota-kota besar, konflik dan curiga yang berkepanjangan di beberapa daerah sampai aksi pemboman di lokasi tertentu adalah benih fasisme yang sadar tidak sadar telah disemai oleh negara.

 

Dalam konteks pemberantasan korupsi seperti maraknya para pelaku yang diduga melakukan korupsi dan diperiksa di pengadilan, relevan untuk mempertanyakan makna keadilan yang hakiki. Apakah keadilan dalam konteks penegakan hukum (law enforcement) diterima cukup puas sampai tahap hukum berjalan dalam proses dalam arti cuma sebatas fenomena pemeriksaan dan pengusutan. Atau kita menilai keadilan sebagai sebuah hasil dalam penegakan hukum. Dalam bahasa yang lebih operasional, apakah penegakan hukum atas kejahatan  korupsi diterima dengan lega hati cuma sampai tahap pemeriksaan di persidangan sidang an sich  atau parameter tegaknya hukum dan keadilan itu dikonstruksikan ketika proses yang telah berlangsung dari tingkat penyidikan sampai akhirnya  pengadilan membuktikan para terdakwa itu terbukti sebagai penjahat dan  hakim menjatuhkan putusan hingga dieksekusi?

 

Bila pilihan kita jatuh pada yang terakhir, sementara dalam kenyataan lain, itu berarti bukan saja hukum dan penegakannya berjalan sia-sia, tetapi juga lebih parah lagi para penjahat bebas berkeliaran menjalankan karir kejahatannya tanpa takut terhadap hukum. Tidak takut pula terhadap negara yang kapasistasnya telah dilucuti oleh pelaku.

 

Palopo, 8 Juli 2007

 

 

*) Penulis Syamsul Arief, SH. MH., adalah Hakim di PN Palopo, Sulawesi Selatan. Tulisan ini adalah pandangan pribadi, bukan pandangan institusi tempat penulis bekerja.

Saprudin (18) dan Mulyadi (23), kuli panggul Pasar, berjalan gontai meninggalkan sebuah ruang sidang di Pengadilan Negeri (PN) Serang menuju penjara di Rumah Tahanan (Rutan) Serang, setelah Penuntut Umum menuntut 10 bulan pidana penjara dan kemudian majelis hakim menghukum pidana penjara selama 8 bulan kepada dua kuli tersebut karena dianggap terbukti telah mencuri bawang merah 10 kilogram (senilai sekitar Rp 60.000). Sementara pada hari yang sama di Pengadilan Negeri yang sama  beberapa mantan anggota DPRD Provinsi Banten, yang dituduh telah melakukan korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2003 sebesar Rp 14 miliar oleh Penuntut Umum dituntut pidana penjara selama 1,5 tahun. Dalam perkara korupsi korupsi yang sama berkas terpisah (splitsing) beberapa terdakwa yang lainnya telah dijatuhi hukuman  penjara selama 1 tahun. Realitas ini menyentak rasa keadilan di negeri ini, seperti menakar disparitas hukuman dan keadilan.

 

Cerita tentang dua kisah di atas  telah sering kita dengar di rimba belantara hukum tanah air. Perlakuan yang berbeda (unequal treatment) terhadap para terdakwa atas suatu perkara yang sama atau jenis perkara yang berbeda secara kualitas namun diperlakukan secara sama dan sederhana dengan perkara yang biasa dan remeh. Demikian sama halnya dengan cerita Saprudin dan Mulyadi yang nyolong bawang merah seberat 10 kilogram dengan nilai Rp60.000 dituntut JPU 10 bulan penjara, kemudian diputus hakim selama 8 bulan. Bandingkan pejabat yang nilep uang rakyat sebesar Rp14 miliar oleh JPU cuma dituntut 1,5 tahun penjara. Jaksa tentu memiliki  pertimbangan masing-masing. Meskipun ini nampak menyerang logika hukum dan keadilan, penegakan hukum tetap memiliki logika sendiri. Kepastian dan keadilan hukum sulit untuk diprediksi, apalagi untuk disentuh. Cerita Saprudin dan Mulyadi hanyalah gumpalan kecil dari reruntuhan gunung es ketidakadilan yang setiap waktu menyergap  dalam perasaan.

 

Seolah-olah keadilan lebih mudah didapatkan dengan cara yang purba. Ketika zaman dimana individu di masyarakat yang mendapatkan aib atau serangan dari orang lain maka orang itu sah dan adil bila melakukan pembalasan secara individual.  Penegakan hukum dan penjatuhan sanksi tidak lain daripada luapan rasa marah yang sangat hebat dari orang yang hak dan kepentingannya terganggu. Dalam eskalasi lebih ekstrem, pembalasan terhadap orang lain yang masih satu kelompok (klan) meskipun bukan pelaku kejahatan, tetap dianggap sah dan adil sesuai prinsip pembalasan yang dipercaya membawa nilai pemulihan atas pelanggaran hukum yang terjadi. Hutang darah dibalas dengan darah.

Tags: