Tarif Cukai Hasil Tembakau Tak Setinggi Draft Awal
Fokus

Tarif Cukai Hasil Tembakau Tak Setinggi Draft Awal

UU Cukai telah disahkan akhir pekan lalu. Perdebatan mengencang pada poin besaran tarif, dana bagi hasil buat daerah penghasil tembakau, serta klausul jangka waktu pelunasan. Bahkan, poin terakhir ini sempat berbuah deadlock.

Oleh:
Ycb
Bacaan 2 Menit
Tarif Cukai Hasil Tembakau Tak Setinggi Draft Awal
Hukumonline

 

Meskipun berjalan cepat, Pembahasan RUU ini memerlukan debat agak keras juga. Perdebatan mengencang pada poin besaran tarif, dana bagi hasil buat daerah, serta klausul jangka waktu pelunasan. Bahkan poin terakhir ini sempat berbuah deadlock.

 

Pembedaan Tarif: Hasil Tembakau atau Lainnya

Rupanya pasal soal tarif bergeser cukup signifikan. Draft awal masih membagi kriteria barang kena cukai (BKC) dalam dua jenis: produksi dalam negeri dan produk impor. Kini, BKC lebih kompleks. Selain dibedakan antara produksi lokal dan barang impor, BKC juga dibedakan menjadi hasil tembakau dan produk lainnya.

 

Awalnya, Pemerintah mengusulkan tarif tertinggi berdasarkan harga jual eceran (HJE) sebesar 65 persen. Tarif satu paket ini rupanya berubah posisi. Dengan mempertimbangkan usulan dari para pelaku usaha, kami sepakat tarif tertinggi hasil tembakau sebesar 57 persen. Dan, 80 persen untuk BKC lainnya, ujar Ani, panggilan akrab Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

 

Kalangan pengusaha rokok menyambut gembira beleid ini. Kenaikan tarif maksimum 57 persen bisa kami terima. UU 11/1995 masih mengatur 55 persen. Tapi, kalau dikerek hingga 65 persen, kami keberatan. Jadi, angka 57 persen kami kira masih wajar, terang Darjoto Setiawan, Chief Executive Officer (CEO) Bentoel Group. Bentoel merupakan salah satu penghasil rokok terbesar di Indonesia.

 

Selain itu, masa penundaan pelunasan tetap berlaku 90 hari. Ini untuk membantu likuiditas keuangan pabrik rokok, ujar juru bicara Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) Marwoto Mitroharjono.

 

Darjoto yang juga membina klub sepakbola Arema setuju dengan Marwoto. Klausul itu bagus bagi kami. Dalam kondisi bisnis saat ini, kami memang butuh memenuhi sejumlah tagihan dalam jangka waktu tertentu, tandasnya.

 

Juru bicara Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (FBPD) Inya Bai menginginkan target setoran dari cukai naik. Dengan adanya tarif baru ini, sudah seharusnya target penerimaan cukai meningkat. Apalagi ada insentif bagi orang yang mengungkap pelanggaran cukai, ungkap Inya.

 

UU Cukai, Pasal dan Ayat Terpilih

Pasal 5

(1) Barang kena cukai berupa hasil tembakau dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi:

a. Untuk yang dibuat di Indonesia:

1. 275 persen dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik (HJP); atau

2. 57 persen dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran (HJE).

 

b. Untuk yang diimpor:

1. 275 persen dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan nilai pabean ditambah bea masuk; atau

2. 57 persen dari harga dasr apabila harga dasar yang digunakan adalah HJE.

 

(2) BKC lainnya dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi:

a. Untuk yang dibuat di Indonesia:

1. 1.150 persen dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah HJP; atau

2. 80 persen dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah HJE.

 

b. Untuk yang diimpor:

1. 1.150 persen dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan nilai pabean ditambah bea masuk; atau

2. 80 persen dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah HJE.

Pasal 7A

(1) Pelunasan cukai pembayarannya dapat dilakukan secara berkala dalam jangka waktu paling lama 45 hari sejak tanggal pengeluaran barang kena cukai tanpa dikenai bunga.

(2) Penundaan pembayaran cukai dapat diberikan kepada pengusaha pabrik dalam jangka waktu:

a. Paling lama 90 hari sejak tanggal pemesanan pita cukai bagi yang melaksanakan pelunasan dengan cara pelekatan pita cukai

b. Paling lama 45 hari sejak tanggal pengeluaran barang kena cukai bagi yang melaksanakan pelunasan dengan cara pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya.

Pasal 66A

(1) Penerimaan negara dari cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2 persen yang digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal.

(4) Pembagian dana bagi hasil cukai hasil tembakau dilakukan dengan persetujuan Menteri, dengan komposisi 30 persen untuk provinsi penghasil, 40 persen untuk kabupaten/kota daerah penghasil, dan 30 persen untuk kabupaten/kota lainnya.

Pasal 66D

(1) Atas penyalahgunaan alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau dapat diberikan sanksi berupa penangguhan sampai dengan penghentian penyalurandana bagi hasil cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi atas penyalahgunaan alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau diatur dengan peraturan menteri.

 

Bagi Hasil untuk Daerah Penghasil Tembakau

Ada satu poin baru yang cukup menarik, yakni dana bagi hasil untuk daerah penghasil tembakau. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 66A, 66B, 66C, dan 66D. Irmadi menjelaskan, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau akan dibagikan kepada provinsi penghasilnya sebesar 2 persen. Selanjutnya, realisasi dana segitu dibagikan kepada provinsi itu sendiri sebesar 30 persen, kota/kabupaten penghasil sebesar 40 persen, dan kota/kabupaten lainnya yang masih seprovinsi sebesar 30 persen.

 

Caranya, lewat pemindahbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum provinsi dan rekening kas umum kota/kabupaten. Tentu saja bagi-bagi hasil ini atas persetujuan Menteri Keuangan. Bagi hasil tersebut muncul dalam Dana Alokasi Umum (DAU) pada Anggaran Pendapatan dan Belanjad Daerah (APBD).

 

Ani mengingatkan, bagi hasil ini untuk bermacam tujuan yang sudah ditentukan, di antaranya untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, serta pemberantasan BKC ilegal.

 

Wakil Ketua Panitia Anggaran (Panggar) Ahmad Hafiz Zawawi gembira dengan adanya ketentuan anyar ini. Tapi, setiap daerah juga harus siap. Ini berdampak peralihan belanja dari pusat ke daerah. Masalahnya, ada beberapa kendala. Misalnya persiapan pencairan APBD. Pemerintah juga perlu mempersiapkan instrumen aturan yang memperlancar belanja daerah, ujar Hafiz yang dari Fraksi Partai Golkar ini.

 

Direktur Jenderal Bea Cukai Anwar Suprijadi menggambarkan, daerah yang 'basah' cukai tembakau antara lain Jawa Timur, Jawa Tengah, baru disusul Jawa Barat, Yogyakarta, Sumatra Utara, dan lainnya.

 

Darjoto mengingatkan, dengan berlakunya ketentuan itu, Pemda harus meningkatkan mutu pengawasannya. Dana tersebut harus sesuai dengan sasaran peruntukannya. Tentu ini tantanga bagi Pemda untuk menerapkan pengawasan melekat.

 

Bentoel merupakan pabrik rokok asal Malang. Pabrik cacahan tembakau kering Kota Ken Arok ini tahun lalu mendulang omzet sekitar Rp3 triliun. Kalau dihitung kasar, rata-rata cukai sepertiga dari omzet. Jadi kami kira-kira membayar cukai Rp1 triliun, ujar Darjoto, yang juga Direktur Pengembangan Bisnis Grup Rajawali.

 

Selain Bentoel, grup bisnis milik Peter Sondakh ini juga memiliki saham Semen Gresik dan perusahaan telekomunikasi Exelcomindo (XL). Tentu saja, industri serbuk kelabu bahan bangunan ini juga menyuplai cukai.

 

Ketentuan Lainnya

UU Cukai juga mengatur transaksi elektronik (Pasal 3A). Petugas cukai maupun masyarakat yang mencegah pelanggaran cukai juga bakal diiming-imingi premi (Pasal 64D). Petugas cukai yang mencapai target kinerjanya juga bakal menerima insentif (Pasal 64E). Insentif tersebut harus dialokasikan dalam APBN.

 

Selanjutnya, Irmadi beserta koleganya di lembaga legislatif mendesak Pemerintah segera menyiapkan berbagai perangkat peraturan pelaksana. Bisa berupa Peraturan Pemerintah (PP), juga bisa disub-delegasikan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK), ujar Irmadi yang dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP). Ani menjelaskan peraturan pelaksana UU Cukai ini bakal berlaku setahun setelah UU ini disahkan.

 

Tetap Dibahas dalam APBN

Direktur Cukai Frans Rupang menjelaskan, UU Cukai hanya mengatur tarif maksimum. Prakteknya, tarif yang berlaku bisa saja di bawahnya. Misalnya tarif cukai rokok dan tembakau. Saat ini masih 40 persen, ujarnya seusai Sidang Paripurna.

 

Lagipula, untuk menaikkan tarif, pemerintah via Depkeu bersama DPR lewat Panggar kudu membahasnya dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Target penerimaan negara lewat cukai bakal dibahas di situ. Tak bisa seenaknya menaikkan tarif, terang Frans.

 

Produk Keempat Belas

Dalam pidato penutupan masa sidang keempat periode 2006-2007, Ketua DPR Agung Laksono melaporkan UU Cukai merupakan produk keempat belas. Pada masa sidang Mei-Juli 2007 ini, para legislator telah menelurkan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Energi, UU Perseroan Terbatas (UU PT), UU DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara, serta paket delapan UU Kota/Kabupaten Baru. Masa sidang kembali dibuka pada 16 Agustus nanti, pertanda awal periode sidang 2007-2008.

 

DPR pada masa sidang 2006-2007 ini total jenderal menghasilkan 49 UU. Jika dihitung pada periode Program Legislasi Nasional 2004-2009, mereka sudah membuat 76 UU. Yang menarik, UU Cukai bertalian dengan RUU Pengendalian Dampak Tembakau. Hingga kini, beleid tersebut masih mandek di Baleg lantaran kurang mendapat tempat prioritas. Yah jelas saja mereka enggan membahas aturan yang satu ini. Kalau gol, para anggota dewan yang terhormat terbatasi kebebasan mereka asyik menyedot asap tembakau di tengah sidang.

Tuntas sudah tugas Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), merampungkan Rancangan Undang-Undang Cukai (RUU Cukai). Beleid ini merupakan salah satu dari deretan UU di bidang ekonomi yang telah selesai dibahas. UU ini juga merupakan revisi atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

 

Semoga UU ini bersifat fleksibel sehingga mampu mengikuti perkembangan perekonomian yang dinamis, ungkap Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Cukai Irmadi Lubis, dalam Sidang Paripurna DPR yang digelar di Jakarta, Jumat (20/7).

 

Kronologi Perjalanan UU Cukai

-         Pada 7 September 2005, dalam Sidang Paripurna DPR, Pemerintah menyampaikan keterangannya untuk merevisi UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

-         Pada 8 September 2005, Badan Musyawarah (Bamus) DPR memutuskan membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menangani revisi kedua UU tersebut.

-         Pada 18 Oktober 2006, Pansus menyelesaikan RUU Kepabeanan. Ketentuan ini diundangkan menjadi UU No. 17 Tahun 2006.

-         Pada 20 Juli 2007, RUU Cukai disahkan menjadi UU. Perlu total waktu 19 bulan merampungkan paket UU Bea dan Cukai tersebut.

Sumber: Laporan Ketua Pansus Bea Cukai

 

Dengan disahkannya UU Cukai ini akan semakin memperkuat posisi cukai sebagai sumber pundi keuangan negara. Cukai menempati urutan ketiga sumber pendapatan negara. Dua besar masih didominasi hasil ekspor baik produk minyak dan gas (migas) maupun non migas serta berbagai jenis pajak. Pada 2006, jumlah cukai mencapai Rp38,5 triliun. Tahun ini meningkat Rp3,5 triliun menjadi Rp42 triliun, jelas juru bicara Fraksi Partai Demokrat (FPD) Hasanuddin Said.

Tags: