Beban Berat bagi Pelaku Waralaba
PP Waralaba

Beban Berat bagi Pelaku Waralaba

Departemen Perdagangan baru saja menelurkan Peraturan Pemerintah tentang Waralaba. Selain belum merangsang pertumbuhan waralaba lokal, Perhimpunan waralaba menilai PP ini sangat memberatkan.

Oleh:
Ycb
Bacaan 2 Menit
Beban Berat bagi Pelaku Waralaba
Hukumonline

 

Bakal Beralih ke Lisensi

Terpisah, Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI) menilai PP ini terlalu berat bagi pelaku franchise lokal yang masih kecil. Kriteria Pasal 3 terlalu berat dan hanya bisa diterapkan oleh waralaba kakap, teriak Amir Karamoy, Ketua Dewan Pengarah WALI dari balik telepon, Kamis (9/8).

 

Menanggapi hal itu, Zaenal masih menggangap biasa saja. Toh selama ini waralaba kecil belajar dari waralaba besar, tuturnya.

 

Menurut Amir, beleid sanksi juga makin memberatkan pelaku franchise. Saat ini, WALI mengantongi 400-an pelaku waralaba yang menjadi anggotanya. Amir mengingatkan, saat ini pemerintah via Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) sedang menggodok PP Lisensi.

 

Antara waralaba dan lisensi, menurut Amir, adalah sama-sama hak atas kekayaan intelektual (HKI). Namun, dengan rezim yang berbeda. Waralaba diatur oleh Depdag, dan lisensi di bawah Depkumham. Pendaftaran waralaba ke Depdag juga sangat birokratis karena pelaku juga harus ke Depkumham, sambung Amir.

 

Franchise vs Lisensi

- Waralaba dan lisensi adalah jenis dari HKI.

- Baik waralab maupun lisensi mensyaratkan sejumlah fee. Dalam waralaba, si terwaralaba wajib membayar franchise fee kepada pewaralaba. Demikian juga dengan lisensi.

- Bedanya, jika waralaba, pewaralaba sangat bertanggung jawab dan turut terjun membina terwaralaba di bidang pemasaran, kualitas produk, keuangan, dan hal lainnya. Sedangkan dalam lisensi, si pemilik lisensi hanya menitikberatkan kontrol kualitas.

Sumber: Wawancara Amir Karamoy, diolah.

 

Amir belum melihat sanksi yang berat di bidang lisensi. PP Waralaba akan terlalu membebani. Akibatnya, pelaku usaha akan beralih ke perjanjian lisensi, padahal materi kontraknya sama. Itu sudah berlangsung, ungkap Amir tanpa menyebut contoh nama perusahaan yang pindah haluan.

 

Isu Persaingan Belum Mengemuka

WALI juga berpendapat, PP ini harus mempertimbangkan keberadaan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Kami ingin Pasal 6 (tentang klausul perjanjian, red) mengatur perjanjian waralaba tidak boleh memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat, lanjut Amir.

 

Menanggapi hal itu, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Mohammad Iqbal belum merasa khawatir. UU 5/1999 Pasal 50 mengecualikan beberapa bidang tertentu. Misalnya untuk sektor usaha kecil dan menengah (UKM), termasuk juga waralaba, ungkapnya ketika dihubungi via telepon secara terpisah, Kamis (9/8).

 

UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat

Pasal 50

Yang dikecualikan dari ketentuan Undang-undang ini adalah:

... b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; ...

Catatan: cetak tebal untuk penekanan

 

Lagipula, menurut Iqbal, pada prakteknya aroma persaingan timpang juga belum terasa di sektor ini. Misalnya, apakah selama ini ada pelaku waralaba kecil yang komplain lantaran ada McDonald? Isu persaingannya masih belum besar, tegas Iqbal.

 

Meski demikian, Iqbal tetap memperhatikan materi PP ini. Kami memang belum mempelajarinya. Tunggu beberapa waktu yah, janjinya. Apalagi, Pasal 50 UU 5/1999 masih butuh aturan pelaksana yang lebih rinci. Dari situ, akan kita lihat, apakah waralaba akan masuk kriteria mutlak dikecualikan atau ikut ketentuan tertentu? sambung Iqbal.

 

Zaenal juga setuju, PP ini tak bakal menabrak UU 5/1999. Kedudukan PP kan lebih rendah daripada UU. Tentu akan kita patuhi UU tersebut, pungkasnya.

Satu lagi peraturan yang ditunggu-tunggu lahir. Ketentuan tersebut adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba -atau dalam bahasa asingnya, franchise. Peraturan ini menggantikan ketentuan sebelumnya, PP No. 16 Tahun 1997. Departemen Perdagangan (Depdag) merupakan otak perancang peraturan ini.

 

Ada satu hal yang menarik. PP ini mengatur sanksi denda administratif paling banyak Rp100 juta. Denda tersebut berlaku untuk pewaralaba (franchisor, pemberi waralaba) yang tidak mendaftarkan prospektusnya. Demikian halnya bagi terwaralaba (franchisee, penerima waralaba) yang tidak mendaftarkan perjanjian waralabanya. Denda tersebut muncul setelah surat peringatan ketiga dilayangkan. Sanksi denda ini belum diatur dalam PP sebelumnya.

 

Si pewaralaba juga kudu membina terwaralaba. Kalau tidak, bisa dicabut Surat Tanda Pendaftaran Waralabanya (STPW). Sanksi ini juga berlaku jika 'surat cinta' sudah melayang tiga kali. Tujuannya untuk mendidik dan menertibkan para pengusaha, supaya patuh kepada peraturan, ungkap Direktur Bina Usaha Perdagangan dan Pendaftaran Perusahaan Depdag Zaenal Arifin, Kamis (9/8).

 

PP Waralaba (pasal dan ayat terpilih)

Pasal 1

(1) Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.

Pasal 3

Waralaba harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. memiliki ciri khas usaha;

b. terbukti sudah memberikan keuntungan;

c. memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis;

d. mudah diajarkan dan diaplikasikan;

e. adanya dukungan yang berkesinambungan; dan

f. Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar.

Pasal 8

Pemberi waralaba (franchisor, pewaralaba) wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional, manajemen, pemasaran, penelitian dan pengembangan kepada penerima waralaba (franchisee, terwaralaba) secara berkesinambungan.

Pasal 9

(1) Pemberi waralaba dan penerima waralaba mengutamakan penggunaan barang dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang dan/atau jasa yang ditetapkan secara tertulis oleh pemberi waralaba.

(2) Pemberi waralaba harus bekerja sama dengan pengusaha kecil dan menengah di daerah setepat sebagai penerima waralaba atau pemasok barang dan/atau jasa sepanjang memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan oleh pemberi waralaba.

Pasal 10

(1) Pemberi waralaba wajib mendaftarkan prospektus penawaran waralaba sebelum membuat perjanjian waralaba dengan penerima waralaba.

Pasal 11

(1) Penerima waralaba wajib mendaftarkan perjanjian waralaba.

Pasal 16

(1) Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya masing-masing dapat mengenakan sanksi administratif bagi pemberi waralaba dan penerima waralaba yang melanggar ketentuan (Pasal 8, 10, dan/atau 11).

(2) Sanksi dapat berupa:

a. peringatan tertulis;

b. denda; dan/atau

c. pencabutan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW).

Pasal 17

(1) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis dikenakan kepada pemberi waralaba dan penerima waralaba yang melanggar ketentuan.

(2) Peringatan tertulis dapat diberikan paling banyak 3 kali dalam tenggang waktu 2 minggu terhitung sejak tanggal surat peringatan sebelumnya diterbitkan.

Pasal 18

(1) Sanksi administratif berupa denda dikenakan kepada pemberi waralaba yang tidak melakukan pendaftaran prospektus atau penerima waralaba yang tidak melakukan pendaftaran perjanjian waralaba setelah diterbitkan surat peringatan tertulis ketiga.

(2) Denda dikenakan paling banyak Rp100 juta.

(3) Sanksi admiistratif berupa pencabutan STPW dikenakan kepada pemberi waralaba yang tidak melakukan pembinaan kepada penerima waralaba (Pasal 8) setelah diterbitkannya surat peringatan ketiga.

Pasal 19

(1) Perjanjian waralaba yang dibuat sebelum ditetapkan PP ini harus didaftarkan.

(2) Pendaftaran dilakukan paling lambat setahun sejak tanggal berlakunya PP ini.

 

Jika PP lama hanya mengatur kewajiban pendaftaran legalitas usaha bagi si franchisee. Kini, ketentuan itu juga berlaku bagi franchisor. Pendaftarannya ke kantor pusat Depdag. Soalnya, atensi lokal mendaftar ke Dinas Perdagangan masih rendah. Mekanisme di tingkat dinas masih belum jalan. Tapi, kalau permintaan lokal banyak, bisa saja lewat dinas, ujar Zaenal menjelaskan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: