Pembebasan Bersyarat, Peluang Napi yang Sarat Arti
Fokus

Pembebasan Bersyarat, Peluang Napi yang Sarat Arti

Prinsip ‘memelihara napi selama mungkin di penjara' sudah waktunya dihilangkan. Penjara sudah mengalami over-capacity. Rancangan KUHP mulai mengadopsi hukuman kerja sosial.

Oleh:
Mys/Mon/Rzk
Bacaan 2 Menit
Pembebasan Bersyarat, Peluang Napi yang Sarat Arti
Hukumonline

 

NAPI meminta Pemerintah mengkaji ulang rumus pembebasan bersyarat, dengan memperhatikan pemotongan atas remisi. Keputusan Presiden No. 174 Tahun 1999, yang mengatur pemberian remisi bagi narapidana, sejatinya tak mengenal ‘pemotongan atas remisi'. Tetapi dalam praktek, papar NAPI, terjadi pemotongan 1/3 remisi yang diperoleh narapidana. Dengan kata lain, sepertiga masa remisi yang diperoleh napi dihilangkan. Selama ini, rumus yang dipakai Dirjen adalah Pembebasan Bersyarat = 2/3 (Hukuman – Remisi). NAPI mengusulkan rumusan itu diubah menjadi Pembebasan Bersyarat = (2/3 x Hukuman) – Remisi. Sepintas rumus itu hampir sama, namun jauh berbeda dan membawa implikasi yang luqas, papar NAPI.

 

Pembebasan bersyarat

Usulan NAPI itu telah disampaikan kepada Pemerintah. Tinggal menunggu bagaimana keputusan akhir Pemerintah. Yang pasti saat ini, sebuah rancangan Perpres tentang Remisi masih terus digodok. Demikian pula peraturan organik lain tentang remisi seperti SK Menteri Kehakiman No. M.01.-PK. 04.10 Tahun 1999. Salah satu yang mendapat perhatian adalah pembebasan bersyarat.

 

Pembebasan bersyarat dikenal di hampir semua sistem peradilan pidana. Sistem hukum di Inggris dan Amerika Serikat mengenalnya dengan sebutan parole. Belanda menyebutnya vervroegde invrijheidstelling. Di Indonesia, istilah yang dipakai dalam perundang-undangan berbeda-beda, sebagian besar menggunakan istilah pembebasan bersyarat, kecuali Undang-Undang Kejaksaan yang menyebutnya dengan ‘lepas bersyarat'.

 

Secara umum, pembebasan bersyarat memberi hak kepada seorang napi untuk menjalani masa hukuman di luar tembok penjara. Syaratnya: hukuman yang dikenakan lebih dari sembilan bulan, sudah menjalani 2/3 masa hukuman, plus berkelakuan baik selama dalam masa ‘pembinaan'. Pasal 1 angka (7) PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan menyimpulkan: pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan napi di luar Lapas setelah menjalani sekurang-kurang 2/3 masa pidana dari minimal 9 bulan. Intinya, yang berhak mendapat hak pembebasan bersyarat bukan napi yang divonis hukuman kurungan.

 

Dalam bukunya KUHP Serta Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, R. Soesilo menyebut pembebasan bersyarat bernilai edukatif, yaitu memberi kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya.

 

Tak semua napi yang sudah menjalani 2/3 masa hukuman memperoleh pembebasan bersyarat. Ada syarat yang harus dipenuhi, plus trik tersendiri. Misalnya, sang napi sudah harus menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang dia lakukan. Selain itu, telah menunjukkan budi pekerti yang baik, mengikuti kegiatan pembinaan dengan tekun, selama masa pembinaan tak pernah ketiban hukuman disiplin.

 

Soal berkelakuan baik dan syarat normatif itulah yang menjadi ajang permainan. Penilai teknis di lapangan adalah para sipir, kepala sipir atau kepala penjara. Kenal dan dekat apalagi bisa mengambil hati para penilai akan sangat menentukan penilaian. Berbekal uang, kekuasaan dan ketenaran, seorang napi bisa lebih dekat dengan petugas dibanding napi kere. Budi pekerti sering diukur dari parameter hubungan simbiosis mutualisma tadi. Napi yang rajin ‘setor' praktis lebih gampang mendapatkan nilai bagus pada Daftar Salinan F, yaitu semacam daftar disiplin napi yang diisi petugas penjara.

 

Napi perlu tahu prosedur

Tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang prosedur pembebasan bersyarat, atau pengacara tak menjelaskan, adalah kondisi yang menyulitkan napi. Kalau napi tidak mengajukan permohonan, tentu saja hak pembebasan bersyarat sulit didapat. Itu sebabnya, jumlah napi yang mendapatkan hak itu tidak terlalu membludak. Di LP Cipinang misalnya, pada tahun 2005 hanya ada 141 permohonan pembebasan bersyarat yang disetujui. Tahun berikutnya turun menjadi 43, dan hingga Maret 2007 sudah tercatat 26 permohonan pembebasan bersyarat. Padahal jumlah napi di LP Cipinang berjumlah ribuan. Bisa jadi, jumlah napi yang sudah menjalani 2/3 masa hukuman tidak terlalu banyak.

 

Tetapi bisa pula karena napi tak paham betul mekanisme pembebasan bersyarat. Oleh karena itu, Ditjen Pemasyarakatan berencana mengubah mekanisme tersebut. Direktur Bina Bimbingan Kemasyarakatan Ditjen Pemasyarakatan, Mashudi, menegaskan usulan pembebasan bersyarat akan dibalik. Kalau dulu oleh napi, sekarang idenya dari Kepala Lapas. Selama ini pembebasan bersyarat, kata Mashudi, terkesan eksklusif, hanya diperoleh orang-orang yang mengajukan.

 

Dephukham memang mentargetkan pada tahun 2007 ini, sekitar 10 ribu napi akan mendapatkan hak pembebasan bersyarat. Rencana itu bukan hanya mengurangi penghuni penjara, tetapi juga bermanfaat secara finansial. Mashudi memberi contoh, pada 2006 lalu, negara bisa berhemat Rp22 miliar dari 5.700 napi seluruh Indonesia yang mendapatkan pembebasan bersyarat. Bayangkan, menurut Menhukham Andi Matalatta, untuk membangun Lapas baru berkapasitas seribu orang saja butuh anggaran sekitar 70 miliar rupiah.

 

Melihat kondisi demikian, sejumlah pihak mendesak perlunya pikir ulang tentang sistem pemidanaan. Prinsip menghukum pelaku kejahatan selama mungkin di dalam penjara perlu dikaji efektivitasnya. Para penyusun revisi KUHP sudah mulai mengakomodir gagasan itu dengan cara memperkenalkan hukuman pidana kerja sosial. Jadi, napi yang dihukum tak perlu harus dikerangkeng di dalam penjara. Bisa jadi mereka dihukum bekerja untuk masyarakat, membantu di panti-panti jompo misalnya. Tentu dengan pengawasan yang memadai. Siapa tahu jiwa kemanusiaan para napi tersentuh, sekaligus bisa beramal baik bagi sesama. Seperti kata anggota Komisi III DPR Akil Mochtar, napi tak semestinya selalu dipandang sebagai orang buangan....

 

Pada 20 Agustus mendatang, genap sudah satu bulan Untung Sugiono menduduki kursi panas Dirjen Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham). Sederet pekerjaan rumah menumpuk di meja kerjanya. Salah satu pe-er yang dibebankan Menhukham Andi Matalatta adalah mengatasi kelebihan kapasitas penghuni lembaga pemasyarakatan (Lapas).

 

Kerisauan atas over-capacity Lapas sudah menjadi keprihatinan banyak pihak. Betapa tidak, kondisi demikian diyakini turut andil memicu terjadinya kekerasan di balik jeruji besi. Gonta ganti Menteri dan pejabat bidang pemasyarakatan, problem ini masih belum terselesaikan. Hingga, pekan lalu, para penghuni penjara yang tergabung dalam Persatuan Narapidana Indonesia (NAPI), ikut bersuara. Menhukham hendaknya segera mengakhiri prinsip memelihara napi selama mungkin di penjara, tandas NAPI, lewat rilis ketuanya Prof. Rahardi Ramelan.

 

Mengakhiri prinsip ‘memelihara napi selama mungkin di penjara', bagi NAPI, terkait dengan kelebihan kapasitas tadi. Semakin lama seseorang di penjara, semakin menambah jumlah penghuni penjara dan semakin menambah beban anggaran Pemerintah. Hukuman lama belum tentu menimbulkan efek jera. Buktinya, penghuni Lapas terus bertambah.

 

Dirjen Untung Sugiono sendiri mengaku tengah menyiapkan pilot project untuk menuntaskan problem kelebihan penghuni Lapas tadi, khususnya di kawasan Jabodetabek. Untung tak merinci lebih jauh seperti apa programnya. Yang jelas, salah satu langkah yang sudah dilakukan adalah menyebar napi dari Jakarta ke beberapa daerah yang kapasitas penjaranya belum terlalu penuh. Kebijakan ini juga dimaksudkan untuk meminimalisir aksi kekerasan di dalam penjara.

 

Sebaliknya, bagi NAPI, salah satu cara efektif mengurangi penghuni Lapas adalah mengefektifkan pembebasan bersyarat. Pembebasan bersyarat adalah membebaskan seorang napi yang sudah menjalani 2/3 masa hukuman.

Tags: