Payung Hukum Hak Gugat Masyarakat Bertambah
Berita

Payung Hukum Hak Gugat Masyarakat Bertambah

Ini kabar menggembirakan, terutama bagi lembaga yang memberikan advokasi kepada masyarakat. Pembuat undang-undang kembali mengakomodir model gugatan masyarakat dan hak gugat organisasi atau legal standing.

Oleh:
Mys/IHW
Bacaan 2 Menit
Payung Hukum Hak Gugat Masyarakat Bertambah
Hukumonline

 

Direktur Eksekutif Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) Indro Sugianto khawatir klausul organisasi kemasyarakatan menimbulkan ketidakjelasan, apakah yang dimaksud ormas sebagaimana diatur UU No. 8/1985, atau organisasi yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan. Kalau ormas seperti underbouw partai, ya tidak bisa mengajukan legal standing, tegasnya.

 

M. Riza Damanik, Manajer Kampanye Pesisir dan Kelautan WALHI, yakin yang dimaksud pembuat undang-undang adalah organisasi yang bergerak di bidang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, bukan ormas dalam pengertian umum. Ormas di sini adalah organisasi yang masyarakatnya tinggal dan berinteraksi dengan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, ujarnya.

 

Masalahnya, tandas Indro, hingga saat ini belum ada ormas yang memenuhi kriteria semacam itu. Para pembuat undang-undang justru sudah membuka pintu walaupun dengan syarat. Agar bisa mengajukan gugatan legal standing, sebuah ormas harus memenuhi empat syarat: (i) merupakan organisasi resmi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, atau organisasi nasional; (ii) berbentuk badan hukum; (iii) memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga; dan (iv) telah melaksanakan kegiatan sesuai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga tadi.  

 

Hal lain yang patut dicatat adalah tuntutan ganti rugi dalam rangka hak gugat masyarakat. Penggugat tidak boleh mengajukan tuntutan ganti rugi. Kalaupun boleh hanya sebatas biaya-biaya nyata dikeluarkan. Konsep semacam ini juga dianut UU Pengelolaan Lingkungan Hidup.

 

Setidaknya, dua Undang-Undang yang disetujui bersama DPR dan Pemerintah pada 2007 ini mengakomodir hak gugat masyarakat. Pertama, Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Masyarakat menjadi salah satu pilar yang diakui dalam penataan ruang. Masyarakat dapat berpartisipasi baik pada saat perencanaan dan pemanfaatan, maupun saat pengendalian tata ruang.

 

Selain partisipasi semacam itu, pembuat Undang-Undang Penataan Ruang juga mengakomodir hak masyarakat untuk menggugat. Pasal 66 tegas menyebutkan Masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan penataan ruang dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan. Kerugian dimaksud meliputi pula tidak tersedianya informasi mengenai penataan ruang.

 

Kedua, pengakuan yang lebih tegas terdapat pada Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Wet yang ditandatangani Presiden SBY pada 17 Juli 2007 ini menegaskan pengakuan hak masyarakat ‘mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan'. Pada kedua aturan ini, yang diberi hak menggugat adalah ‘masyarakat'.

 

Pasal 69 Undang-Undang No. 27/2007, yang diberi hak mengajukan gugatan dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah ‘organisasi kemasyarakatan'. Kepentingan gugatan itu pun hanya untuk pelestarian fungsi lingkungan. Dengan demikian, ada dua mekanisme yang diatur yaitu hak gugat masyarakat dan legal standing organisasi kemasyarakatan.

 

Lantas, siapa yang dimaksud dengan organisasi kemasyarakatan? Secara harfiah bisa ditengok pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1985. Di sini, organisasi kemasyarakatan alias ormas diartikan sebagai organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk berperan serta dalam rangka mencapai tujuan nasional. Ormas menurut Undang-Undang ini harus berdasarkan Pancasila.

Tags: