Pengadilan Ad Hoc Rentan Kepentingan Politis
Berita

Pengadilan Ad Hoc Rentan Kepentingan Politis

Jakarta, hukumonline. Polemik tentang Pengadilan ad hoc Hak Azasi Manusia (HAM) yang bersifat retroaktif memang tiada habis-habisnya. Pieter van Dijk, seorang pakar Hukum Internasional dari Belanda menyatakan ketidaksetujuannya atas dibentuknya lembaga peradilan itu. Alasannya, kemungkinan adanya terlalu banyak elemen-elemen politis yang tersangkut dalam proses peradilan.

Oleh:
Fat/APr
Bacaan 2 Menit
Pengadilan Ad Hoc Rentan Kepentingan Politis
Hukumonline

Van Dijk menyatakan hal tersebut di sela-sela acara seminar sehari yang diadakan oleh Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan Supremasi Hukum (YHDS) pada 23 Januari 2000. Seminar tersebut memang khusus membicarakan mengenai "Adjudication of Human Rights Violations By A National, Regional or An International Human Rights Court."

Sesuai dengan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000, pelanggaran HAM  berat yang terjadi sebelum disahkannya UU tersebut akan diperiksa dan diputus oleh suatu pengadilan ad hoc. Namun, kekhawatiran utama van Dijk tampaknya lebih berdasarkan ayat (2) pasal yang sama. Di situ disebutkan bahwa pengadilan ad hoc dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.

Van Dijk merasa, pembentukan suatu pengadilan yang berdasarkan suatu peritiwa tertentu inilah yang rentan dimasuki kepentingan-kepentingan politis, terutama pada saat pemilihan hakim-hakim. Para hakim tersebut akan dipilih oleh yang berwenang, yaitu DPR, dalam kerangka situasi tertentu. "Bisa saja, situasi tertentu itu memerlukan penyelesaian yang segera karena ada tekanan-tekanan dari berbagai pihak dari dalam maupun luar negeri," kata van Dijk.

Di sinilah kepentingan-kepentingan politis itu masuk. Para hakim yang dipilih bisa saja akan terdiri dari orang-orang yang dapat mewakili kepentingan-kepentingan tersebut. Akibatnya, proses peradilan pun akan terkontaminasi dan berjalan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip peradilan yang fair, bersih, dan tidak memihak.

Van Dijk mempertanyakan mengapa bukan pengadilan khusus saja yang dibentuk untuk mengadili pelanggaran berat HAM. Van Dijk berpendapat, suatu pengadilan khusus lebih mempunyai kewenangan yang luas daripada suatu pengadilan ad hoc. Suatu pengadilan khusus juga dapat mengadili kasus-kasus di masa lampau asalkan diberikan dasar hukumnya dalam UU.

Pengadilan umum

Adanya unsur-unsur politis ini juga diakui oleh Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Internasional dari Universitas Padjajaran. Namun, Romli lebih menunjuk pada faktor politis yang menurutnya memang terdapat pada pelanggaran-pelanggaran berat HAM selain faktor sosial dan budaya.

Menurut Romli, pembentukan pengadilan ad hoc merupakan solusi yang tepat untuk mengatasi krisis hukum di era transisi pemerintahan di Indonesia. Romli juga menunjuk pada Peradilan Nuremberg dan Tokyo sebagai preseden hukum internasional dalam hal penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat.

Halaman Selanjutnya:
Tags: