Itsbat Nikah Masih jadi Masalah
Utama

Itsbat Nikah Masih jadi Masalah

Persoalan itsbat nikah menjadi perhatian serius Pokja Perdata Agama MA. Dalam rapat koordinasi akhir September lalu, persoalan ini menjadi salah satu materi yang diulas para hakim agung bidang perdata agama.

Oleh:
Her
Bacaan 2 Menit
Itsbat Nikah Masih jadi Masalah
Hukumonline

 

Meski demikian, dalam praktik, itsbat nikah pernah dilakukan secara menyimpang dari ketentuan Undang-undang. Contohnya, ungkap Andi, apa yang terjadi di Aceh setelah tsunami 2004 lalu. Akibat tsunami, banyak pasangan suami istri kehilangan akta nikah. Dalam kondisi seperti itu, banyak warga Aceh yang berbondong-bondong mengukuhkan kembali perkawinannya di Pengadilan Agama (PA).

 

Itsbat nikah yang diajukan artis Ayu Azhari dengan suaminya yang berkewarganegaraan asing, lanjut Andi, juga tergolong penyimpangan terhadap UU. PA Jakarta Selatan, di tengah kontroversi, ternyata mengitsbatkan perkawinan mereka.

 

Mungkin hakim di PA Jaksel mendasarkan pertimbangannya pada Pasal 7 ayat 3 (e) UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama tanpa menghubungkan dengan Pasal 7 ayat 3 (d), kata Andi.

 

Baru-baru ini, lanjut Andi, di PA Jaksel juga ada permohonan itsbat nikah padahal pasangan suami istri itu menikah setelah UU No. 1 Tahun 1974 lahir. Belum diketahui apakah permohonan itu diterima atau ditolak, ungkapnya.

 

Perkara voluntair

Hakim Agung Prof Muchsin menyatakan, itsbat nikah merupakan perkara yang tidak mengandung unsur sengketa alias voluntair. PA memiliki kewenangan itu dengan syarat bila dikehendaki oleh UU. Prinsipnya pengadilan tidak mencari-cari perkara melainkan perkara itu telah menjadi kewenangannya karena telah diberikan UU.

 

Mengenai itsbat nikah ini ada Permenag No. 3 Tahun 1975 yang dalam Pasal 39 ayat (4) menentukan bahwa jika KUA tidak bisa membuatkan duplikat akta nikah karena catatannya telah rusak atau hilang, maka untuk menetapkan adanya nikah, cerai atau rujuk harus dibuktikan dengan penetapan PA, papar Prof Muchsin. Namun, ia menambahkan, aturan itu hanya berkaitan dengan perkawinan yang dilangsungkan sebelum adanya UU No. 1 Tahun  1974, bukan perkawinan yang terjadi sesudahnya.

 

Pasal 7 KHI ternyata memberi PA kompetensi absolut yang sangat luas terhadap itsbat ini. Menurut Prof Muchsin, hal itu melahirkan banyak masalah. Masalah itu timbul bila penggugat mencabut perkara cerainya, atau pemohon tidak mau melaksanakan ikrar talak karena telah rukun kembali padahal ada putusan sela tentang sahnya nikah mereka. Apakah bisa penjatuhan terhadap status hukum dalam putusan sela menjadi gugur ? ujarnya.

 

Prof Muchsin berpendapathal itu tak bisa batal dengan sendirinya karena ini menyangkut status hukum seseorang. Lain halnya dengan putusan sela tentang sita yang menyangkut hak kebendaan dimana bisa diangkat sitanya.

 

Hal inilah yang membuka lahirnya penipuan hukum. Belum lagi jika itsbat nikah yang diajukan menyangkut perkawinan poligami, kata prof Muchsin. Menurutnya, perkara itsbat tidak boleh digabungkan dengan perkara poligami. Itsbat adalah perkara yang tidak mengandung unsur sengketa (voluntair), sedangkan poligami adalah perkara yang mengandung sengketa (contensious).

Ketua Muda Uldilag Mahkamah Agung (MA) Andi Syamsu Alam menceritakan, persoalan itu mengemuka setelah pertengahan September lalu MA diminta membuat fatwa mengenai status perkawinan sirri. Ketika itu, MA akhirnya menurunkan fatwa bahwa seorang istri yang dinikahi secara sirri sudah boleh menuntut hak-haknya melalui pengadilan.

 

Sehabis fatwa itu keluar, sejumlah wartawan infotainment mengejar-ngejar Andi. Rupanya fatwa itu menyangkut pasangan selebritis. Namun Andi mengelak memberi penjelasan. Berikutnya, humas MA Nurhadi jadi sasaran wartawan. Setelah didesak terus, Nurhadi akhirnya meminta penjelasan kepada Andi soal fatwa itu.

 

Tidak ada itsbat nikah setelah lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kecuali perkawinan itu dilangsungkan sebelum UU itu lahir, kata Andi. Namun ketentuan itu bisa dikecualikan karena alasan-alasan tertentu seperti tercantum dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam.

 

Andi merinci, di antara alasan itu ialah adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, hilangnya akad nikah, adanya keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat perkawinan. Atau karena adanya perkawinan yang dilakukan mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974.

 

Pasal  7 Kompilasi Hukum Islam

(1)Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

 (2)Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
(b) Hilangnya Akta Nikah;
(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
(d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No 1/1974;
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No 1/1974.

(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

 

Tags: