MK: Negara 'Wajib' Mengatur Soal Poligami
Berita

MK: Negara 'Wajib' Mengatur Soal Poligami

MK berpendirian, poligami justru harus diatur oleh negara untuk menjamin keadilan sosial, terutama dalam ranah keluarga. Pembedaan ketentuan bagi muslim dan non musli untuk berpoligami bukan bentuk diskriminasi. Pemohon mengaku kecewa.

Oleh:
NNC/Rzk
Bacaan 2 Menit
MK: Negara 'Wajib' Mengatur Soal Poligami
Hukumonline

 

Justru kata MK, Akan menjadi tidak wajar jika UU perkawinan mengatur poligami untuk mereka yang hukum agamanya tidak mengenal poligami. Pengaturan berbeda itu bukan diskriminasi, melainkan mengatur sesuai dengan apa yang dibutuhkan dari dua hal yang berlainan, sementara pengertian diskriminasi ialah memberikan perlakuan yang berbeda terhadap dua hal yang sama.

 

Syarat poligami, dalam pandangan MK, juga merupakan bentuk jaminan keadilan dari negara  bagi seorang istri dan anak-anak (keturunan). Mengutip ahli dari pemerintah Prof.Dr. Hj Huzaemah Tahido Yanggo, MK menyatakan, pengaturan poligami merupakan upaya pemerintah (negara) mengurus rakyatnya sesuai kemaslahatan. Ini berhubungan juga dengan upaya negara untuk mencoba menggaransi tercapainya tujuan perkawinan.

 

Menurut para alim ulama pada dasarnya tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan dengan pengertian keluarga sakinah seperti diuraikan Huzaemah. Profesor ahli fiqih yang juga anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu berpandangan, sakinah dapat lestari manakala ada mawaddah, yakni kasih sayang. Mawaddah tersebut mesti bersifat altruistik, yakni membahagiakan pasangan. Bukan egositik yang semata ingin mendapat segala kesenangan diri dengan mengabaikan perasaan pasangan, ujar Huzaemah beberapa waktu lalu.

 

Kesimpulan soal perlunya pembatasan poligami ini bertolak dari sodoran data dari Ditjen Bimas (Bimbingan Masyarakat) Islam Departemen Agama (Depag) sebagai bukti empirik yang berkesimpulan bahwa poligami justru meningkatkan angka perceraian. Perceraian ini pula bakal menimbulkan persoalan keadilan dalam hal hak-hak anak dan istri.

 

Mengenai dalil pemohon yang mengatakan poligami sebagai pembatasan beribadah, MK mengekor pendapat Ahli  dari pemerintah Prof Quraish Shihab yang menyatakan pada dasarnya Islam menganut asas monogami namun tidak menutup untuk melakukan poligami.

 

Menurut Quraish, meski syarat  berpoligami dalam UU Perkawinan tidak ekplisit mengacu Al-Qur'an dan Sunnah Rasul, namun ketetapan hukum pada UU itu dapat dibenarkan. Sebab, ia selalu berkisar pada illah dan tujuannya, sehingga negara dapat memberikan persyaratan-persyaratan baru yang belum tercantum secara ekplisit dalam ayat-ayat dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi.

 

Sebagai ibadah, poligami bisa menjadi mubah/halal namun juga bisa berubah menjadi sunnah atau makruh. Hanya saja, 'mimikri' hukum poligami ini bukan disebabkan oleh substansinya, tapi berdasar pada kondisi pelaku, waktu dan latar belakang yang melatarbelakangi.

 

Poligami merupakan pengecualian yang dapat ditempuh dalam keadaan tertentu, baik yang secara obyektif terkait dengan waktu dan tempat, maupun secara subjektif terkait dengan pelaku dalam perkawinan tersebut, ungkap  ketua MK dan juga ketua majelis hakim konstitusi Jimly Asshidiqqie ketika membacakan  putusan.

 

Soal pengaturan ibadah dalam penyelenggaraan ibadah, MK mengambil ibadah haji sebagai komparan.Sebagai perbandingan, ibadah haji merupakan rukun Islam. Namun demi terselenggaranay ibadah haji yang baik, pemerintah mengatur persyaratan calon haji berhubung kuota jamaah haji setiap tahun terbatas, ucap Jimly.

 

Hakim dinilai batasi kesempatan ahli dari pemohon

Atas putusan itu, M Insa seusai pembacaan putusan di Gedung MK menunjukkan kekecewaannya. Saya menghormati putusan MK ini. Tapi ini nggak bagus. Kenapa? karena ini tidak menyelesaikan masalah. Sekarang ini banyak anak hasil dari nikah siri yang susah mendapat akta kelahiran. Kalau tidak ada akta kelahiran kan tidak bisa anak itu sekolah. Itu kan melanggar HAM, seloroh Insa.

 

Menurut Insa, dalam sidang pendengaran keterangan ahli dari pemohon dan pemerintah, majelis Hakim Konstitusi tidak memberikan proporsi kesempatan yang sama dari kedua belah pihak. Hakim tidak memberikan kesempatan yang cukup bagi ahli pemohon untuk mengutarakan keterangan yang sebenarnya bisa memperkuat dalil permohonan, tambah Insa.

 

Dilihat dari bagian Pendirian Mahkamah dalam putusan tersebut, memang Insa tidak sekedar berseloroh. Kecuali dalam pertimbangannya, dari 12 poin Pendirian Mahkamah, pendapat Ahli dari Pemohon hanya disitir dalam dua poin, bahkan tanpa menyebut nama ahli pemohon. Sementara keterangan Ahli dari Pemerintah dicuplik dalam lebih dari empat poin pendirian. Bahkan nama ahli dari Pemerintah, Quraish dan Huzaemah, disebut masing-masing dua kali.

 

Respons penentang poligami

Putusan MK ini kontan disambut gembira oleh aktivis penentang poligami yang tergabung dalam Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (LKP3). Wajar saja, sebab perjuangan para aktivis itu mengintervensi sidang uji materiil di MK beberapa waktu lalu, adalah untuk menghapus kesempatan poligami di bumi Indonesia melalui advokasi pada program legislasi nasional.

 

Ratna Batara Munti dari Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (LKP3) mengatakan, Putusan ini membuka kemungkinan bagi aktivis pembela perempuan dan HAM untuk menghapuskan sama sekali ketentuan Poligami dalam UU Perkawinan.

 

Kita tahu, Undang-Undang mengatakan bahwa perkawinan merupakan ikatan antara laki-laki dan perempuan. Jadi kedudukan mereka setara. Akan tidak adil jika Undang-undang memberikan privelege bagi salah satu jenis kelamin saja, sehingga ia berkemungkinan membentuk dan mengikatkan diri dengan pasangan lain, ujarnya sambil membeberkan hasil penelitian LBH APIK tentang hubungan poligami dengan meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

 

Terpisah, mantan aktivis perempuan yang kini menjadi anggota Komisi III DPR Nursyahbani Katjasungkana juga mengaku lega dengan putusan MK. Bagus itu, emang semestinya begitu karena urusan poligami bukan hak asasi manusia. Jadi ngga benar itu kalau dikatakan bertentangan dengan Pasal 28 (UUD 1945, red) hak untuk membentuk keluarga dan Pasal 29 hak untuk menjalankan ibadah, cetusnya.

 

Nursyahbani yang sempat mewakili DPR RI dalam persidangan di MK mengatakan, hak  membentuk keluarga dalam Pasal 29 UUD 1945 berlainan dengan hak berpoligami. Hak untuk membentuk keluarga tidak terganggu toh, dia bisa punya istri, kan? ujarnya.

 

Menurutnya, dengan putusan ini, MK telah mengambil posisi yang benar. Sebab, lanjut dia, MK berarti telah mengakomodir pikiran-pikiran yang berkembang antara mereka yang setuju dengan poligami dan yang sama sekali menolak. Ini sesuai dengan asas keadilan, pungkasnya.

 

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil persyaratan poligami dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam putusannya bernomor 12/PUU-V/2007 pada bagian Pendirian Mahkamah, MK berpendapat negara bukan hanya berwenang mengatur (bevoeg te regel) tapi justru memiliki kewajiban untuk mengatur (verplicht te regel) terhadap persoalan yang menyangkut sisi keadilan masyarakat. Zonder dissenting opinion, putusan disetujui bulat oleh kesembilan Hakim Konstitusi dan dibacakan pada Rabu (3/10) di ruang sidang utama MK.

 

Uji materiil diajukan oleh M Insa, seorang warga Bintaro, Jakarta Selatan, yang ‘menggugat' syarat dan ketentuan poligami dalam UU Perkawinan. Insa mengajukan permohonan judicial review sejumlah pasal terkait poligami, mulai dari Pasal 3 ayat (1) dan (2), Pasal 4 ayat (1) dan (2), Pasal 5 ayat (1), Pasal 9, hingga Pasal 15 dan pasal 24. Insa merasa ketentuan dalam Pasal-pasal itu diskriminatif dan melanggar nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin konstitusi.

 

Insa menyatakan syarat poligami merupakan pembatasan yang bersifat diskriminatif lantaran hanya berlaku buat umat muslim. Padahal poligami menurut pandangan Insa merupakan ibadah yang merupakan HAM dan sudah dijamin Pasal 28 Ayat (1) UUD 1945. Pasal ini menjamin hak setiap orang untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan.

 

Menurut MK, syarat dan ketentuan poligami yang diatur UU perkawinan bukanlah aturan diskriminatif. Negara yang pada dasarnya menganut asas monogami bahkan telah memberikan kesempatan bagi keyakinan penganut paham poligami namun dengan melakukan pembatasan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: