Perda Ketertiban Umum, Niat Baik yang Tak Didukung Kemampuan
Fokus

Perda Ketertiban Umum, Niat Baik yang Tak Didukung Kemampuan

Selasa, 9 Oktober 2007. Satu unit mobil berisi lima petugas Satpol PP bergerak melintasi kampus Universitas Pancasila menuju Jakarta. Menjelang penyeberangan padat di depan Pasar Lenteng Agung, mobil patroli itu tak berhenti. Padahal, di sisi kanan jalan tak kurang dari enam orang pengemis mengais rezeki.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Perda Ketertiban Umum, Niat Baik yang Tak Didukung Kemampuan
Hukumonline

 

Studi yang dilakukan LBH Jakarta menunjukkan bagaimana produk hukum telah memberi peluang dan legitimasi bagi tindakan represif yang melanggar HAM. Ironisnya, tindakan itu dilakukan oleh petugas bernama Satpol PP. Mengandalkan petugas Satpol PP untuk mengimplementasikan Perda Ketertiban Umum di lapangan belum tentu menyelesaikan masalah.

 

Perbuatan yang bisa dipidana menurut Perda Ketertiban Umum cukup banyak. Bayangkan, Anda yang membeli pakaian dari pedagang kaki lima yang berjualan di badan jalan di Pasar Senen bisa dipenjara. Begitu pula jika Anda iseng membuat lukisan di sebuah sarana umum. Selain yang disebut di atas, termasuk pula menyeberang jalan tidak melalui tempat yang disediakan, menurunkan penumpang tidak pada tempatnya, hingga menjadi calo. Begitu banyaknya perbuatan yang diatur, hingga Wakil Ketua Komnas HAM Yoseph Adi Prasetyo menganggap Perda Ketertiban Umum mencampuradukkan antara norma, nilai, dan ketertiban. Perda ini mencampuradukkan soal kebersihan lingkungan, ketaatan pada norma agama, dan pemenuhan kesusilaan, ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, 26 September lalu.

 

Beberapa Perbuatan yang Dikriminalisasi

Menurut Perda DKI tentang Ketertiban Umum

         Menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, atau pengelap mobil;

         Memberi kepada pengemis, pengamen dan pengelap mobil;

         Menjadi calo karcis hiburan, kendaraan umum, atau kegiatan lain;

         Melakukan praktek pengobatan tradisional atau kebatinan tanpa izin;

         Menyuruh orang menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, atau pengelap mobil;

         Menyediakan dan atau menggunakan bangunan sebagai tempat untuk berbuat asusila;

         Menaikkan dan atau menurunkan penumpang kendaraan umum tidak pada tempatnya;

         Menyeberang jalan tanpa melalui jembatan penyeberangan atau zebra cross;

         Menawarkan diri jadi joki three in one

         Berdagang di trotoar, halte dan jembatan penyeberangan;

         Pejalan kaki tidak melalui trotoar;

         Membeli barang-barang yang dijual pedagang kaki lima.

 

 

Telaah ulang

Diskusi itu sengaja diselenggarakan LBH Jakarta menindaklanjuti banyaknya suara penolakan terhadap Perda Ketertiban Umum. Direktur LBH Jakarta Asfinawati meminta Pemda DKI berpikir ulang untuk memberlakukan Perda tersebut karena sangat merugikan kelompok masyarakat miskin. Ia juga mengkritik penyusunan Perda yang tak melibatkan masyarakat. Masyarakat baru dilibatkan pada tahap sosialisasi setelah Perda disetujui.

 

Tudingan Asfin ditepis Zainal Mustafa, staf biro hukum Pemda DKI. Ia mengatakan  tidak ada satu pun pasal dalam Perda tersebut yang bertujuan mendiskreditkan rakyat miskin. "Ini hanya penataan ruang. Kami tidak melarang orang mengemis. Silakan mereka bekerja dari rumah ke rumah asalkan tidak mengumpul di perempatan dan mengganggu lalu lintas. Pedagang kaki lima boleh berdagang, tetapi di tempat yang disediakan. Tetapi tidak boleh mendirikan lapak seenaknya," katanya.

 

Yoseph Adi Prasetyo mencoba menjembatani perbedaan persepsi itu. Menurut anggota Komnas yang biasa disapa Stanely ini, Perda Ketertiban Umum bisa jadi disusun dengan niat baik. Keinginan baik itu ada dalam Perda, ujarnya. Masalahnya, niat baik itu tidak didukung kemampuan. Alat yang dimiliki Pemda DKI untuk menegakkan aturan Perda adalah Satpol PP. Padahal, Satpol memiliki kewenangan yuridis yang sangat terbatas. Sehingga ketika mau mengeksekusi hukuman dalam Perda, Pemda akan menghadapi problem yuridis. Semangatnya bagus, tapi tidak diimbangi kemampuan dan kesiapan, tambahnya.

 

Sebagai contoh, Stanley menyebut aturan penyeberangan. Setiap orang dilarang menyeberang tanpa melalui jembatan penyeberangan atau lokasi yang ditentukan. Ancamannya bisa 20-an juta. Aturan semacam berpotensi diskriminasi terhadap orang cacat. Sebab, Pemda DKI tak menyediakan fasilitas penyeberangan buat orang cacat. Contoh lain adalah larangan menjual dan mengedarkan daging sebelum ada lampu kuning dari BPOM. Lalu, apakah Satpol PP memiliki keahlian meneliti mana daging yang halal, mana yang dilarang?.

 

Meskipun memandang niat penyusun Perda Tibum baik, kalau ditengok materinya justru berpotensi melanggar hak asasi manusia. Apalagi secara formal, Perda mencantumkan payung hukum bidang HAM pada bagian konsiderans. Karena itu, Stanley sampai pada kesimpulan bahwa Perda Ketertiban Umum harus dikaji ulang agar applicable. Ia khawatir Perda Ketertiban Umum bernasib sama dengan Perda tentang Larangan Merokok di Tempat Umum. 

 

Beruntung, sinyal positif datang dari Depdagri. Janiruddin, staf Biro Hukum Depdagri menyatakan bahwa Depdagri masih menelaan ulang dan mengkaji kelayakan Perda Ketertiban Umum. Kalau ternyata ada kesalahan, Presiden melalui Mendagri bisa membatalkan Perda tersebut. Kami akan menelaahnya, apakah bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan yang lebih tinggi, tandasnya.

 

Hari itu, mobil patroli Satpol PP terkesan cuek bebek. Para pengemis pun tak lagi berusaha bersembunyi mengetahui kedatangan petugas. Lokasi tempat para pengemis itu sudah sering dirazia. Toh, tetap saja ada yang muncul. Adakah petugas Satpol sudah capek? Bukankah kini mereka punya senjata baru yang bisa menjerat para pengemis dan pengamen: Perda Ketertiban Umum?

 

Perda DKI No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum itu sudah mendapat persetujuan dari Pemda. Kini, Departemen Dalam Negeri sedang melakukan evaluasi. Evaluasi itu penting mengingat banyaknya penolakan dari warga masyarakat. Hingga pekan lalu, demo menentang pengganti Perda No. 11 Tahun 1998 itu masih berlangsung. Peringatan Hari Habitat Internasional 10 Oktober lalu pun dijadikan momentum untuk mengkritisi Perda Ketertiban Umum. Pemerintah Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun Daerah, harus mencabut semua kebijakan yang mengkriminalisasi rakyat miskin, ujar Dian Kartikasari, Deputi Direktur Eksekutif koalisi lembaga swadaya masyarakat INFID.

 

Harus diakui, rakyat miskin memang menjadi sasaran utama Perda Ketertiban Umum. Warga miskin yang menjalankan profesi mengamen di jalanan, pedagang kaki lima yang berjualan di trotoar, pengemis, dan meminta bantuan atau sumbangan di jalan terancam kriminalisasi, baik berupa penjara maupun denda. Ironisnya, orang yang memberikan sedekah kepada kaum gepeng pun bisa kena getahnya, ancaman penjara 10 hingga 60 hari, atau denda dari seratus ribu hingga Rp20 juta.

 

Pengamat hukum tata negara Saldi Isra menganggap pembuatan Perda semacam itu seolah Pemda ingin sembunyi tangan. Kaum marginal seperti gepeng, pengemis dan pengamen muncul di perkotaan justru karena Pmda tidak berhasil menanggulangi kemiskinan. Konstitusi kan sudah jelas menyebut fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, ujarnya.  

Halaman Selanjutnya:
Tags: