Terikat Konvensi Internasional, Hukuman Mati Mesti Jalan Terus
Putusan MK

Terikat Konvensi Internasional, Hukuman Mati Mesti Jalan Terus

Lantaran terikat dengan konvensi internasional tentang narkotika, Indonesia tetap memberlakukan hukuman mati. Pengajuan judicial review oleh WNA menjadi perdebatan hakim.

Oleh:
NNC
Bacaan 2 Menit
Terikat Konvensi Internasional, Hukuman Mati Mesti Jalan Terus
Hukumonline

 

Dengan menerapkan hukuman berat melalui pidana mati untuk kejahatan serius seperti narkotika, MK berpendapat, Indonesia tidak melanggar perjanjian internasional apa pun, termasuk Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menganjurkan penghapusan hukuman mati. Bahkan MK menegaskan, pasal 6 ayat 2 ICCPR itu sendiri membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius.

 

Dalam pandangan Mahkamah, keputusan pembikin Undang-undang untuk menerapkan hukuman mati telah sejalan dengan Konvensi PBB 1960 tentang Narkotika dan Konvensi PBB 1988 tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights, dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM sebab ancaman hukuman mati dalam UU Narkotika telah dirumuskan dengan hati-hati dan cermat, tidak diancamkan pada semua tindak pidana Narkotika yang dimuat dalam UU tersebut.

 

Kecermatan dan kehati-hatian ancaman pidana mati dalam UU Narkotika, dalam pandangan MK antara lain dengan sudah dirumuskannya secara cermat dan hati-hati karena tidak diancamkan kepada semua pidana narkotika,  sebab ia hanya diancamkan pada produsen dan pengedar gelap yang terbatas pada golongan I, seperti ganja dan heroin. Sedangkan untuk penyalahguna dan pengguna tidak dikenakan hukuman mati.

 

MK juga mempertimbangkan kehati-hatian pengenaan pidana mati dalam UU Narkoba yang dengan tegas mengharuskan pengenaan pidana mesti disertai dengan ancaman pidana minimum, sehingga pidana mati hanya dapat dijatuhkan apabila terdapat bukti yang sangat kuat.

 

Lebih lanjut, melihat pada UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, MK memandang bahwa UU itu juga mengakui adanya pembatasan hak asasi seseorang dengan memberi pengakuan hak orang lain demi ketertiban umum. Dalam hal ini, MK menganggap hukuman mati merupakan bentuk pengayoman negara terhadap warganegara terutama hak-hak korban.

 

Dalam pandangan MK, penghapusan pidana mati belum menjadi pandangan moral yang universal dari masyarakat internasional, meski kecenderungan saat ini menunjukkan bertambahnya negara yang menghapus pidana mati dalam kebijakan  hukum nasionalnya.

 

Di dunia internasional, Indonesia termasuk dalam 68 negara yang masih memberlakukan pidana mati (data hingga Juli 2006). Sementara 129 negara, termasuk pewaris KUHP (Belanda), sudah menjadi negara abolisionis yang telah menghapus pidana mati.

 

Tanpa menafikkan realitas perkembangan hukuman mati di berbagai negara, MK juga memandang dinamika hukum internasional seperti ICCPR, Rome Statue of International Criminal Court, dan deklarasi HAM Eropa, ternyata masih memungkinkan diterapkannya hukuman mati.

 

MK dalam putusannya meminta agar hukuman berkekuatan hukum tetap bagi terpidana mati segera dilaksanakan.  "Demi kepastian hukum yang adil, MK sarankan agar semua pidana mati yang telah berkekuatan hukum tetap segera dilaksanakan sebagaimana mestinya," ujar Ketua MA Jimly Asshiddiqie yang sampai mengulang dua kali pernyataan seakan hendak memberi penegasan. 

 

Hanya periksa WNI

Uji materiil terhadap hukuman mati yang diancamkan dalam UU Narkotika itu diajukan oleh lima pemohon yang terdiri atas dua berkas terpisah. Berkas pertama diajukan oleh dua terpidana mati warga negara Indonesia yakni Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani serta dua warga negara Australia terpidana mati kasus Bali Nine, Myuran dan Andrew Chan. Berkas satunya dimohonkan oleh satu terpidana mati kasus Bali Nine lainnya yang juga warga negara Australia, Scott Anthony Rush.

 

MK hanya memeriksa pokok permohonan uji materiil yang diajukan oleh dua WNI, Edith dan Rani. Dalam putusannya MK menyatakan tidak menerima permohonan yang diajukan oleh WNA warga negeri Kangguru, yaitu Myuran Sukumaran, Andrew Chan, serta Scott Anthony Rush.

 

MK berpendapat, pasal 51 ayat 1 UU MK telah secara tegas dan jelas menyatakan, yang dapat mengajukan permohonan uji materiil UU terhadap UUD 1945 adalah perorangan atau kelompok WNI yang memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945.  

 

Meski pintu untuk mengajukan permohonan uji materiil terhadap UUD, MK menyatakan, para ekspatriat masih dapat memperoleh perlindungan hukum melalui upaya hukum seperti banding, kasasi, dan peninjauan kembali.

 

Hampir separuh majelis DO

Dalam putusan itu, empat hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Keempat hakim yang menyatakan DO adalah H Harjono, Achmad Roestandi, Laica Marzuki dan Maruarar Siahaan.

 

Harjono khusus menyoroti soal kedudukan hukum para WNA. Harjono menganggap bahwa WNA memiliki kedudukan hukum untuk menguji materiil sebuah UU terhadap UUD 1945. Alasannya, jaminan hak asasi manusia dalam UUD memberikan jaminan pada setiap orang yang tidak dibatasi pada kewarganegaraan. Dalam Hal ini, mesti dibedakan antara UU yang semata-mata ditujukan untuk WNI semata, untuk  WNA, dan UU yang ditujukan baik untuk WNA maupun WNI.

 

Menurut Harjono, UU Narkotika merupakan UU yang ditujukan baik untuk WNA maupun WNI, sehingga jika ada WNA mengajukan uji materi sementara tidak ada WNI mengajukannya, maka MK akan serta merta menolak atas dasar Pasal 51 ayat(1) UU MK. Padahal, ujar Harjono, MK seharusnya membarikan status legal standing tanpa harus mengabulkan permohonan untuk menyatakan Pasal 51 Ayat (1) UU MK bertentangan dengan UUD 1945, tapi cukup dengan menafsirkan secara luas ketentuan dalam Pasal itu.

 

Sama dengan Harjono,  Laica Marzuki dan Maruarar Siahaan juga memandang bahwa pemohon WNA memiliki kedudukan untuk  mengajukan uji materiil. Laica menganggap bahwa permohonan WNA tentang UU Narkoba terkait dengan hak untuk hidup yang melekat pada tiap diri manusia (basic right). Sehingga ujarnya, Basic right tidak dapat disimpangi oleh Undang-udang, wet, Gezetz. Laica menengok pada putusan MK di Jerman dan Mongolia yang mengabulkan permohonan WNA. Memberlakukan pasal itu dalam perkara ini berarti menghambat upaya setiap orang memohonkan pengujian UU terhadap basic right yang dijamin konstitusi, simpulnya.

 

Dalam pokok perkara, Laica menyatakan bahwa permohonan semestinya dikabulkan. Ia menyorot kisah klasik  termashyur dari negeri Napoleon. Di abad-18, Jean Calas dihilangkan ajalnya oleh pengadilan Toulouse, Perancis. Ia dihukum karena didakwa membunuh puteranya tanpa terbukti melakukan pembunuhan yang didakwakan. Menyitir dari Bonesana Beccaria, ahli hukum berkebangsaan Italia dalam bukunya Dei delitti e delle pene (1764), pidana mati bertentangan dengan du contract social. Negara tidak berhak memidana mati seseorang, sebab pencegahan kejahatan mestinya melalui upaya pendidikan, ujar Laica dalam putusan.

 

Sementara Achmad Roestandi berpendapat hak hidup tidak bisa dikurangi oleh apapun. Alasan bahwa kesalahan pemidanaan mati tidak dapat dipulihkan lantaran si terpidana sudah hilang ajal, mestinya turut dipertimbangkan MK. Sebab, hukuman mati seperti diterapkan dalam negara-negara muslim masih mengakui keadaan dosa bagi aparat penegak syariah. Kesalahan pemidanaan mati, dalam syariah, diyakini bahwa dosa akibat kesalahan itu tetap akan diperhitungkan di akhirat nanti. Oleh karena itu, saya memahami bahwa norma agama membolehkan penjatuhan pidana mati bagi pelaku kejahatan tertentu, ujar Roestandi.

 

Roestandi juga mengaku hanya diamanati untuk menguji UU terhadap konstitusi, sehingga ia tidak bisa menguji ketentuan UU dengan merujuk pada perjanjian, konvensi maupun kebiasaan internasional.

 

Maruarar Siahaan dalam pendapat berbedanya melakukan analisis ekonomi dalam hukum. Menurutnya, tidak terdapat pembenaran detterent effect (efek jera, red) yang diharapkan dari pidana mati secara rasional, proporsional dan masuk akal yang dapat dijadikan dasar menyimpangi dasar filosofis moral konstitusi.

 

Perhatian untuk memberantas kejahatan narkotika semestinya diarahkanpada biaya atau anggaran dari criminal justice system, termasuk biaya anggaran operasi untuk mendeteksi atau menangkap pelaku kejahatan dan biaya sanksi. Dia mencontohkan, dengan meningkatkan kemungkinan terdeteksinya kejahatan, misal dua kali lipat, maka ongkos kejahatan yag mesti dipikul penjahat akan berlipat dua.

 

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi hukuman mati dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika yang dimohonkan antara lain oleh ekspatriat asal negeri kangguru yang  tersangkut kasus Bali Nine, yakni Andrew Chan, Myuran Sukumaran dan Scott Anthony Rush.

 

MK dalam putusannya yang dibacakan pada Selasa (30/10), menyatakan hukuman mati dalam UU Narkotika tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin UUD 1945 lantaran jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 tidak menganut asas kemutlakan. Menurut Mahkamah,  hak asasi yang dijamin pasal 28A hingga 28I UUD 1945 sudah dikunci oleh pasal 28J yang berfungsi sebagai batasan. Hak asasi dalam konstitusi mesti dipakai dengan menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Dengan demikian, hak asasi manusia harus dibatasi dengan instrumen Undang-Undang. "Hak untuk hidup itu tidak boleh dikurangi, kecuali diputuskan oleh pengadilan," kata hakim konstitusi Natabaya saat membacakan putusan.

 

Pandangan ahli yang diajukan pemohon dalam persidangan sebelumnya bahwa pidana mati bertentangan dengan filosofi pemidanaan di Indonesia lantaran penganut paham rehabilitasi dan reintegrasi, menurut MK, telah menyamaratakan semua jenis kejahatan dan kualitas kejahatan. Padahal filosofi tersebut hanya berlaku pada kejahatan-kejahatan tertentu dalam kualitas tertentu yang masih mungkin untuk dilakukan rehabilitasi dan reintegrasi sosial pada pelakunya

 

Alasan pertimbangan putusan salah satunya karena Indonesia telah terikat dengan konvensi internasional narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi menjadi hukum nasional dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Sehingga, menurut putusan MK, Indonesia justru berkewajiban menjaga dari ancaman jaringan peredaran gelap narkotika skala internasional, yang salah satunya dengan menerapkan hukuman yang efektif dan maksimal.

 

Dalam konvensi itu, Indonesia telah mengakui kejahatan narkotika sebagai kejahatan luar biasa serius terhadap kemanusiaan (extra ordinary) sehingga penegakannya butuh perlakuan khusus, efektif dan maksimal. Salah satu perlakuan khusus itu, menurut MK, antara lain dengan cara menerapkan hukuman berat yakni pidana mati.

Tags: