Menguntit Jejak Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Fokus

Menguntit Jejak Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

Menurut rencana, akhir tahun ini beres. Akan diterbitkan dalam bentuk Perma.

Oleh:
Her
Bacaan 2 Menit
Menguntit Jejak Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Hukumonline

 

Rifyal menambahkan, salah satu jalan keluar sebelum lahirnya undang-undang lengkap yang berhubungan dengan hukum ekonomi syariah adalah positivisasi fatwa DSN-MUI menjadi peraturan perundang-undangan.

 

Langkah itu memang paling realistis. Prof Juhaya S Praja, anggota Tim Konsultan yang ditunjuk MA, mengakuinya. Dalam beberapa bidang dan pasal-pasal tertentu, fatwa DSN 'di-copy' begitu saja dengan beberapa perubahan yang sifatnya redaksional, tuturnya, dalam  makalah berjudul Materi KHES dan Kaitannya dengan Fatwa DSN.

 

Karena berbentuk kompilasi, aturan itu harus mencakup banyak ragam ekonomi syariah. Tak sekedar soal perbankan syariah, tapi juga soal wakaf, zakat, dan praktik ekonomi syariah lainnya. Tentu, menyusun kompilasi seperti ini tak gampang, namun MA punya siasat khusus untuk itu.

 

Menjelang deadline

Tujuh bulan setelah UU No. 3 Tahun 2006 disahkan, Ketua MA Bagir Manan meneken SK No: KMA/097/SK/X/2006. SK tertanggal 20 Oktober 2006 itu merupakan tindak lanjut dari rapat kelompok kerja perdata agama MA pada 4 Agustus 2006. Dengan SK itu Bagir membentuk Tim Penyusunan KHES yang diketuai hakim agung Prof Abdul Manan. Tim ini punya masa tugas hingga 31 Desember 2007. Artinya, dua bulan lagi deadline itu tiba.

 

Abdul Manan dalam makalahnya berjudul Informasi tentang Penyusunan KHES menceritakan, langkah awal yang ditempuh Tim Penyusun adalah menyesuaikan pola pikir (united legal opinion). Di Solo, 21 hingga 23 April 2006 dan di Yogyakarta 4 hingga 6 Juni 2006, Tim Penyusun mulai menempuh langkah itu.

 

Dalam rangka menyesuaikan pola pikir itu, pakar ekonomi syariah, baik dari perguruan tinggi maupun dari praktisi, didengar suaranya. DSN-MUI pun dilibatkan. Dan, yang cukup spesial adalah kehadiran Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Lembaga inilah yang sejak 1994 silam punya wewenang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah lewat arbitrase. Tentu, Tim Penyusun berharap Basyarnas mulai menyadari posisinya setelah Pengadilan Agama diberi mandat menyelesaikan sengketa ekonomi syariah lewat jalur litigasi.

 

Setelah menyamakan pola pikir, langkah berikutnya adalah mencari format yang ideal (united legal frame work) dalam menyusun KHES. Tim penyusun kali ini banyak mendengar paparan petinggi Bank Indonesia (BI). Di Jakarta, 7 Juni 2006 silam, petinggi BI memberi gambaran mengenai regulasi BI terhadap perbankan syariah dan seperti apa pembinaan yang dilakukan.

 

Masih dalam rangka mencari format penyusunan KHES yang ideal, Tim Penyusun pada 20 November 2006 mencari masukan dari para akademisi. Mereka yang memberi saran berasal dari Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) dan Ikatan Ahli Ekonomi Syariah (PKES). MUI dan BI masih dilibatkan untuk urun rembug dalam pertemuan yang digelar di Jakarta itu.

 

Langkah berikutnya yang ditempuh Tim Penyusun adalah melakukan kajian pustaka. Tak hanya literatur kitab fikih klasik yang dikaji, literatur ekonomi kontemporer pun ditelaah. Baik yang ditulis para pakar hukum ekonomi syariah maupun konvensional. Baik dari dalam negeri maupun luar negeri, kata Manan.

 

Dalam rangka kajian pustaka ini, Tim Penyusun menyambangi negeri jiran Malaysia, pada 16 hingga 20 November 2006. Di sana, mereka  melakukan studi banding ke Pusat Ekonomi Islam Universitas Islam Internasional, Pusat Takaful , serta Lembaga Keuangan Islam dan Lembaga penyelesaian Sengketa Perbankan. Ketiganya berada di Kuala Lumpur.

 

Tak hanya ke Malaysia, Tim Penyusun juga bertolak ke Pakistan, pada 25 hingga Juni 2007 lalu. Mereka berburu ilmu di Pusat Pengkajian Hukum Ekonomi Islam Universitas Islam International Islamabad, Federal Court, Mizan Bank, Bank Islam Pakistan dan beberapa lembaga keuangan syariah lain.

 

Hasil studi itu kemudian diolah dan dianalisis. Namun Tim Penyusun tak bekerja sendiri. Mereka menunjuk Tim Konsultan. Sebagian data telah disiapkan Tim Penyusun, dan sebagian lagi disiapkan sendiri oleh tim konsultan, ujar Manan.

 

Tim Konsultan itu berasal dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Jati Bandung. Prof Atjep Djazuli menjadi koordinatornya. Anggotanya terdiri dari sepuluh orang, dimana lima di antaranya adalah guru besar. Pertemuan pertama antara Tim Penyusun dengan Tim Konsultan melahirkan kesepakatan tentang garis besar draft akademik KHES. Disepakati, KHES akan dipilah menjadi tiga bagian (buku). Buku I tentang Harta, Buku II tentang Zakat, Infaq, Shadaqah, Buku III tentang Akad, dan Buku IV tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa.

 

Selama empat bulan Tim Penyusun dan Tim Konsultan berkolaborasi, hasilnya adalah draft KHES yang terdiri dari 1015 pasal. Kepada hukumonline Prof Djazuli pernah bercerita, timnya sanggup menyusun draft KHES secepat itu setelah merujuk kitab Majallah al-Ahkam. Majallah al-Ahkam adalah kitab undang-undang hukum perdata Islam yang disusun pemerintah Turki Usmani pada tahun 1800-an. Kitab ini terdiri dari 1851 pasal dan disusun selama tujuh tahun, ungkapnya.

 

Namun draft yang dihasilkan Tim Konsultan itu dinilai terlalu banyak celah. Menyadari hal itu, digelarlah diskusi bersama dengan pakar hukum ekonomi Islam, di Bogor pada 14 hingga 16 Juni silam. Diskusi ini berkesimpulan, draft KHES perlu disempurnakan dari segi sistematika dan metodologi. Beberapa materi baru juga dinilai perlu dimasukkan KHES.

 

Tim Konsultan dijatah sebulan untuk menyempurnakan draft KHES. Materi baru yang bakal dimasukkan ke KHES diambil dari kitab-kitab Fikih kontemporer dan hasil kajian ilmiah yang diselenggarakan Pusat Kajian Ekonomi Islam International. Menurut Manan, hasil kajian ini telah diberlakukan secara universal dalam hukum ekonomi syariah.

 

Tim Penyusun dan Tim Konsultan berembug lagi pada 27 hingga 28 Juli 2007 di Bandung. Dari segi sistematika dan metodologi, draft KHES dianggap telah memadai. Namun, dari segi substansi perlu disempurnakan lagi. Terutama dalam hal yang berhubungan dengan wanprestasi, perbuatan melawan hukum, ganti rugi, dan overmash, kata Manan. Di samping itu, disepakati KHES tak perlu mengatur sanksi pidana. Mereka menyerahkan kewenangan untuk mengatur sanksi pidana kepada lembaga legislatif.

 

Hasil rembugan itu juga memadatkan jumlah pasal KHES, dari 1015 pasal menjadi 845 pasal. Sistematika KHES juga berubah. Buku I berisi tentang Subyek Hukum dan Harta, Bab II tentang Akad, Bab III tentan Zakat dan Hibah, Buku IV tentang Akuntansi Syariah. Kini drat KHES memasuki tahap finalisasi. Tim Penyusun dan Tim Konsultan sepakat akan bergiat membenahi bagian yang masih mengandung celah. Sudah barang tentu KHES ini banyak kekurangannya. Kritik dan saran yang bersifat membangung sangat diharapkan, Manan berharap. untuk itu, pada akhir tahun nanti KHES akan disosialisasikan kepada masyarakat luas.

 

Berbentuk Perma

Tak bisa dipungkiri, kesuksesan KHI mengilhami MA menyusun KHES. Sebagaimana diketahui, KHI diterbitkan hanya berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres), padahal kedudukan Inpres tidak jelas dalam hirarki perundang-undangan Indonesia. Walau hanya berbentuk Inpres, nyatanya KHI telah dipakai lebih dari 20 tahun di Pengadilan Agama.

 

Belakangan muncul gagasan menyempurnakan KHI. Maka, disiapkanlah RUU Terapan tentang Perkawinan dan Kewarisan. Sementara itu, wakaf yang menjadi salah satu Buku dalam KHI, bahkan telah diatur secara terpisah ke dalam UU No. 41 tahun 2004.

 

Menurut Rifyal, KHES kemungkinan akan diterbitkan dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (Perma). KHES tentu akan mengalami penyesuaian-penyesuaian dan diharapkan pada suatu saat akan menjadi semacam Kitab Undang-undang Ekonomi Syariah, tandasnya.

 

Sebagaimana peraturan perundangan lainnya, menurut Rifyal, kelak Kitab Undang-undang Ekonomi Syariah juga bisa direvisi. Kaidah fikih tentang dinamika hukum menyatakan, Taghayyiru al-ahkam bi Taghayyiru al-azman wa al-amkan. Ya, berubahnya hukum bergantung pada berubahnya zaman dan tempat. Dimana ada masyarakat di situ ada hukum. Hukum selalu mengikuti perkembangan masyarakat.

 

Pada awalnya para wakil rakyat di Senayan merevisi UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Lalu lahirlah UU No. 3 Tahun 2006. Dengan UU Peradilan Agama yang baru ini, ada banyak hal yang berubah. Namun perubahan yang paling mencolok terjadi pada Pasal 49. Dengan pasal itu, sejak Maret 2006 lalu, Peradilan Agama punya garapan baru berupa penyelesaian sengketa ekonomi syariah.

 

Sengketa di bidang ekonomi syariah diprediksi bakal ramai di kemudian hari. Ekonomi syariah selalu dipandang berbeda dengan ekonomi konvensional, namun keduanya toh selalu berkaitan dengan kontrak (perjanjian). Para pihak yang terlibat berkemungkinan mencederai apa yang sudah mereka sepakati.

 

Karena itu, selain diperlukan SDM yang mumpuni, diperlukan juga hukum materiil yang bisa dipakai untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di meja hijau. Ketika  UU No. 3 Tahun 2006 disahkan pada Maret 2006 silam, ternyata hukum materiil dimaksud belum ada. Kalaupun ada, ia begitu mentah. Misalnya Fikih Muamalah yang dapat dijumpai di kitab kuning. Atau, ada juga yang setengah matang, yaitu fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Fatwa-fatwa tersebut menjadi rujukan bagi BI untuk menyusun Peraturan BI atau Surat Edaran BI.

 

Mahkamah Agung (MA) pun menyadari perlunya mengolah bahan-bahan itu menjadi hukum positif agar bisa diterapkan di Pengadilan Agama. Untuk program jangka pendek, paling tidak dibutuhkan sebuah Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) mengikuti jejak Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang sudah ada, ungkap hakim agung Rifyal Ka'bah. Hal serupa itulah yang ia dalam makalah Kodifikasi Hukum Islam melalui Undang-undang Negara di Indonesia yang ia sampaikan di Medan belum lama ini.

Tags: