Aceh akan Memiliki Qanun Anti-Korupsi
Berita

Aceh akan Memiliki Qanun Anti-Korupsi

Tak lama lagi, Nangroe Aceh Darussalam (NAD) akan memiliki dua Qanun baru, yaitu Qanun Anti-Korupsi dan Qanun Pencurian. Dua Qanun ini akan menambah enam Qanun yang telah ada sebelumnya.

Oleh:
Her
Bacaan 2 Menit
Aceh akan Memiliki <i>Qanun</i> Anti-Korupsi
Hukumonline

 

Jinayah untuk Non-Muslim

Selain penambahan Qanun, wacana lain yang berkembang di Aceh ialah penambahan kewenangan Mahkamah Syar'iyah untuk mengadili non-muslim.

 

Sejatinya, non-muslim tunduk kepada KUHP atau undang-undang pidana lainnya. Namun, sebagaimana ketentuan Pasal 129 UU Pemerintahan Aceh, non-muslim bisa juga dijerat dengan Qanun Jinayah (hukum pidana) bila tindak pidana yang ia lakukan tidak diatur dalam KUHP. Maka, dalam kasus seperti ini, Mahkamah Syar'iyah berwenang mengadili non-muslim.

 

Selain itu, non-muslim dapat diadili di Mahkamah Syar'iyah jika melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang muslim. Pelaku tindak pidana yang beragama bukan Islam dapat memilih dan menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayah, kata Jufri.

 

Sementara itu, penduduk Aceh—baik muslim maupun non-muslim—yang berbuat pidana di luar Aceh tidak bisa diadili dengan Qanun Jinayah, tapi dengan KUHP. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 129 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh.

 

Sebelum UU Pemerintahan Aceh disahkan, kewenangan Mahkamah Syar'iyah terbatas hanya untuk orang Islam. Akibatnya, Mahkamah Syar'iyah pernah menolak menyidangkan perkara pidana yang pelakunya non-muslim. Padahal orang itu ingin disidangkan di Mahkamah Syar'iyah, ujar jufri.

 

Jufri mengungkapkan, pernah ada tiga orang non-muslim tertangkap sedang berjudi dengan seorang muslim. Ketiga non-muslim berharap dapat disidangkan di Mahkamah Syar'iyah dengan dakwaan telah melakukan Maysir. Karena tiada payung hukum yang membolehkannya, maka ketiga non-muslim tersebut akhirnya diadili di Pengadilan Negeri.

 

Setelah UU Pemerintahan Aceh disahkan, hingga sekarang belum ada non-muslim yang tertangkap melanggar Qanun, kata Jufri. Meski demikian, Mahkamah Syar'iyah sekarang siap mengadili non-muslim.

 

Berdasarkan data kependudukan Aceh 2005, penduduk muslim berjumlah 4.182.891 atau 98,84 persen dari seluruh penduduk. Penduduk non-muslim hanya 48.924 atau 1,16 persen. Sementara itu, dii Aceh terdapat 20 Mahkamah Syar'iyah. Satu di antaranya di tingkat propinsi. Total hakimnya 135 orang.

 

Ahwal al-Syakhshiyah dan Muamalah

Saat ini Mahkamah Syar'iyah Aceh baru memiliki Qanun Jinayah (hukum pidana), padahal sejatinya lembaga ini juga punya wewenang untuk menyelesaikan perkara Ahwal al-Syakhshiyah (hukum keluarga) dan muamalah (hukum perdata). Hukum materiil dan formilnya bersumber dari atau sesuai dengan syariat Islam. Hal itu sesuai ketentuan Pasal 49 UU Pemerintahan Aceh.

 

Saat ini Qanun Ahwal al-Syakhshiyah dan Muamalah masih dalam pembahasan. Karena bersifat publik, Qanun Jinayah lebih diutamakan. Sementara ini kita coba lihat, apakah Qanun yang ada sudah berjalan dengan baik, karena ini berkaitan dengan ketertiban umum dan pelanggaran-pelanggaran di masyarakat, tandas Jufri.

 

Sembari menunggu hadirnya Qanun-Qanun baru, kini Mahkamah Syar'iyah hanya bisa berpegang pada Pasal 58 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh. Pasal tersebut menyatakan, sepanjang hukum materiil dan formil belum ada, maka perkara perdata, pidana dan sengketa tata usaha negara diselesaikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Keenamnya adalah Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam; Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Akidah, Ibadah dan Syiar Islam; Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamr (Minuman Keras); Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maysir (Perjudian); Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum); serta Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat.

 

Ide penambahan dua Qanun ini muncul dari LSM-LSM yang bergerak di bidang penegakan hukum. Mereka menyampaikan usul itu kepada Dinas Syariat Islam yang berada di bawah Sekretariat Pemerintah NAD. Sekarang sudah ada draft akademis Qanun tentang korupsi dan pencurian, tapi masih perlu pembahasan yang matang sebelum diajukan, kata Wakil Ketua Mahkamah Syar'iyah NAD Jufri Ghalib saat dihubungi hukumonline, Senin (5/11).

 

Merumuskan Qanun Anti-Korupsi ternyata bukan hal mudah. Jufri menyatakan, pakar hukum di Aceh belum satu suara mengenai definisi korupsi. Sebagian menganggap korupsi termasuk bagian dari pencurian, sebagian lain menganggap korupsi termasuk tindak pidana risywah (penyogokan). Pencurian ini ada yang luas, sampai ke pengertian korupsi, tapi ini masih khilafiah (diperdebatkan, red), imbuhnya.

 

Salah satu permasalahan yang muncul, jika Qanun Antikorupsi diberlakukan, adalah sinkronisasi dengan peraturan perundangan yang sudah ada. Sebut saja misalnya UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selama ini, karena belum ada Qanun Anti-Korupsi, para terdakwa kasus korupsi diadili di Pengadilan Negeri. Majelis hakim tetap mengacu kepada UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

Agar tidak tumpang tindih, kata Jufri, Qanun Antikorupsi hanya akan mengatur hal-hal yang bersifat preventif. Qanun tentang Khalwat adalah contoh peraturan perundangan yang bersifat preventif. Yang diatur dalam Qanun ini bukan perbuatan zina, melainkan perbuatan pra-zina yaitu mesum. Kalau zina sudah ada deliknya di KUHP meskipun sebenarnya konsepnya berbeda dengan hukum Islam, tambah Jufri.

Tags: