Buku yang Mengungkap Politik Hukum UU Perseroan Terbatas
Resensi

Buku yang Mengungkap Politik Hukum UU Perseroan Terbatas

Sehari menjelang peringatan ulang tahun ke-62 Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membubuhkan tanda tangan tanda persetujuan terhadap UU Perseroan Terbatas.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Buku yang Mengungkap Politik Hukum UU Perseroan Terbatas
Hukumonline

 

Penulis, yang digambarkan sebagai sosok birokrat yang memiliki dedikasi, berpendapat pembaharuan UUPT dilatarbelakangi suatu kebutuhan akibat dinamika masyarakat. Yang menarik bagi penulis, proses penyusun UU No. 40/2007 ‘tidak ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik dari fraksi-fraksi, tetapi lebih dialasi oleh kepentingan masyarakat yang mengharapkan segera terwujudnya keadilan dan kesejahteraan di tengah kompetisi global, dimana perseroan merupakan energi penunjangnya' (hal., xxi-xxii).

 

Politik Hukum dalam Pembaharuan Undang-Undang Perseroan Terbatas:

Pergulatan Eksekutif, Legislatif & Korporat

 

Penulis: Kolier Haryanto

Kata Pengantar: Andi Mattalatta

Penerbit: Indonesia Future Institute, September 2007

Halaman: 281 (termasuk lampiran UU No. 40/2007)

 

 

Dalam buku ini, penulis mencoba men-trace logika penyusunan UUPT dari tiga hal penting. Pertama, dinamika konsep negara penjaga malam, menuju negara kesejahteraan hingga ke negara swasta (private state). Pada tataran ini, penulis ingin menempatkan perubahan UUPT ke dalam keseimbangan perekonomian yang individual dan kolektivis (hal. 18).

 

Kedua, warisan kemiskinan dan lingkungan hidup akibat utang-utang masa lalu. Konteks ini erat kaitannya dengan sistem pertanggungjawaban korporasi dalam UUPT. Perusahaan tak lagi bisa melepaskan diri dari tanggung jawab jika terjadi kerusakan lingkungan akibat aktivitas perseroan. Aturan semacam itu pada akhirnya ditujukan pada kesejahteraan rakyat.

 

Ketiga, perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial. UUPT 2007 membuat tentang corporate social responsibility (CSR) yang mendorong perseroan bukan saja untuk peduli pada daerah sekitar, tetapi juga bertanggung jawab atas kemajuan masyarakat sekitarnya. Perseroan diwajibkan menyediakan dana. Penulis menyadari akan adanya penentangan kalangan pengusaha terhadap kewajiban CSR. Tetapi penulis menganggap terlalu berlebihan bila CSR menjadi faktor penghambat investasi. Adalah anggapan yang tidak berdaulat dan sesat, bila UUPT yang baru ini akan menyebabkan hal yang tidak menyenangkan untuk berinvestasi (hal. 70).

 

Dalam kaitannya dengan politik hukum Pemerintah, penulis menyimpulkan empat hal penting. Pertama, paradigma yang dipakai legislator merupakan penjabaran dari alinea keempat UUD 1945. Kedua, UUPT merupakan langkah maju yang futuristik meningkatkan kompetensi perseroan dalam menghadapi kompetisi global. Ketiga, paradigma sustainable development bidang sosial dan lingkungan. Keempat, proses penyusunan UUPT memberi gambaran bagaimana demokrasi berjalan dengan baik dalam penyusunan kebijakan hukum di Indonesia (hal. 179-180).

 

Pendekatan politik hukum yang dipakai penulis untuk menyusun buku ini sebenarnya menarik untuk dicermati. Pendekatan yang sama pernah digunakan Benny K. Harman dan Prof. Moh. Mahfud MD dalam buku-buku mereka yang membahas dunia peradilan. Sayang, uraian Kolier terkesan kurang mendalam, bahkan kalah jauh dibanding analisis Benny dan Mahfud. Meskipun demikian, buku Kolier dapat dipandang sebagai bagian dari upaya mendokumentasikan dinamika pembahasan suatu RUU di tengan DPR dan Pemerintah. Upaya yang sama pernah dilakukan Agustin Teras Narang saat mendokumentasikan pembahasan RUU Advokat ke dalam buku.

 

Kesalahan ketik masih ditemukan di sana sini. Malah, karena kesalahan semacam itu, terasa sangat mengganggu pada bagian pengantar dari penulis. Semangat yang ingin dibawa buku ini antara lain adalah mendorong pengusaha agar menerima konsep CSR. Tetapi cobalah baca kalimat berikut: Maka, tidak ada alasan bagi semua pihak, khususnya dari kalangan korporasi/perseroan menerima UUPT ini, termasuk kewajiban melaksanakan CSER.

 

Maksudnya, pengusaha harus menolak UUPT lantaran mewajibkan CSR? Hanya penulis yang bisa menjelaskan.

 

Sebulan setelah resmi menjadi Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, Indonesia Future Institute menerbitkan karya Kolier Haryanto berjudul Politik Hukum dalam Pembaharuan Undang-Undang Perseroan Terbatas: Pergulatan Eksekutif, Legislatif & Korporat. Kehadiran buku ini terbilang cepat dan hadir pada saat yang tepat, ketika banyak orang sedang berlomba-lomba memahami wet pengganti UU No. 1 Tahun 1995 itu. Yang paling berkepentingan tentu saja kalangan notaris, advokat dan pengusaha.

 

Maklum, UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) membawa beberapa perubahan penting. Salah satu yang mendapat perhatian lebih dari kalangan pengusaha adalah corporate social responsibility (CSR). Tetapi jangan berharap banyak buku ini akan membahas CSR panjang lebar. Ia tidak pula membahas detail bab per bab UUPT sebagaimana buku-buku yang membahas perseroan terbatas selama ini.

 

Kolier Haryanto coba menuliskan apa yang ada di belakang layar, yaitu di benak pada penyusun UUPT. Ia justru mengkaji dasar pemikiran kenapa –misalnya-- CSR muncul, dan menyajikan sudut pandang Pemerintah, legislatif, dan pemangku kepentingan. Kelebihannya, Kolier langsung menjadikan dokumen-dokumen persidangan di Senayan sebagai sumber data. Sayang, yang dipakai Kolier hanya pendapat akhir fraksi-fraksi.

 

Meskipun dokumen tertulis semacam itu tidak utuh menggambarkan perdebatan yang berlangsung di Senayan –apalagi dalam Panja yang tertutup—minimal penulis bisa menyuguhkan kepada pembaca asal usul suatu klausula dalam UUPT dalam pandangan akhir fraksi.

Tags: