Persekongkolan Tender Sebagai Suatu Tindakan yang Anti Persaingan Sehat
Oleh: Mochamad Yusuf Adidana *)

Persekongkolan Tender Sebagai Suatu Tindakan yang Anti Persaingan Sehat

Kecenderungan yang terjadi dalam proses tender adalah mengakomodasi kepentingan pihak-pihak tertentu dan menghasilkan keputusan yang merugikan para pihak dalam proses tender.

Bacaan 2 Menit
Persekongkolan Tender Sebagai Suatu Tindakan yang Anti Persaingan Sehat
Hukumonline

 

Tidak ada definisi yang pasti mengenai persekongkolan tender (bid rigging) Berdasarkan undang-undang nomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bid Rigging diatur dalam pasal 22, sebagai berikut : Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

 

Dari ketentuan pasal 22 tersebut dapat diketahui unsur-unsur persekongkolan tender adalah (i) adanya dua atau lebih pelaku usaha; (ii) adanya persekongkolan; (iii) terdapat tujuan untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender (MMPT); dan (iv) mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.

 

Meskipun pasal 22 UU Persaingan Usaha melarang adanya persekongkolan tender, kerancuan dalam pelaksanaan tender memicu pihak-pihak yang terlibat atau berkepentingan mengajukan keberatan terhadap putusan (pemenang) tender. Kondisi demikian mendorong para pelaku usaha untuk melaporkan kecurangan atau pelanggaran dalam proses penentuan pemenang tender kepada KPPU. Sebab kecenderungan yang terjadi dalam proses tender adalah mengakomodasi kepentingan pihak-pihak tertentu dan menghasilkan keputusan yang merugikan para pihak dalam proses tender. Akomodasi kepentingan dapat bermanifestasi dalam bentuk praktek korupsi atau penyuapan, nepotisme atau kroniisme yang memberikan privilese kepada pihak tertentu memenangkan proses tender.

 

Department of Justice Amerika juga menemukan beberapa bentuk persekongkolan tender, antara lain:

  • Bid Suppession, terjadi apabila peserta tender atau calon peserta tender sepakat untuk menahan diri dari proses tender atau akan menarik diri dari penawaran tender dengan harapan pihak-pihak yang sudah ditentukan dapat memenangkan tender;
  • Complementary Bidding (cover or courtesy bidding), terjadi ketika beberapa peserta sepakat untuk mengajukan penawaran yang sangat tinggi atau mengajukan persyaratan khusus yang tidak akan diterima oleh pemilik pekerjaan/proyek (the buyer), untuk menipu atau mengelabui pemilik kegiatan/proyek yang melaksanakan tender dengan menciptakan persaingan yang merahasiakan penggelembungan harga penawaran;
  • Bid Rotation, bentuk ini berkaitan dengan harga penawaran yang bertolak belakang dengan complementary bidding, dimana peserta tender mengajukan penawaran tetapi dengan mengambil posisi sebagai penawar dengan harga terendah. Misalnya para pesaing mengambil bagian pada sebuah kontrak sesuai dengan ukuran kontrak atau mengumpulkan pesaing yang mempunyai kemampuan usaha yang sama sehingga pemenang tender dapat dikompromikan antar pesaing karena semua pihak akan mendapatkan jarah menjadi pemenang;
  • Subcontracting, bentuk ini menjadi indikator terjadinya pesekongkolan tender, dimana pelaku usaha bersepakat untuk tidak mengajukan penawaran dengan menerima kompensasi menjadi subkontraktor sebuah pekerjaan atau menjadi pemasok bagi pemenang tender.

 

Di Hongkong persekongkolan tender yang terjadi pada proses pengadaan barang untuk kepentingan publik dikategorikan sebagai kejahatan. Jika dilakukan di sektor privat, tindakan itu masih bisa dikategorikan legal. Di Amerika Serikat kasus persekongkolan tender biasanya terjadi di beberapa negara bagian saja atau pasar lokal tertentu sehingga  penanganannya tidak terlalu sulit. Seperti diuraikan berikut:

 

One of the most recent  bid-rigging cases comes out of Florida, Florida v. Saul & Co., which involved bid rigging at a tax certificate auction in Lee County, Florida, in 1998. Several bidders allegedly conspired to allocate bids during the auction so as to insure that each bidder secured tax-delinquent properties at higher interest rates than would have been obtained had the bidding actually been competitive.The twenty-two companies involved in the alleged conspiracy settled in 2002 for nearly $800,000. The settlement monies have been used to reimburse those property owners who paid the price-fixed interest rates when they redeemed their tax certificates. Any unclaimed funds were slated for distribution to various Lee County area charities for housing-related programs.

 

This case and others like it are important reminders to companies that engage in competitive bidding of government contracts that they must avoid communications with competitors regarding bidding and pricing. Procurement officials increasingly are trained to spot potential bid rigging  conduct and are reporting suspicious conduct to their state attorney general to investigate.

 

Putusan tentang Persekongkolan Tender (Putusan KPPU No. 01/KPPU-L/2000)

Dalam Putusan KPPU No.01/KPPU-L/2000 ini, pasal yang dilanggar adalah pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 tentang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Persekongkolan tender ini berawal dari adanya laporan dari salah satu pelapor yang merupakan salah satu anggota tender dalam rangka pengadaan casing dan tubing, yang melaporkan bahwa terlapor memberlakukan persyaratan baru dalam penawaran tender yaitu sistem penawaran satu paket dengan menggabungkan low-grade dengan high-grade.

 

Dalam hal ini terlapor sudah terlebih dahulu mengetahui bahwa pelaku usaha yang dapat memenuhi persyaratan tersebut hanyalah PT Citra Tubindo Tbk dan PT Seamless Pipe Indonesia Jaya. Selain itu terlapor juga mensyaratkan bahwa peserta tender yang hanya memiliki fasilitas low grade diharuskan menyerahkan surat dukungan (letter of support) kepada pelaku usaha dalam negeri (Surat Direktur Pembinaan Pengusahan Migas, Ditjen Minyak dan Gas Bumi Departemen Pertambangan dan Energi RI No. 005/396/DMB/1992 perihal Penggunaan Fasilitas Heat Treatment dan Threading di Dalam Negeri) yang memiliki fasilitas high-grade.

 

Oleh karena adanya persyaratan tersebut, PT Purna Bina Nusa dan PT Patraindo Nusa Pertiwi meminta dukungan dari PT Citra Tubindo, Tbk, dengan dilakukannya pertemuan satu hari menjelang dibukanya tender. Surat dukungan tersebut diberikan setelah Citra Tubindo meminta PT Purna Bina Nusa dan Patraindo Nusa Pertiwi memperlihatkan harga penawaran karena dijanjikan akan mendapatkan pekerjaan dari Citra Tubindo. Sehingga pada saat pembukaan tender, Citra Tubindo memberikan harga penawaran terendah dari pada para peserta tender yang lain, sehingga Citra Tubindo memenangkan tender tersebut.

 

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, KPPU menyimpulkan bahwa dalam pembukaan tender yang diselenggarakan oleh terlapor, telah terjadi persekongkolan antara Citra Tubindo dengan PT Purna Bina Nusa dan PT Patraindo Nusa Pertiwi untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, dan dinyatakan melanggar ketentuan Pasal 22 UU No5 Tahun 1999. Sedangkan terlapor hanya dianggap kurang hati-hati dalam menjaga suasana persaingan agar tetap sehat, dan kepada tindakan terlapor dinyatakan sebagai pengecualian dalam persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf a UU No.5 Tahun 1999 karena adanya Surat Direktur Pembinaan Pengusahan Migas, Dirjen Minyak dan Gas Bumi Departemen Pertambangan dan Energi RI No.005/396/DMB/1992 perihal Penggunaan Fasilitas Heat Treatment dan Threading di Dalam Negeri, dan memerintahkan kepada terlapor untuk menghentikan kegiatan pengadaan casing dan tubing berdasarkan tender.

 

Dalam Putusan KPPU No.01/KPPU-L/2000 ini, terlihat bahwa persekongkolan tender menjadi sangat mungkin terjadi disebabkan adanya peraturan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam hal ini adalah adanya Surat Direktur Pembinaan Pengusahan Migas, Dirjen Minyak dan Gas Bumi Departemen Pertambangan dan Energi RI No.005/396/DMB/1992 perihal Penggunaan Fasilitas Heat Treatment dan Threading di Dalam Negeri, dan persekongkolan mungkin terjadi antar peserta tender, dimana para peserta tender membuat kesepakatan bahwa salah satu peserta tender akan mendapatkan pekerjaan dari peserta tender lain yang telah diatur dan ditentukan untuk memenangkan tender tersebut jika mengajukan penawaran harga yang lebih tinggi dari peserta yang telah ditentukan memenangkan tender.

 

Perkara Nomor : 7/KPPU-L/2004

Perkara ini diawali dari laporan ke KPPU pada bulan juni 2004 yang menyatakan bahwa terdapat dugaan pelanggaran UU no 5 tahun 1999 dalam penjualan dua unit tanker VLCC Pertamina. Hasil pemeriksaan Majelis Komisi menemukan fakta bahwa pada bulan November 2002, Pertamina telah membangun 2 (dua) unit tanker VLCC yang dilaksanakan oleh Hyundai Heavy Industries di Ulsan Korea. Untuk keperluan pendanaan Pertamina berencana menerbitkan obligasi atas nama PT Pertamina Tongkang. Namun rencana tersebut dibatalkan pada bulan September 2003 oleh direksi baru Pertamina yang diangkat pada tanggal 17 September 2003. Selanjutnya direksi baru Pertamina mengkaji lebih lanjut kelayakan atas pemilikan VLCC tersebut.

 

Pada April 2004, Direksi Pertamina memutuskan untuk menjual secara putus atas dua unit VLCC, membentuk Tim Divestasi Internal dan menunjuk Goldman Sachs sebagai penasehat keuangan dan arranger untuk keperluan tersebut tanpa melalui tender. Goldman Sachs kemudian mengundang 43 penawar potensial dalam proses divestasi VLCC tersebut terdapat 7 perusahaan yang memasukan penawaran. Enam perusahaan dari bidder potensial yang diundang dan satu perusahaan yang tidak diundang. Dari tujuh tersebut 4 perusahaan (termasuk Frontline) tidak melakukan penawaran secara langsung seperti yang dipersyaratkan tapi diwakili oleh broker yaitu PT Equinox.

 

Dari ketujuh bidder tersebut, Pertamina dan Golden Sachts memilih 3 shortlisted bidder, yaitu: Frontline, Essar Shipping Ltd dan Overseas Ship Holding Group (OSG), selanjutnya ketiganya diberi kesempatan untuk melakukan due dilligence di Korea dan memasukan enhancement bid paling lambat 7 Juni jam 13.00 di kantor Goldman Sachs Singapura dan hasilnya penawaran sebagai berikut: termahal Essar AS$183,5 juta, Frontline AS$178 juta.

 

Kemudian Direksi Pertamina mengadakan rapat pada 8 Juli 2004. Namun terdapat keraguan untuk menetapkan Frontline sebagai pemenang karena adanya selisih harga sebesar AS$5,5 juta (sekitar 50 miliar). Kemudian Pertamina meminta Goldman Sachs untuk meminta klarifikasi dari Essar perihal kepatuhan dan kesanggupan membayar. Pada hari yang sama Essar mengirimkan faksimile kepada Goldman Sachs dan Pertamina yang menyatakan kesanggupannya untuk memenuhi kewajiban walaupun tidak persis seperti waktu yang dimintakan semula. Tetapi sampai dengan diputuskannya pemenang tender, Goldman Sachs tidak pernah melaporkan isi surat tersebut kepada direksi Pertamina.

 

Rapat pemenang tender yang seyogyanya dilaksanakan pada 9 Juni 2004 ditunda dan dilaksanakan pada keesokan harinya tanggal 10 juni 2004. Dalam rapat tersebut Goldman Sachs menyatakan telah menerima dan membuka penawaran ketiga dari Frontline yang diterimanya dari PT Equinox di Hotel Grand Hyatt Jakarta pada 9 Juni 2004.

 

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang memadai dengan meminta keterangan dari 23 saksi, 3 ahli , meneliti sekitar 291 dokumen dan surat menyurat dengan pihak terkait baik di dalam dan luar negeri  KPPU memutuskan bahwa: Pertamina, Goldman Sach Pte, Frontline dan PT Pelayaran terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 22 tentang persekongkolan ternder. Pertamina dikenakan sanksi administratif sementara pihak lain dikenakan sanksi denda.

 

Kesimpulan

Pada prinsipnya tender diadakan dimana pemilik dengan alasan efektivitas dan efisiensi daripada proyek dilaksanakan sendiri maka lebih baik diserahkan kepada pihak lain yang mempunyai kapabilitas untuk melaksanakan proyek atau kegiatan jasa, untuk mencapai tujuan tersebut tentu harus melalui sebuah persaingan usaha yang sehat diantara para peserta.

 

Namun pada pelaksanaan para pihak peserta bahkan dengan pemberi tender tidak jarang melakukan persekongkolan tender. Karena kecenderungan yang terjadi dalam proses tender adalah mengakomodasi kepentingan pihak tertentu dan menghasilkan keputusan yang merugikan para pihak yang terlibat dalam proses tender. Akomodasi kepentingan dapat termanifestasi dalam bentuk praktek korupsi atau penyuapan (bribery), nepotisme atau kroniisme. Praktek buruk demikian memberikan privilese kepada pihak tertentu untuk memenangkan proses tender. Ini perlu dilihat sebagai perbuatan yang anti persaingan sehat sehingga wajar dilarang oleh undang-undang.

 

------

 

*) Penulis adalahmahasiswa Program Magister Hukum Universitas Indonesia. Bekerja pada Rustriyandi Raharjo Novansyah Law Offices. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.  

Pengadaan barang atau jasa pada proyek sebuah perusahaan atau instansi pemerintahan sering melalui proses  tender. Hal tersebut dimaksudkan penyelenggara  tender untuk mendapatkan harga barang atau jasa semurah mungkin, namun dengan kualitas sebaik mungkin. Tujuan utama dari  tender dapat tercapai apabila prosesnya berlangsung dengan adil dan sehat sehingga pemenang benar-benar ditentukan  oleh penawarannya (harga dan kualitas barang atau jasa yang diajukan). Konsekuensi sebaliknya bisa saja terjadi apabila dalam proses tender tersebut terjadi sebuah persekongkolan.

 

Dalam praktek, persekongkolan demikian ditengarai banyak terjadi di Indonesia. Tercatat bahwa sejak dibentuknya Komisi Pengawas Peraingan Usaha (KPPU) sudah menerima 376 laporan mengenai persekongkolan tender. Dari  sekian banyak laporan tersebut baru 54 laporan yang ditangani. Dengan demikian hampir dua per tiga dari kasus yang masuk ke KPPU adalah kasus persekongkolan tender.

 

Persekongkolan tender (collosive tendering atau bid rigging) mengakibatkan persaingan yang tidak sehat. Selain itu, merugikan panitia pelaksana tender dan pihak peserta tender yang beriktikad baik. Karena itu, tender sering menjadi perbuatan atau kegiatan yang dapat mengakibatkan adanya persaingan usaha tidak sehat.

 

Pada hakekatnya, pelaksanaan tender wajib memenuhi asas keadilan, keterbukaan, dan tidak diskriminatif. Selain itu, tender harus memperhatikan hal-hal yang tidak bertentangan dengan asas persaingan usaha yang sehat. Pertama, tender tidak bersifat diskriminatif, dapat dipenuhi oleh semua calon peserta-tender dengan kompetensi yang sama. Kedua, tender tidak diarahkan pada pelaku usaha tertentu dengan kualifikasi dan spesifikasi teknis tertentu. Ketiga, tender tidak mempersyaratkan kualifikasi dan spesifikasi teknis produk tertentu. Keempat, tender harus bersifat terbuka, transparan, dan diumumkan dalam media masa dalam jangka waktu yang cukup. Karena itu, tender harus dilakukan secara terbuka untuk umum dengan pengumuman secara luas melalui media cetak dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum dan bilamana dimungkinkan melalui media elektronik, sehingga masyarakat luas dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya.

 

Tender dalam hukum persaingan usaha Indonesia mempunyai pengertian tawaran  mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa. Tawaran dilakukan oleh pemilik kegiatan atau proyek. Demi alasan efektivitas dan efisiensi proyek dilaksanakan sendiri maka lebih baik diserahkan kepada pihak lain yang mempunyai kapabilitas melaksanakan proyek atau kegiatan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: