Kesiapan Reformasi Sektor Telekomunikasi Kurang Memadai
Berita

Kesiapan Reformasi Sektor Telekomunikasi Kurang Memadai

Jakarta, Hukumonline. Undang-undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Telekomunikasi membuka peluang kompetisi. Namun, masih banyak kendala untuk menerapkan UU yang rencananya akan berlaku mulai 8 September 2000. Pemain lama tidak rela kehilangan rezekinya?

Oleh:
Bam/APr
Bacaan 2 Menit
Kesiapan Reformasi Sektor Telekomunikasi  Kurang Memadai
Hukumonline
Diundangkannya UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi membuka harapan berlangsungnya reformasi sektor telekomunikasi di Indonesia. Undang-undang tersebut membuka peluang kompetisi di antara para pelaku usaha di sektor telekomunikasi.

UU. No.36 Tahun 1999 memang berorientasi pasar. Hal ini tercermin dari isi pokok UU, antara lain: pro-kompetisi, liberalisasi sektor, Badan Regulasi Mandiri, Privatisasi, pembukaan pasar, pengaturan sektor berorientasi pada mekanisme pasar, dan dibuka kemungkinan terminasi dini hak eksklusif.

Dengan berlakunya UU tersebut, diharapkan terjadi persaingan sehat dalam semua kegiatan penyelenggaraan telekomunikasi dan mencegah kekuatan pasar yang bersifat anti-persaingan. Hal itu sejalan dengan koridor UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Sebelumnya, sektor telekomunikasi hanya dikuasai oleh dua BUMN, PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Telkom) dan PT (Persero) Indosat, Tbk. Telkom menangani jasa telekomunikasi tetap sambungan lokal dan jasa telekomunikasi tetap sambungan langsung jarak jauh nasional (SLJJ), sedangkan Indosat untuk jasa telekomunikasi tetap sambungan langsung internasional (SLI).

Selain membuka peluang kompetisi, UU No. 36 Tahun 1999 juga memiliki muatan pokok yang pro reformasi. Muatan-muatan itu di antaranya adalah liberalisasi dan pemisahan peran penyelenggaraan dari pembinaan.

Liberalisasi tersebut diharapkan dapat menghilangkan diskriminasi dan restriksi bagi perusahaan swasta dan koperasi untuk berpartisipasi dalam investasi dan penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi. Sementara pemisahan peran penyelenggaraan dari pembinaan akan memaksa pemerintah untuk hanya berperan dalam pembinaan dan tidak lagi melakukan kegiatan investasi dan operasi di sektor telekomunikasi.

Ibarat gunung es

Menjelang berlakunya UU tersebut pada 8 September 2000, baru-baru ini pemerintah mengesahkan PP No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Peraturan Pemerintah ini juga akan berlaku 8 September 2000 ini.

John Welly, Ketua Masyarakat telekomunikasi (Mastel) melihat pelaksanaan UU ini akan sulit. Akan tetapi. akan berlakunya kedua peraturan perundang-undangan baru itu ibarat puncak gunung es di tengah lautan, ungkap John. Ia menyatakan pandangannya pada Seminar Peluang Usaha Sektor Telekomunikasi Melalui Reformasi dengan UU No. 36 Tahun 1999 pada 25 Juli 2000 di Jakarta.

Menurut John Welly, tantangan nyata adalah ketika pelaksanaannya harus dimulai. Persaingan bebas yang efektif sangat sulit untuk diwujudkan. Sekalipun ada faktor kemajuan teknologi, para incumbent selalu dalam posisi yang diuntungkan dibandingkan dengan new entrants, sehingga peran regulator sangat menentukan di tahap awal pengenalan persaingan bebas, ujar John.

John menambahkan bahwa unsur-unsur yang mendukung terciptanya suasana yang kondusif dan efektif untuk persaingan bebas adalah materi regulasi, badan regulator yang independen, badan penegak regulasi, dan aparat terkait.

Seluruh unsur regulasi tersebut mempunyai kepentingan yang sama untuk keberhasilan pengembangan satu sektor, termasuk sektor telekomunikasi. Keberadaan Badan Regulator Independen belum menjamin suksesnya persaingan bebas jika tidak diimbangi dengan materi regulasi yang mendukung dan tidak didukung oleh badan penegak regulasi yang baik serta kualitas aparat yang memadai, ungkap John.

Sejalan dengan John, Dirjen Pos dan Telekomunikasi, Sasmito Dirdjo, menyatakan setidaknya ada empat faktor yang diminta oleh investor di sektor telekomunikasi. Pertama, peraturan perundang-undangan yang jelas berkaitan dengan kepastian berusaha di Indonesia. Kedua, kebijakan mengenai tarif jasa telekomunikasi yang jelas dan konsisten. Ketiga, faktor kestabilan keamanan dan sosial ekonomi, serta adanya strategic partner.

Sasmito mengakui bahwa tarif jasa telekomunikasi di Indonesia tidak menarik, sehingga diharapkan tahun ini akan dilakukan kenaikan tarif. Ia menambahkan bahwa untuk mengembangkan produk-produk telekomunikasi diperlukan kesiapan atas penguasaan produk-produk telekomunikasi mutakhir, seperti multimedia, internet, dan mobile.

Garuda Sugardo, Direktur Operasi dan Teknik PT Indosat, meragukan reformasi telekomunikasi di Indonesia untuk milenium baru ini. Ia menyatakan bahwa pengaturan mengenai pengertian telekomunikasi di dalam UU No. 36 Tahun 1999 tidak berbeda dengan pengertian pada UU No. 3 Tahun 1989.

Menurut Garuda, UU N0.3 Tahun 1989 tdak mengakomodasi nature telekomunikasi tetap dan bergerak. Terlalu generik, dan tidak bernuansa antisipasi konvergensi teknologi, cetusnya. Padahal bisnis inti jasa telekomunikasi saat ini adalah: telepon (lokal, SLJJ, SLI), komunikasi data, multimedia, internet, mobile, dan backbone. Kalau begitu, apakah UU Telekomunikasi perlu disempurnakan
Tags: