Kepastian Hukum Pada Regulasi Tarif Telepon Selular di Indonesia
Oleh: Jani Purnawanty Jasfin, S.H., S.S., LL.M *)

Kepastian Hukum Pada Regulasi Tarif Telepon Selular di Indonesia

Industri telekomunikasi merupakan sektor strategis dengan magnitude bisnis luar biasa. Pertumbuhan pasar di sektor ini progresif, baik dari ragam layanan, jumlah penyedia jasa, dan pengguna jasa.

Bacaan 2 Menit
Kepastian Hukum Pada Regulasi Tarif Telepon Selular di Indonesia
Hukumonline

 

Sebelum sektor telekomunikasi demikian marak, regulasi di sektor ini adalah UU No. 3/1989 tentang Telekomunikasi jo. PP No. 8/1993 (UU Telekomunikasi Lama). Oleh karena pada saat diundangkan, penyelenggaraan jasa telekomunikasi secara eksluksif diselenggarakan oleh Telkom dan Indosat, maka UU Telekomunikasi Lama lebih mencerminkan spirit monopolistik (lebih tepatnya duopolistik) yang di dalamnya tentu saja tidak mengatur tentang persaingan usaha, karena sektor telekomunikasi saat itu sepenuhnya dikuasai oleh Pemerintah, dalam hal ini Telkom dan Indosat.

 

UU Telekomunikasi Lama selanjutnya dicabut dan diganti dengan UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi Baru). Spirit kompetisi terkandung dalam UU Telekomunikasi Baru. Berdasarkan Pasal 8 & 11 UU Telekomunikasi Baru penyelenggaraan jasa telekomunikasi tidak saja dapat dilakukan oleh Pemerintah, melainkan juga oleh setiap badan hukum yang didirikan untuk keperluan tersebut serta telah memenuhi syarat dan tata cara perijinan yang ditentukan oleh Pemerintah.

 

Pasal 8 dan 11 UU Telekomunikasi Baru ini laksana undangan bagi pelaku usaha swasta untuk turut berkiprah di sektor industri telekomunikasi di Indonesia. Tentu saja, dengan hadirnya lebih dari satu penyedia layanan telekomunikasi, diharapkan konsumen lebih diuntungkan karena tentu saja para pelaku usaha akan berkompetisi ketat untuk memenangkan pasar dengan menawarkan fitur yang beragam, lengkap, mudah, dan murah biaya aksesnya.

 

Lebih lanjut, wujud intervensi Pemerintah pada sektor telekomunikasi selular ini berupa penetapan besaran tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi. Adapun dalam Regim Telekomunikasi Baru, hukum positif terkait dengan tarif telepon seluler secara umum adalah (i) pasal 27 & 28 UU Telekomunikasi Baru, (ii) PP No. 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, (iii) Keputusan Menteri (KM) No. 21/2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi, (iv) Peraturan Menteri (PM) No. 08/Per/M.KOMINFO/02/2006 tentang Tarif Interkoneksi (PM 8/2006), dan (v) PM No. 12/Per/M.KOMINFO/02/2006 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Perubahan Jasa Teleponi Dasar Jaringan Bergerak (PM 12/2006). Serangkaian regulasi di atas mengatur bahwa besaran tarif telekomunikasi seluler diserahkan sepenuhnya kepada operator dengan mengacu pada formula dan susunan tarif yang ditetapkan Pemerintah sebagaimana dijelaskan dalam pasal 28 UU Telekomunikasi Baru.

 

Dalam Rezim Telekomunikasi Lama, Pemerintah menetapkan tarif telepon selular melalui KM Parpostel No. 27/PR.301/MPPT-98 tentang Tarif Jasa Sambungan Telepon Bergerak Seluler (KM 27/1998) dan KM Menteri Perhubungan No. 79 Th. 98 tentang Tarif Jasa Telekomunikasi Bergerak Seluler (STBS) Pra-Bayar (KM 79/1998). Kedua KM tersebut menetapkan batas atas tarif (Ceiling Price) yang berlaku di Indonesia. Artinya, para operator telepon selular diperbolehkan menetapkan tarif telepon selular pada angka berapa pun asalkan tidak melebihi pagu atas yang ditetapkan Pemerintah. 

 

Sebenarnya, dalam Rezim Telekomunikasi Baru, PM No. 12/2006 diterbitkan sebagai pengganti KM No. 27/1998 dan KM No. 79/1998. Namun, Pemerintah sendiri menyatakan bahwa PM 12/2006 ini merupakan regulasi masa transisi senyampang Pemerintah menyusun revisinya. Untuk itu, sampai saat ini semua operator selular tengah menunggu peraturan lebih lanjut sebagai dasar perhitungan tarif baru. Atas dasar inilah, secara operasional, dasar hukum yang dipergunakan operator selular dalam menetapkan tarif telepon selular adalah KM No. 27/1998 dan KM No. 79/1998.

 

Penting dicatat, bahwa KM 27 dan KM 79 tasi diterbitkan sebelum UU Telekomunikasi Baru diundangkan. Kedua KM tersebut masih merupakan rangkaian regulasi telekomunikasi lama yang bersifat duopolistik. Tetap dipergunakannya kedua KM ini disebabkan karena sampai dengan akhir Desember 2006 belum terdapat regulasi turunan atas UU Telekomunikasi Baru yang mengatur besaran tarif telepon seluler pengganti KM 27 dan KM 79 tahun 1998. 

 

Pada pokoknya, terdapat perbedaan penentuan pengenaan tarif telepon selular dalam Rezim Telekomunikasi Lama yang secara de jure telah digantikan dengan Rezim Telekomunikasi baru, akan tetapi secara de facto Regim Telekomunikasi Lama masih tetap dijadikan acuan pada tataran operasional. KM 27 dan KM 79 (Rezim Telekomunikasi Lama) menetapkan batas atas tarif telepon selular, sedangkan berdasarkan pasal 4 ayat (1) PM 12/2006 (Rezim Telekomunikasi Baru), penetapan tarif telepon selular ditentukan dengan menggunakan dasar dengan penetapkan batas bawah (floor price).

 

Dalam atmosfer regulasi yang ambigu inilah, pada Putusan Perkara No. 07/KPPU-L/2007 (Putusan KPPU 07/2007), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Republik Indonesia menyatakan Telkomsel terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Ps. 17 ayat (1) UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Persaingan Usaha) karena mempertahankan tarif seluler yang tinggi. Untuk itu, KPPU memerintahkan Telkomsel untuk menghentikan praktik pengenaan tarif tinggi dan menurunkan tarif layanan selular sekurang-kurangnya sebesar 15% dari tarif yang berlaku pada saat putusan dibacakan serta menghukum Telkomsel membayar denda sebesar Rp25 milyar.

 

Tentu saja, jika tarif telepon selular akan turun setidaknya 15% dari tarif yang sekarang diberlakukan, hal ini merupakan fenomena menggembirakan bagi para pengguna telepon selular. Akan tetapi, apabila menelaah substansi Putusan KPPU 07/2007, timbul pertanyaan yuridis sangat mendasar, yaitu bagaimana mungkin Telkomsel yang sama sekali tidak melakukan pelanggaran regulasi penetapan tarif telepon selular sebagaimana ditentukan pada KM 27/1998 dan KM 79/1998 dinyatakan bersalah? Putusan KPPU semacam ini wajib dikritisi karena menyangkut isu hukum yang paling hakiki, yaitu kepastian hukum. Hukum harus menjamin, siapa pun subyek hukum yang telah tunduk dan patuh pada hukum positif, wajib mendapatkan perlindungan hukum. Bentuk dari perlindungan hukum adalah diperkenankannya subyek hukum tersebut memperoleh hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya.

 

Jika  KM 27/1998 dan KM 79/1998 secara konsisten diterapkan, tuduhan tarif eksesif sebenarnya sama sekali tidak akan pernah dapat dituduhkan pada Telkomsel. Ingat, kedua KM di atas menetapkan batas atas tarif. Logikanya, Telkomsel baru dapat dinyatakan bersalah telah mengenakan tarif eksesif jika –dan hanya jika-- Telkomsel menetapkan tarifnya lebih tinggi dari pagu yang ditetapkan oleh kedua KM di atas. Di sini, Telkomsel tidak pernah melampaui pagu atas yang ditetapkan oleh KM 27 dan KM 79 tersebut.

 

KPPU mendalilkan bahwa kedua KM yang masih dijadikan acuan tersebut ditetapkan oleh Pemerintah adalah batasan harga maksimum. Batasan harga yang demikian hanya menghalangi naiknya harga melewati batasan tersebut, namun tidak dimaksudkan untuk mencegah turunnya harga melalui mekanisme pasar. Argumentasi ini secara hukum potensial menyebabkan kepastian hukum menjadi kabur, bahkan musnah. Dalam negara hukum, cukup hukum saja yang dijadikan parameter dalam menentukan ada atau tidak adanya pelanggaran. Janganlah parameter hukum ini disisihkan dan mekanisme pasar selanjutnya digunakan sebagai pengantinya. Jika ini terjadi, pelaku bisnis tidak akan pernah mendapatkan perlindungan hukum yang sepantasnya jika dengan mematuhi regulasi pun tidak cukup menjadikan dirinya aman dan selamat dari tuduhan pelanggaran hukum semata karena banyak parameter lain yang dapat dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan pelanggaran.

 

Selanjutnya, kalau pun benar terjadi pelanggaran regulasi berkenaan dengan pengenaan tarif telepon selular yang melampaui pagu atas sebagaimana ditegaskan pada KM 27/1998 dan KM 79/1998, sebenarnya berdasarkan UU Telekomunikasi Baru otoritas yang berwenang untuk melaksanakan pembinaan sesungguhnya adalah Pemerintah c.q. Menkominfo. Berdasarkan Penjelasan Ps. 4 (2) UU Telekomunikasi Baru, kewenangan pembinaan secara lebih khusus dilimpahkan kepada Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) sebagaimana tertuang dalam KM 31/2003. Fungsi Pengawasan yang dilimpahkan Pemerintah c.q. Menkominfo kepada BRTI diatur dalam Ps. 6 huruf (b) KM 31/2003 jo. KM 67/2003 meliputi meliputi (i) mengawasi kinerja operasi penyelenggaraan jasa dan jaringan Telekomunikasi yang dikompetisikan, (ii) mengawasi persaingan usaha penyelenggaraan jasa dan jaringan Telekomunikasi yang dikompetisikan dan (iii) mengawasi penggunaan alat dan perangkat penyelenggaraan jasa dan jaringan Telekomunikasi yang dikompetisikan. Dengan ini jelas, dalam hal menyatakan Telkomsel melakukan pelanggaran karena telah menerapkan tarif eksesif, KPPU tidak mempunyai kewenangan. Terlebih, Telkomsel bahkan tidak sekalipun melakukan tarif eksesif.

 

Perhitungan besaran tarif yang masih mungkin diturunkan sebagaimana secara komprehensif dipaparkan KPPU dalam putusannya, sangat tepat dan akan sangat bermanfaat jika disampaikan kepada Pemerintah sebagai masukan. Terutama untuk merevisi regulasi penetapan tarif guna menentukan berapa besaran yang wajar dan tidak eksesif pada tarif telepon selular yang akan diberlakukan. Apabila Pemerintah mengindahkan rekomendasi besaran tarif sebagaimana tertuang dalam Putusan KPPU, hal ini akan menguntungkan seluruh pengguna telepon selular. Tentu saja regulasi ini wajib ditunduki, dipatuhi, dan dilaksanakan oleh seluruh operator telepon selular, tanpa terkecuali. Pula, yang paling esensial, rekomendasi KPPU yang seandainya diwujudkan Pemerintah dalam bentuk regulasi ini kembali akan menempatkan hukum sebagai sumber kepastian hukum karena penentuan tarif yang wajar dan eksesif telah ditetapkan secara firmed and legal.

 

---------

*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, dan pemerhati UU Persaingan Usaha.

 

Jenis jasa telekomunikasi yang saat ini tersedia adalah telepon tetap, telepon mobilitas terbatas, dan telepon selular. Di antara ketiganya, pertumbuhan pangsa pasar telepon selularlah yang terus bergerak naik dari tahun 2004 hingga 2006 beranjak dari angka 74,51% hingga 81,15%. Sampai dengan 2006, pelaku usaha pada industri telekomunikasi selular adalah Telkomsel menguasai pasar sebanyak 55,79%, Indosat sebanyak 26,18%, Excelkomindo (XL) sebanyak 14,93%, Mobile-8 (Fren) sebanyak 2,86%, Sampoerna Telekomunikasi Indonesia sebanyak 0,21%, dan Natrindo Telepon Selular (NTS) sebanyak 0,02%. Figur di atas menunjukkan betapa marak dan dinamisnya pasar industri telekomunikasi di Indonesia.

 

Pasal 33 UUD 1945 menjadi justifikasi konstitusional bagi negara untuk menguasai sektor yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Meskipun terminologi Pasal 33 UUD 1945 berpeluang untuk terus diperdebatkan mengingat Pemerintah sendiri tidak pernah menetapkan secara definitif dan eksplisit sektor mana saja yang akan dikuasai oleh negara dan --yang lebih krusial-- dalam bentuk apa  penguasaan dilakukan oleh negara terhadap sektor-sektor yang dikuasainya.

 

Tepat dikatakan bahwa sektor telekomunikasi selular merupakan sektor penting bagi negara dan  menguasai hajat hidup orang banyak. Betapa tidak, sampai dengan 2006, total pengguna untuk semua jenis telepon mencapai angka 78.623.748 orang, 63.803.015 orang diantaranya adalah pengguna telepon selular untuk jenis pra bayar dan pasca bayar. Komposisi ini dapat dijadikan alasan kuat bagi Pemerintah untuk menguasai sektor telekomunikasi serta tidak melepaskan sektor strategis ini sepenuhnya pada swasta dan mekanisme pasar. Karenanya, meskipun Indonesia telah berada dalam era pasar bebas, sektor telekomunikasi tampaknya akan tetap dikuasai oleh negara. 

 

Kebutuhan untuk meregulasi sektor telekomunikasi ini tidak sekedar disandarkan pada dalil menguasai hajat hidup orang banyak dan potensi ekonomis yang diperoleh Pemerintah, tetapi sesungguhnya lebih didorong pada kebutuhan pragmatis untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak yang berada dan terkait dengan sektor ini. Justru karena sektor telekomunikasi ini bergerak sangat progresif dan dinamis dengan penguasaan pasar yang luas maka diperlukan legal support. Dukungan hukum ini bertujuan untuk menjamin eksistensi pasar, melindungi pelaku usaha dan pengguna jasa, dan semakin menguatkan posisi sektor telekomunikasi dalam bangun perekonomian Indonesia.

 

Sektor telekomunikasi mulai menggeliat dengan berdirinya PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) pada 1993. Sebelumnya untuk penyediaan jasa layanan telekomunikasi domestik dikuasai sepenuhnya oleh PT Telkom, Tbk dan PT Indosat, Tbk untuk telekomunikasi internasional. Satelindo mendapatkan lisensi SLI, telepon selular, dan penguasaan eksklusif atas beberapa satelit komunikasi. Telepon selular diperkenalkan Satelindo pada 1994. Setelahnya, berturut-turut pada 1995 Telkomsel berdiri, pada 1996 XL berdiri, pada 2001 IM3 berdiri. Sampai dengan 2006 pelaku usaha untuk sektor telekomunikasi selular adalah Telkom, Telkomsel, Indosat, XL, ESIA, Mobile-8, Sampoerna Telekomunikasi Indonesia, dan NTS. Hingga 2007, Hutchinson dan Sinar Mas muncul sebagai pelaku usaha baru di sektor ini.

Tags: