Pertarungan Wewenang Polisi dan Jaksa dalam Menyidik Perkara Korupsi
Fokus

Pertarungan Wewenang Polisi dan Jaksa dalam Menyidik Perkara Korupsi

Kejaksaan dan Kepolisian sama-sama mengaku ingin memperbaiki sistem hukum dan melepas ego-sektoral. Namun, nuansa untuk memperebutkan kewenangan penyidikan perkara basah, tindak pidana korupsi, begitu terasa.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Pertarungan Wewenang Polisi dan Jaksa dalam Menyidik Perkara Korupsi
Hukumonline

 

Sesuai kewenangan yang diberikan KUHAP, polisi merasa berhak menyidik perkara korupsi. Kejaksaan pun merasa punya kewenangan serupa dengan mengacu pada pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan.  Menurut aturan ini, jaksa berwenang menyidik tindak pidana tertentu. Tentu saja termasuk tindak pidana korupsi. Kejaksaan berdalih tindak pidana korupsi adalah extra-ordinary crime sehingga perlu penanganan khusus.

 

Tindak pidana tertentu sebenarnya sudah semakin beragam. Tetapi kejaksaan lebih banyak menangani perkara korupsi. Pengacara senior OC Kaligis menyindir bahwa Kejaksaan hanya menyidik perkara basah yang menggiurkan saja. Kaligis pernah menyinggung masalah ini dalam tulisan ilmiah di Pascasarjana Universitas Padjadjaran bandung, yang kemudian dibukukan menjadi Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus dalam Pemberantasan Korupsi.

 

Kritik serupa datang dari mantan Kapolri, Awaloedin Djamin. Jaksa enak benar, boleh menyidik tindak pidana ekonomi saja. Perkara gorok menggorok dan rampok diserahkan ke polisi, tandasnya.

 

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Andi Hamzah membandingkan antara aparat penegak hukum di Indonesia dengan di Belanda. Di sana, lanjut Andi, semakin banyak beban namun gaji kurang diterima dengan senang hati. Di Indonesia, kurangnya gaji asal kewenangannya banyak, itu yang dicari. ungkapnya. Itu terjadi pada hari ini, sindirnya terkait rebutan kewenangan menyidik tindak pidana korupsi antara Kejaksaan dengan Kepolisian.    

 

Separation atau distribution of power?

Advokat Ahmad Bay Lubis menganggap permohonan judicial review yang diajukan kliennya bukan semata-mata menguji undang-undang terhadap UUD. Ada dimensi lain yang harus diperjelas demi kepentingan penegakan hukum, yaitu dimensi persaingan dua lembaga penegak hukum. Ada dimensi sengketa kewenangan antar lembaga negara, ujarnya.

 

Sinyalemen Ahmad Bay ditepis Kepolisian dan Kejaksaan. Ini bukan terkait masalah persaingan antar institusi. Ini soal sistem yang bermasalah, jelas Kombes Pol RM Panggabean, pada sidang sebelumnya. Panggabean juga menegaskan bahwa posisi Kepolisian berada di pihak pemohon. Aneh. Seharusnya Kepolisian adalah bagian dari pemerintah yang mempertahankan berlakunya UU, bukan justru ikut menggugat, sindir Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto, dalam siding Selasa (12/1) lalu.

 

Dari pandangan RM Panggabean dan Wisnu Subroto saja kuat indikasi adanya perbedaan sikap kedua lembaga. Perbedaan ini bisa jadi dimulai dari prinsip yang berlaku pada KUHAP, yang dinilai sebagai karya agung bangsa Indonesia. Apakah KUHAP menganut prinsip separation of power (pemisahan kekuasaan) atau distribution of power (pembagian kekuasaan)?

 

Pendapat Hakim Konstitusi Achmad Roestandi, beberapa waktu lalu, yang menegaskan tugas polisi menyidik, jaksa menuntut, dan hakim memutus merupakan pendekatan menggunakan separation of power, pemisahan kekuasaan. Artinya, masing-masing instansi sudah punya tugas sendiri yang saling berlanjut: dari kepolisian perkara berlanjut ke jaksa, dan bermuara di meja hakim.  Namun, Kejaksaan punya argumentasi teoritis. Saat ini, trias politica (separation of power) sudah tidak dianut lagi, bantah Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Untung Udji Santoso.

 

Guru Besar Hukum Pidana Indriyanto Seno Aji justru menilai saat ini Indonesia menganut pola distribution of power. Sehingga tak ada lagi pengkotak-kotakan kewenangan. Penegak hukum saat ini harus saling mengisi dalam sistem peradilan yang terintegrasi. Makanya, kejaksaan diberi kewenangan untuk menyidik, ujarnya.

 

Kejaksaan mengamini pendapat Indrianto. Sebagai penuntut umum, sejak awal jaksa harus tahu validitas alat bukti sehingga dapat mendeteksi permasalahan di dalam persidangan, kata Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Kapusdiklat) Kejaksaan Marwan Effendy.

 

Argumentasi Marwan dinilai lemah. Kepala Divisi Pembinaan Hukum Mabes Polri Arianto Sutadi berpendapat kalau memang jaksa ingin mendeteksi sejak awal, tidak harus ikut menyidik. Pola penyidikan perkara pidana umum bisa ditiru. Setiap memulai penyidikan, polisi selalu menyerahkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada jaksa. Jadi, sejak awal jaksa sudah bisa mengantisipasi tanpa harus ikut-ikutan menyidik. Kalau polisi akan menyidik, maka SPDP diberikan ke jaksa, ujarnya.  

 

Pasal 284 KUHAP

Sahdan, dua puluh tujuh tahun silam, ketika masyarakat hukum Indonesia merayakan kelahiran KUHAP, ternyata masih ada beberapa ganjalan dalam hati para penegak hukum. Salah satu ganjalan itu adalah Pasal 284 ayat (2) KUHAP. Pasal itu menyatakan: Dalam waktu dua tahun setelah undang undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.  

 

Mantan Kapolri Awaloeddin Djamin menjelaskan maksud pasal ini adalah jaksa hanya boleh menyidik korupsi selama dua tahun sejak KUHAP diundangkan. KUHAP diundangkan tahun 1981. Jadi tahun 1983 harusnya sudah tidak berlaku lagi, ujarnya.

 

Namun, kala itu, dari pihak jaksa menilai pasal tersebut tak otomatis gugur setelah dua tahun, sebelum ada undang-undang lain yang mencabutnya.  Awaloeddin tetap keukeuh dengan pendapatnya. Ia berpendapat dengan berlakunya UU Kejaksaan yang membolehkan jaksa menyidik, seakan-akan deadline dua tahun itu ditambah kembali. 

 

OC Kaligis menilai ada beberapa pasal dalam KUHAP terkait checks and balances antara penyidik dengan penuntut umum terkait kewenangan menyidik oleh jaksa. Sebagaimana diberitakan sebelumnya, dalam bukunya, OC Kaligis memang sempat mengungkapkan kasus yang penyidik dan penuntut umumnya adalah orang yang sama.

 

Dalam persidangan, OC Kaligis mengungkapkan kasus yang lebih dahsyat lagi. Saksi pelapor, penyidik, serta penuntut umumnya orang yang sama. Yaitu Urip Trigunawan, jelasnya. Bayangkan, lanjutnya, Urip melaporkan kepada penyidik yang merupakan posisinya juga. Lalu, Urip si penyidik meneruskan perkara ke Urip si penuntut umum. Lalu, Urip si penuntut umum memanggil Urip si saksi pelapor.

 

Tabel

Pasal dalam KUHAP yang mati suri bila jaksa bisa menyidik

Pasal 138

(1)                          Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum.

(2)                          Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.

 

Pasal 139

Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.

 

Hukum internasional

Sementara itu, dari sudut pandang hukum internasional, Kejaksaan mendapat 'dukungan' dari pejabat Departemen Luar Negeri (Deplu) Arif Havas Oegroseno. Menurutnya, kewenangan jaksa dalam menyidik sudah dikenal dalam dunia internasional. Dalam permohonannya pemohon kan mengklaim di dunia internasional, penyidikan itu adalah domain kepolisian. Kenyataannya tak seperti itu, ungkapnya.

 

Dalam UN Guidelines on the Role of Prosecutors, disepakati secara aklamasi oleh anggota PBB termasuk Indonesia, jaksa juga berwenang untuk menyidik. Dalam butir 11, peran jaksa bukan hanya menuntut, tapi juga investigasi dan supervisi, jelasnya.

 

Beginilah bunyi ketentuan dalam pedoman peranan jaksa yang sudah disepakati Negara-negara anggota PBB itu. ‘Prosecutors shall perform an active role in criminal procee, including institution of prosecution and, where authorized by law or consistent with local practice, in the investigation of crime, supervision over the legality of theses investigations, supervision of the execution of court decisions and the exercise of other functions as representatives of the public interest'.

 

Arief Havas justru khawatir bila penyidikan hanya menjadi domain kepolisian, sistem hukum Indonesia akan bertentangan dengan guidelines PBB tadi. Di situ  disebut, betul polisi punya kewenangan menyidik, tapi jaksa juga bisa, katanya.

 

Di negara lain, memang kewenangan jaksa dalam menyidik lazim ditemukan. Andi Hamzah menguraikan KUHAP beberapa negara yang mengatur hal serupa. Di antaranya adalah Amerika Serikat, Belanda, Rusia, dan Georgia. Hampir seluruh negara di Uni Eropa, jaksa bisa menyidik. Minimal bisa supervisi, tambahnya.

 

Pandangan Andi Hamzah dikritik pihak Kepolisian. Prakek di lapangan tak selalu sama dengan apa yang tertulis di buku-buku referensi yang dibaca Prof. Andi Hamzah. Menurut Irjen Pol. Arianto Sutadi, komparasi dengan negara lain tidak terlalu relevan. Jangan hanya mengadopsi, tambahnya.

 

Awaloeddin Djamin pun bersuara senada. Orang Amerika Serikat saja minta jangan meniru kepolisian AS, masak kita tetap mau membandingkan, ujar pria yang tesisnya mengenai Sistem Kepolisian Amerika Serikat ini.

 

Selain kritik terhadap pendapat Andi Hamzah, keterangan Arief Havas pun dibantah oleh OC Kaligis. Menurut advokat senior itu, pembatasan kewenangan jaksa dalam menyidik perkara korupsi tidak perlu khawatir akan menabrak hukum internasional. Hukum internasional kan juga mengakui adanya hukum nasional masing-masing negara, ujarnya.

 

Kaligis menambahkan PBB sudah mengatur jika ada konfilk antara hukum internasional dgn hukum nasional, maka hukum internasional harus mengalah. Arief Havas balik menyerang bahwa Kaligis bukan ahli hukum internasional.

 

Lalu, apabila penyidikan merupakan domain kepolisian, bagaimana dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berwenang menyelidik, menyidik dan menuntut. Menurut Awaloeddin, KPK dengan Kejaksaan berbeda sama sekali. Meski KPK mempunyai tiga kewenangan itu, prakteknya yang menyidik tetap saja dari unsur kepolisian.

 

Perdebatan-perdebatan ilmiah tampaknya akan terus mencuat dari kasus ini. Karena itu, menarik untuk ditunggu bagaimana kelak MK memutusnya. Masalah yang lebih dua puluh tahun terkatung-katung, saya harap bisa selesai di sini, harap Awaloeddin. Mudah-mudahan, Pak!

 

Nuraini dan suaminya, Subarda Midjaja mungkin tak pernah menyangka bahwa permohonan uji materinya terhadap Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan) akan memantik perdebatan sengit antara dua lembaga penegak hukum: Kejaksaan dan Kepolisian. Perdebatan kedua institusi ini bermuara pada kewenangan menyidik tindak pidana khusus, yaitu korupsi. Konon, usia perdebatan ini pun cukup tua, sudah dimulai lebih dari 20 tahun lalu, sejak Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diundangkan.

 

Kini, puluhan tahun berjalan, perdebatan kembali mencuat. Cuma, perdebatan tak lagi diam-diam karena harus diungkapkan secara terbuka dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK). Ketua Mahkamah, Jimly Asshiddiqie, bahkan sempat mengucapkan terima kasih kepada si pemohon Subarda dan isteri yang telah ‘berjasa' membawa perseteruan laten kedua lembaga ke ranah publik. Kasus pemohon ini telah menjadi entry point, ujarnya dalam persidangan di MK, Selasa (12/2) lalu.

 

Ya, entry point dari pembangunan sistem hukum Indonesia yang sering dinlai tumpang tindih. Lantas, apakah setelah ada pintu masuk, Kepolisian dan Kejaksaan akan benar-benar ingin memperbaiki sistem hukum atau masih tetap mengedepankan ego-sektoral semata? Perseteruan itu pula yang ditamsilkan Guru Besar Emeritus Hukum Pidana Universitas Airlangga, Prof. J.E. Sahetapy. Seperti dua kucing yang memperebutkan dendeng, katanya.

Tags: