Sebelum PHK, Perusahaan Harus Punya Putusan Pidana
Berita

Sebelum PHK, Perusahaan Harus Punya Putusan Pidana

Kuasa hukum pekerja menyatakan keputusan perusahaan untuk melakukan PHK telah melanggar beberapa aturan dan putusan MK tentang ketenagakerjaan.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Sebelum PHK, Perusahaan Harus Punya Putusan Pidana
Hukumonline

 

Artinya, buruh yang di-PHK karena dianggap melakukan pelanggaran berat, harus dibuktikan terlebih dulu dengan putusan pidana. Perusahaan tidak boleh mem-PHK sebelum mengantongi putusan itu, kata Johnson. Selain putusan MK, Johnson menggunakan Surat Edaran Menakertrans bernomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 sebagai dasar argumennya.

 

Pada poin 3 huruf a Surat Edaran Menteri itu disebutkan bahwa pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat (eks Pasal 158 ayat (1)), maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

 

Dihubungi melalui telepon pada Kamis (14/2), Kemalsyah Siregar, kuasa hukum Huntsman membantah tudingan yang menyebutkan bahwa pihaknya telah melanggar peraturan dalam mem-PHK Sabar. Dijelaskan Kemal, Huntsman tidak pernah menuduh Sabar melakukan kesalahan berat dalam konteks pidana seperti pencurian atau penggelapan. Sabar kami nilai telah melakukan kesalahan dengan menyalahgunakan fasilitas perusahaan yang terdapat di dalam Pasal 59.2 (e) Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlaku di Huntsman, jelasnya.

 

Pernyataan Kemal ini yang dikritik Johnson. Seperti tertuang dalam berkas kesimpulannya, Johnson menerangkan bahwa selain Pasal 59.2 (e), Sabar juga dianggap melanggar Pasal 64 Ayat (3) PKB yang berbunyi mencuri, memalsukan dokumen, menipu, penggelapan dan atau kejahatan lainnya. Mereka tidak pernah mau mengakui bahwa dasar pemecatan Sabar adalah juga dengan pasal 64 Ayat (3) ini. Mereka tahu bahwa posisi mereka lemah kalau ketahuan menggunakan pasal ini dalam memecat.

 

Terlepas dari perdebatan Kemal dan Johnson, berdasarkan catatan hukumonline, penafsiran hakim PHI atas putusan MK dan surat edaran Menakertrans ternyata belum seragam. Dalam perkara Nudin melawan PT Wisma Bumputera misalnya. Nudin yang dianggap melakukan penganiayaan terhadap rekan kerjanya akhirnya di-PHK melalui putusan PHI Jakarta. Padahal saat itu belum ada putusan pidana yang menghukum Nudin bersalah.

 

Skorsing tak berujung

Pada bagian lain kesimpulannya, Johnson kembali menguraikan bentuk arogansi dan kesewenang-wenangan Huntsman yang telah melakukan skorsing selama lebih kurang sepuluh bulan sejak Maret 2007 lalu. Padahal, mengacu pada Pasal 62 Ayat (3) PKB, disebutkan bahwa skorsing dilakukan untuk jangka waktu paling lama 6 bulan. Ini apa lagi kalau bukan bentuk arogannya perusahaan? Masa PKB-nya sendiri dilanggar juga? geram Johnson.

 

Mengenai hal itu, Kemal kembali membantah. Ia mengaku telah mengirimkan surat kepada Sabar yang isinya memberitahukan perubahan status skorsing. Kami sudah sampaikan surat, bahwa status skorsing diubah menjadi skorsing dalam proses PHK sebagaimana diatur dalam Pasal 155 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan, jelasnya.

 

Hakim Heru Pramono menunda persidangan hingga sepekan mendatang (21/2) dengan agenda pembacaan putusan.

 

Perseteruan antara perusahaan PT Huntsman Indonesia (Huntsman) dengan Sabar Siregar mendekati babak akhir. Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta pada Kamis (14/2), kedua  pihak menyerahkan berkas kesimpulan masing-masing kepada majelis hakim yang diketuai Heru Pramono.

 

Sekedar mengingatkan, sengketa antara Huntsman dengan Sabar di PHI terkait dengan perselisihan PHK. Huntsman berniat memecat Sabar yang dianggap telah menyalahgunakan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi. Saat itu Huntsman mengkualifisir tindakan Sabar sebagai pelanggaran berat yang bisa langsung dipecat tanpa adanya surat peringatan terlebih dahulu. Disnakertrans Jakarta Timur sebagai mediator menganjurkan agar Huntsman memutus hubungan kerja dan membayarkan uang pisah kepada Sabar sebesar sebulan gaji.

 

Di dalam kesimpulannya, Sabar melalui kuasa hukumnya, Johnson Siregar menyatakan tindakan pemecatan yang dilakukan Huntsman adalah bentuk arogansi dan kesewenang-wenangan perusahaan. Betapa tidak, menurut Johnson, dalam perkara ini Huntsman dianggap menabrak beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

 

Ditambahkan Johnson, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 012/PUU-1/2003 menjelaskan bahwa keberadaan Pasal 158 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan -yang memungkinkan perusahaan bisa langsung melakukan PHK buruh ketika dianggap melakukan pelanggaran berat berupa tindak pidana- sudah dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: