Dipersoalkan, Tidak Adanya Deadline Penyidikan dalam KUHAP
Berita

Dipersoalkan, Tidak Adanya Deadline Penyidikan dalam KUHAP

Mantan supir taksi protes kepada MK terkait tak adanya deadline penyidikan dalam KUHAP. Ia merasa dirugikan, karena kasusnya tidak pernah kelar.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Dipersoalkan, Tidak Adanya <i>Deadline</i> Penyidikan dalam KUHAP
Hukumonline

 

Terakhir, Soeparno mengajukan permohonan pra peradilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara karena 'terhentinya' penyidikan itu. Namun, gugatan hukum itu akhirnya kandas juga. Majelis hakim beralasan penyidik belum mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dalam kasus ini. Selain itu, majelis hakim menilai dalam KUHAP memang tak ada batas waktu melakukan penyidikan. Salah satu dasar yang digunakan oleh hakim adalah Pasal 77 huruf a KUHAP.

 

Pasal 77 huruf a KUHAP

Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini, tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan dan penghentian penuntutan.

 

 

Uji Materi ke MK

Merasa upaya hukumnya kandas karena ketentuan pasal tersebut, Soeparno lalu membawa masalah ini ke MK. Ia menguji Pasal 77 huruf a itu dengan Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 28I ayat (2). Kedua pasal terdapat di UUD 1945.

 

Pasal 28D ayat (1)

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

 

Pasal 28I ayat (2)

Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

 

 

Soeparno beranggapan, bila Pasal 77 huruf a ini dinyatakan tak punya kekuatan hukum mengikat oleh MK maka pra peradilan tak perlu lagi mengacu pada ada atau tidaknya surat perintah penghentian penyidikan. Biarkan penyidik dan orang yang merasa dirugikan berdebat dengan adil tentang mandeknya penyidikan, tegasnya. Selain itu, Pasal 83 ayat (1) dan (2) pun ikut diajukan untuk diuji dalam permohonan Soeparno.  

 

Pasal 83

(1)  Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding

(2)  Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.

 

Kandas Lagi?

Soeparno boleh berharap MK akan mengabulkan permohonannya. Namun, jika melihat hasil sidang MK yang berlangsung Senin (18/2) itu, nampaknya, usaha Soeparno bakal kandas lagi.

 

Hakim Konstitusi Laica Marzuki mengatakan pemohon masih perlu memperbaiki permohonan agar menjadi lebih jelas lagi. Ia menilai pemohon tak terlalu paham untuk menjelaskan apa yang diinginkannya. Karena itu, Laica menyarankan agar pemohon didampingi oleh seorang kuasa hukum.

 

Permintaan Laica ini juga ditegaskan koleganya. Pemohon bisa minta bantuan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH, red), tutur Hakim Konstitusi Achmad Roestandi.

 

Hakim Konstitusi Natabaya pun senada dengan dua rekannya tersebut. Natabaya menegaskan, bila pemohon hanya bertujuan untuk meminta uang kredit yang telah diberikan kepada Rudy sebesar Rp13 juta, yang telah diputus ditingkat perdata, maka langkah yang harus ditempuh pemohon seharusnya ke polisi. Kalau ke MK, permohonannya harus diubah, pinta Natabaya. Sebuah permintaan yang tak mudah untuk seorang pria tua sederhana, mantan supir taksi, yang memang faktanya hadir tanpa kuasa hukum.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sering disebut sebagai karya agung hukum Indonesia, ternyata tak seagung julukannya. Buktinya, banyak pihak, baik penegak hukum maupun kelompok masyarakat, menggugat ketentuan-ketentuan yang ada di dalam KUHAP ke Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Beberapa waktu lalu, dua lembaga penegak hukum, Kepolisian maupun Kejaksaan berdebat mengenai makna dari Pasal 284 KUHAP. Kini, giliran seorang mantan supir taksi mengkritik tidak adanya batas waktu penyidikan oleh polisi di dalam KUHAP. Hal ini mengakibatkan terkatung-katungnya kepastian hukum para pencari keadilan.

 

Mantan supir taksi bernama Soeparno itu menceritakan kasus yang dialaminya dalam sidang di MK, Senin (18/2). Ia menuturkan pengalamannya yang tak mengenakan sebagai pencari keadilan. Kasusnya berawal ketika ia mengambil kredit taksi selama 2,5 tahun kepada seseorang bernama Rudy Suryajaya. Di tengah perjalanan, sebelum kredit itu terlunasi, Rudy secara sepihak menarik taksi tersebut.

 

Soeparno tak tinggal diam. Ia lalu mengajukan gugatan perdata terhadap Rudy. Singkat kata, perkara itu dimenangkan Soeparno sampai tingkat kasasi. Lalu, juru sita diperintahkan untuk mengeksekusi taksi itu. Sayangnya, belum sempat dieksekusi, Rudy keburu menjual taksi itu ke orang lain.

 

Selanjutnya, timbul perkara pidana bertajuk penggelapan. Persoalan ini yang menjadi alasan kenapa kasus taksinya Soeparno itu bergulir di MK. Proses penyidikan ternyata memakan waktu lama. Perkara tetap 'dibekukan' selama lima tahun tanpa kepastian hukum, ujar Soeparno. Penyidik, lanjutnya kala itu, beralasan masih mengoptimalkan penyidikan. Pria berpenampilan sederhana ini mengaku sudah menegur penyidik baik secara langsung maupun lewat surat.  Bahkan, Sekretariat Negara pun disuratinya demi untuk mendapatkan kepastian hukum.

Tags: