Revisi UU Pers, Hitung-Hitung Untung dan Rugi
Fokus

Revisi UU Pers, Hitung-Hitung Untung dan Rugi

Revisi UU Pers bagai bom waktu yang tak terdeteksi. Sempat mencuat wacana soal sensor dan bredel hidup kembali. Namun, seiring waktu diskursus tersebut lenyap tersapu waktu. Di kalangan pers sendiri, ada yang ngotot ingin merombaknya, ada yang phobi hasilnya bakal lebih buruk.

Oleh:
Ycb
Bacaan 2 Menit
Revisi UU Pers, Hitung-Hitung Untung dan Rugi
Hukumonline

 

Pasal yang hilang

Meski belum diutak-atik, belum tentu UU Pers ini bisa bikin tenang berbagai kalangan -termasuk dunia media itu sendiri. Problem besar yang dirasakan oleh kalangan pers, UU ini belum bergigi. Lantaran, para penegak hukum, baik polisi maupun kejaksaan, lebih memilih Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) setiap kali ada kasus pidana yang menimpa media. UU Pers ini konyol... tidak ada pasal yang mengatur pemfitnahan atau pencemaran nama baik. Sedangkan di KUHP ada. Jadinya, pada posisi pelaksana hukum, kami memakai KUHP, tutur Kepala Divisi Hukum Mabes Polri Irjen Pol. Aryanto Sutadji.

 

Pandangan Aryanto, meskipun pedas, ada benarnya. Mari kita tengok UU yang hanya terdiri dari 21 pasal itu. Tak satu pun merinci perlakuan atas berita fitnah, berita bohong, ataupun pencemaran nama baik. Celakanya, justru kita menemukan Pasal 12 dan penjelasannya. Kelompok kata menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku untuk kasus pidana membuka peluang digunakannya KUHP.

 

Ketua Harian Serikat Penerbit Suratkabar Indonesia (SPS) M. Ridlo 'Eisy merekam sejarah pembuatan UU Pers itu. Ridlo dan kawan-kawan sebenarnya sudah mengantisipasi kriminalisasi pers. Mereka sudah menyusun pasal kunci supaya UU Pers menjadi lex specialis dari KUHP. Namun pasal itu dicoret sehingga jadilah seperti ini, kenang Ridlo. Menurut Ridlo, parlemen bersama pemerintah kala itu berargumen enak di elu tapi tak enak di gue. Dua pihak pemegang wewenang legislasi itu mengira kebebasan pers bagai buah nangka: manis untuk dunia pers namun getah bagi masyarakat.

 

Meski pasal tersebut hilang, Ridlo justru tidak merekomendasikan revisi -walaupun dengan alasan menghidupkan kembali fatsal itu. Menurutnya, sama saja kalangan pers menyerahkan bola -untuk kedua kalinya- kepada parlemen dan pemerintah untuk membongkar materi yang telah ada. Dan saya pastikan, akan lebih buruk. Perlu dicatat, itu berarti langkah mundur.

 

Anggota Dewan Pers Sabam Leo Batubara malah memiliki angan yang lebih tinggi. Idealnya, kita buat amandemen kelima UUD 1945 -pada Pasal 28. Harus tertulis 'dilarang membuat undang-undang yang mengekang kebebasan pers', tuturnya berapi-api.

 

KUHP vs UU Pers

Sebenarnya KUHP memungkinkan celah supaya media terbebas dari jerat pidana. Hal ini tertuang pada Pasal 310 ayat (3). Sepanjang demi kepentingan umum atau untuk membela diri, pihak yang dituntut terbebas dari tuduhan pencemaran.

 

UU Pers Pasal 12

Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat, dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.

 

Penjelasan (kutipan terpilih)

... Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

KUHP Pasal 310

(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

 

Kondisi sumir inilah yang membuat situasi tak menentu. Menurut Leo, Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan pernah berkomitmen untuk mengutamakan UU Pers sebelum menggunakan KUHP -untuk kasus pidana yang melibatkan wartawan dan media. Perkataan Bagir ini terbukti, tatkala MA memenangkan majalah Tempo melawan Tommy Winata. Sayang, rupanya dunia hukum kita belum mengenal yurisprudensi yang mengikat mutlak hakim lain. Masih segar dalam ingatan, MA justru memenangkan gugatan pencemaran nama baik mantan presiden Soeharto melawan Majalah Time. Akhir Agustus lalu, MA memutuskan Time dan pemimpin redaksi bersama lima jurnalisnya harus membayar denda setriliun rupiah.

 

Padahal, anggota Dewan Pers Wina Armada Sukardi mencatat, Ketua MA sebelumnya (1974-1982), Prof. Oemar Seno Adji, mengharamkan kriminalisasi pers. Wina menulis ujaran Oemar dalam bukunya yang berjudul Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers. Janganlah pers memberikan alasan bagi pembentuk undang-undang untuk mengatur pers, khususnya janganlah diberi kesempatan untuk lahirnya perundang-undangan pidana...

 

Sebelum menjadi Ketua MA, Oemar menjabat Menteri Kehakiman (1966-1974). Selain itu, Oemar juga menyabet gelar guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Memantapkan pemikirannya, Oemar lantas menulis buku yang diterbitkan pada 1977 dengan judul Pers: Aspek-Aspek Hukum. Saya kuliah diajar beliau pada 1978. Dalam setiap kuliahnya, Prof. Oemar menekankan 'jangan pidanakan atau penjarakan wartawan', kenang Wina.

 

Dari catatan Wina atas buah pikir Oemar itulah, seharusnya kita memahami roh dan semangat kebebasan pers. Sepanjang memegang profesinya, jurnalis memang tak pantas berakhir di bui, lantaran pemberitaannya. Jangan sampai kita di-Mochtar-Lubis-kan, teriak Leo menimpali.

 

Vox Pops: Apa Kata Mereka soal Revisi UU Pers?

Menkominfo Muhammad Nuh:

UU Pers direvisi atau tidak terserah kalangan pers. Dewan Pers lebih tahu. Pemerintah tidak ngatur-ngatur. (Juni 2007)

 

Dikutip dari opini Leo Batubara yang berjudul Revisi UU Pers atau Hak Konstitusional? dalam Harian Kompas edisi Jumat, 29 Juni 2007.

Menteri Penerangan era Presiden Habibie, Muhammad Yunus Yosfiah:

Saya yakin pemerintah tidak gegabah. Kalau mau merevisi, kalangan pers pasti diajak terlibat. (Juni 2007)

 

Kini Yunus menjadi anggota DPR Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, duduk di Komisi XI, bidang keuangan negara dan perbankan. Yunus pula yang memuluskan lahirnya UU Pers pada 1999.

Anggota DPR Komisi I (Bidang Luar Negeri, Pertahanan, dan Komunikasi) dari Fraksi Partai Golkar, Marzuki Darusman:

Mekanisme hak jawab kurang cukup 'menghukum' pers. Kalau ada unsur pidana, bisa saja dipenjarakan. Makanya pers harus memperbaiki kualitasnya. Draft revisi belum pernah kami terima. (Kuartal pertama 2007)

Anggota DPR Komisi I dari Fraksi Bintang Reformasi, Ali Mochtar Ngabalin:

Revisi UU Pers supaya undang-undang ini menjadi lex specialis. (Kuartal pertama 2007)

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian Republik Indonesia Sisno Adiwinoto:

Selain kebebasan, melekat pula tanggung jawab sosial... sanksi hukum terhadap media/wartawan harus seimbang dengan sanksi hukum terhadap masyarakat. (tertanggal 11 Februari 2008) -pernyataan tertulis disampaikan kepada peserta diskusi kelompok terfokus, yang diselenggarakan oleh AJI, pada 13 Februari 2008.

Anggota Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia Kukuh Sanyoto:

Kebebasan pers bukan untuk dinikmati oleh pers itu sendiri. Melainkan demi masyarakat. (13 Februari 2008)

Anggota Dewan Pers Sabam Leo Batubara:

Kalau tercantum dalam konstitusi, tak perlu ada revisi UU Pers. Bunyi Pasal 28 F UUD 1945 masih banci karena tidak eksplisit melarang membuat peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan kebebasan pers. (13 Februari 2008)

Anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi:

Sikap kami, revisi UU Pers memang perlu sejauh untuk menguatkan kemerdekaan pers. Kalau untuk memperburuk, jangan. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk merevisi. (13 Februari 2008)

Ketua Harian Serikat Penerbit Suratkabar Indonesia M Ridlo 'Eisy:

Merevisi berarti menyerahkan bola kepada pemerintah dan parlemen. Dan hasilnya tentu lebih buruk dari UU Pers saat ini. Jangan pernah memberi peluang tersebut. (13 Februari 2008)

Sekretaris Jenderal AJI Abdul Manan:

Tapi, jika memang pemerintah ataupun DPR menghendaki revisi, kita pun tak bisa mencegahnya. Kita perlu bersiap-siap untuk antisipasi. (13 Februari 2008)

Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Resta Hutabarat:

Ketegangan tak hanya terjadi antara jurnalis dan media dengan pihak yang memidanakannya. Namun, jurnalis sebagai buruh juga bersitegang dengan media sebagai perusahaan tempat dia bekerja. Kasus perburuhan yang melibatkan wartawan makin meningkat. Revisi UU Pers harus bisa menjawab masalah ini. (13 Februari 2008)

Dirangkum dari berbagai reportase dan wawancara Hukumonline

 

Menyoal bahasan legislasi, bagi saya, bagai mengendus bom waktu yang nyempil entah di mana. Terasa detaknya, namun kita tak bakal tahu kapan meledaknya. Setahun lebih ini saya liputan di Gedung Senayan. Dalam beberapa hal, baik pemerintah maupun para lawmakers terkesan bersembunyi dari publik. Keduanya membahas RUU secara tertutup -terutama pada tahap panitia kerja dan tim sinkronisasi. Dan tahu-tahu, beleid tersebut nyaris disahkan. Masyarakat jadi gagap dan tak banyak waktu bagi mereka untuk mengunyah dan mengawalnya. Cobalah tengok UU Penanaman Modal (25/2007), UU Ketentuan Umum Perpajakan (28/2007), UU Perseroan Terbatas (40/2007), UU Cukai, dan perundang-undangan lainnya.

 

Apalagi aturan pelaksana, yang seratus persen domain eksekutif. Siapa sangka ternyata PP tentang Penataan Pasar (PP Pasar Modern) sudah nongol -setelah publik lelah menunggu dan akhirnya melupakan dalam waktu hampir tiga tahun? Lantas Peraturan Presiden tentang Daftar Negatif Investasi (Perpres DNI) tak genap setahun umurnya sudah berubah.

 

Di lain sisi, setelah sekian lama dinanti, RPP Pesangon malah tak jelas nasibnya kapan diketok. Bahkan beleid yang ditolak oleh dua kubu -asosiasi pengusaha maupun serikat pekerja- kembali lagi di meja Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans). Padahal calon aturan ini sudah sempat mampir di Sekretariat Negara (Setneg) -alias tinggal tunggu teken presiden.

 

Sedangkan revisi UU Pers? Pada tahun ini, beleid tersebut memang tak muncul dalam Prolegnas. Namun siapa tahu, ada sebuah langkah gerilya di dalamnya. Mengingat sepak terjang pemerintah -dan parlemen- yang acapkali nglimpe tatkala menggodok aturan, kecemasan kalangan (yang peduli) pers memang kuat beralasan. 

 

Di luar tarik-ulur serta tegang-renggang hasrat untuk merombak atau mempertahankan materi UU ini; di luar berbagai keunggulan dan kekurangannya; UU Pers masih tercatat sebagai sebuah peraturan yang kokoh. Buktinya, di antara UU tentang media dan informasi, UU Pers belum satu pun sejak kelahirannya terjamah oleh terkaman judicial review.

 

Sejumlah sutradara dan sineas muda mengajukan uji materi atas UU Perfilman. Para pegiat sinema tersebut geram atas kinerja dan kewenangan Lembaga Sensor Film. Nasib UU Penyiaran juga sama. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pernah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Buntutnya, KPI juga melayangkan sengketa kewenangan lembaga negara melawan Depkominfo. Selama ini, KPI berwenang atas materi siaran dan mantan Departemen Penerangan ini menguasai perizinan.

 

Jumat sore itu (18/1) mentari bersinar hangat; menerobos tirai jendela kaca ruang pertemuan. Sehangat perjumpaan awak redaksi hukumonline dengan rombongan Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI). Organisasi profesi wartawan tersebut diwakili oleh Sekretaris Jenderal Abdul Manan, jurnalis Majalah Tempo; anggota Divisi Advokasi Mujib Rahman, jurnalis Majalah Gatra; serta staf Divisi Advokasi Anggara, seorang advokat. Meski berbalut suasana akrab, sebenarnya kami sedang membicarakan topik nan cukup penting: revisi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

 

Pertemuan kami pun berlanjut, pada tahap yang lebih serius. AJI menggelar diskusi kelompok terfokus, Rabu lalu (13/2). Dalam forum tersebut, hadir berbagai kalangan: kepolisian, wartawan, praktisi dan pakar hukum, Dewan Pers, serta masyarakat yang peduli pada kebebasan pers.

 

Wacana tersebut pertama kali muncul medio tahun lalu. Menteri Komunikasi dan Informatika Sofjan Djalil kala itu -kini dia menjadi Menteri Negara BUMN- menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) atas revisi UU Pers. Isinya, Sofjan hendak menghidupkan kembali sensor dan bredel. Selain itu, Depkominfo juga menanamkan pasal yang mengatur adanya sebuah peraturan pelaksana, berupa Peraturan Pemerintah (PP) -ketentuan yang tak ada dalam UU No. 40/1999. PP itu tentang hak jawab dan hak koreksi, serta tentang standar persyaratan perusahaan pers.

 

Sepeninggal Sofjan, diskursus ini mereda. Menteri anyar, Muhammad Nuh, menekankan revisi kembali terpulang pada kalangan media itu sendiri. Apalagi, saat ini, revisi tersebut tak termasuk dalam agenda Program Legislasi Nasional tahun ini. Sejak 2004 hingga kini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah mengundangkan 93 buah UU. Tak satupun di antaranya terdapat revisi UU Pers.

Halaman Selanjutnya:
Tags: