Pengantar Menuju Revisi UU Pers Jilid Tiga
Resensi

Pengantar Menuju Revisi UU Pers Jilid Tiga

Perjuangan terhadap kemerdekaan pers bukanlah proses yang berhenti pada suatu titik, melainkan harus terus-menerus diperjuangkan dan dipertahankan.

Oleh:
Ycb
Bacaan 2 Menit
Pengantar Menuju Revisi UU Pers Jilid Tiga
Hukumonline

 

Justru karena gaya bahasa hukum itulah, sayangnya, buku ini hadir dengan rasa yang agak formal. Kurang rancak dan luwes layaknya sentuhan khas jurnalis. Padahal Wina punya segudang pengalaman di berbagai media -beberapa di antaranya dibredel pada era Orde Baru.

 

Satu lagi kekurangan yang agak mengganggu, yakni hasil suntingan yang masih bobol. Misalnya Wina menulis Undang-Undang No 40 Tahun 40 (hal. 12, alinea kedua garis ketiga). Maksudnya, UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Dan pemerintah Indonesia belum pernah membuat sebuah UU pada 1940, karena negara itu belum lahir. Beberapa kata juga salah ketik. Misalnya oudio visual (hal. 76), pengugat (hal. 175), wartawa (hal. 176), dan lainnya.

 

Bahkan, pada bagian awal, nampaknya terdapat pemotongan kalimat yang belum tuntas. Misalnya pada halaman 21 paragraf ketiga berikut ini: ... Keuntungan dari kodifikasi kita dapat dengan mudah menemukan suatu peraturan perundangan. di karena terkumpul dalam sebuah kitab. Sebaliknya kelemahan dalam sistem kodifikasi sulit untuk diubah isinya padahal masyarakat sekarang cenderung berubah dengan cepat. ... Agaknya Wina lupa menghapus kalimat kedua dari petikan tersebut.

 

Judul Buku

Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers

Penulis

Wina Armada Soekardi

Tebal Buku

viii + 232 halaman

Tahun Terbit dan Penerbit

November 2007, Penerbit Dewan Pers

ISBN

978-979-99140-8-8

 

Kendati demikian, beberapa kelemahan tersebut berhasil ditutupi oleh senarai bacaan yang begitu kaya. Di samping itu, Wina juga membubuhkan sentuhan historis. Si penulis beberapa kali menyuguhkan data sejarah dan peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya peraturan perundang-undangan. Bahkan suasana perdebatan di ruang sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dia gambarkan (hal. 12-20 dan 170).

 

UU Pers pertama kali lahir pada awal era pemerintahan Soeharto. Yakni UU 11/1966. Lantas Soeharto merevisinya menjadi UU 21/1982. Lewat sebuah Peraturan Pemerintah (PP) demi melaksanakan undang-undang ini, Dewan Pers diketuai oleh Menteri Penerangan. Cengkeraman pemerintah semakin kuat. Hal ini coba diakhiri dengan revisi kedua, yang menjadi UU 40/1999.

 

Undang-undang ini merupakan beleid yang dibahas secara kilat. Masuk ke meja parlemen atas inisiatif pemerintah, diwakili Menteri Penerangan Muhammad Yunus Yosfiah. Lantas mulai pertama kali dibahas pada 20 Agustus 1999. Rampung disetujui pada 13 September 1999. Kemudian disahkan sebagai Undang-Undang pada 23 September 1999. Menurut Yunus sendiri, waktu efektif pembahasannya tak lebih dari sepuluh hari (hal. 13). Padahal rancangan alias draft ketentuan ini memuat daftar isian masalah (DIM) yang cukup banyak: 101 butir (hal. 15).

 

Jika kita teliti merajut alur berpikir Wina, buku ini hendak menekankan agenda mengawal kemerdekaan pers via undang-undang belumlah tuntas. Memang benar, UU Pers 40/1999 revisi atas UU 21/1982 mendulang beberapa langkah maju. Di antaranya, perusahaan pers tak perlu lagi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP); ketentuan sensor dan bredel telah dibredel; posisi Dewan Pers lepas dari anasir pemerintah.

 

Harus kita akui, hal ini lantaran target utama revisi kala itu memang ingin mendobrak belenggu pemerintah. Undang-undang ini tak satu pun memuat pasal yang mengatur peraturan pelaksana (implementing regulation) yang berupa PP, Peraturan Presiden (Perpres), apalagi Peraturan Menteri (Permen, dalam hal ini Permenkominfo). Pengukuhan anggota Dewan Pers hanya ditetapkan oleh Keputusan Presiden (Keppres). Keanggotaan Dewan Pers juga mengenyahkan unsur pemerintah: tiga orang dari pengusaha, tiga orang dari jurnalis, serta tiga orang dari kalangan masyarakat yang dipilih oleh pengusaha pers dan wartawan.

 

Konsekuensinya, ada beberapa agenda yang tercecer. Kini, target yang belum tuntas itu malah menjadi masalah baru. Salah satu poin yang mengemuka, UU Pers masih berkelahi dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam melindungi wartawan dan perusahaan pers. Masih banyak kuli tinta yang terancam jeruji besi lantaran berita yang mereka bikin.

 

UU Pers tidak rinci membahas pencemaran nama baik dan fitnah. Sedangkan KUHP mengaturnya. Apalagi penjelasan Pasal 12 UU Pers menyatakan hal yang berkenaan dengan tindak pidana mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Apalagi kalau bukan KUHP -dan KUHAP?

 

Karena itu, paling tidak secara implisit, Wina mengingatkan kita. Setelah agenda menjebol kontrol pemerintah, kini kita punya target utama mengarahkan UU Pers menjadi peraturan yang khusus (lex specialis) terhadap ketentuan pidana -baca: hantu KUHP.

 

Utama bukan berarti khusus

Wina menandaskan UU Pers merupakan peraturan yang harus diutamakan. Primaat alias prevail. Artinya, sebelum menjerat jurnalis dan perusahaan berkenaan dengan pemberitaan, si penggugat jangan buru-buru menggunakan peraturan lainnya. Terlebih-lebih dengan mengajukan KUHP.

 

Wina mencatat MA tiga kali mementahkan gugatan terhadap media lantaran si penggugat tidak menggunakan UU Pers. Pertama, kasus Harian Garuda di Medan kontra seorang pengusaha lokal. Kedua, kasus Bambang Harymurti versus Tommy Winata. Dan ketiga, kasus Majalah Tempo lawan Texmaco (hal. 174-175).

 

Sayang, faktanya belum ada satu pun keputusan MA yang terang-terangan telah menyebutkan bahwa UU Pers sebagai sebuah peraturan khusus yang menyingkirkan undang-undang umum (legi generalis) (hal. 181).

 

Ditambah, UU Pers sendiri tidak pernah menyebut dirinya bersifat khusus yang mengalahkan undang-undang yang bersifat umum. Keinginan untuk mengukuhkannya menjadi peraturan khusus sebenarnya ada. Apalagi dalam pembahasannya di DPR waktu masih berupa rancangan, istilah lex specialis sempat terlontar sebanyak 14 kali. Uniknya, istilah tersebut pertama kali diluncurkan oleh anggota Fraksi ABRI F Isnawan. Sayangnya, Isnawan sendiri mengaku tidak mengerti makna istilah yang dia omongkan. Walhasil, lontaran itu hanyalah ujaran spontan tanpa pengertian yang konsepsional (hal. 170).

 

Kapan?

Setelah mengupas dengan mendalam berbagai pernik keunggulan dan kekurangan UU Pers, Wina kembali mengingatkan (tepatnya: menampar) kita, bahwa undang-undang ini masih banyak bolong adanya. Mau tak mau, revisi adalah jalan keluarnya. Hal itu tertuang pada bab ketujuh -terakhir.

 

Perhatian utama perombakan -jika kita konsisten menyimak bab-bab sebelumnya- masih terpaku pada upaya mengkhususkan UU Pers dari KUHP. Meski demikian, dan memang tak dapat diremehkan, Wina menyodorkan beberapa masalah ikutan yang perlu diperbaiki dalam agenda revisi. Misalnya, perlindungan dan kesejahteraan bagi wartawan; kategori jurnalistik harus diperjelas; mekanisme hukum acara gugatan harus diperjelas; serta mengenyahkan etika dari undang-undang.

 

Mencampurbaurkan antara etika dan hukum akan menimbulkan kekacauan, tulis Wina (hal. 225). Maklum, UU Pers masih mengatur pentingnya kode etik jurnalistik. Ada yang mengatakan pada taraf pers Indonesia masih seperti sekarang, ada untungnya etika dimasukkan ke dalam hukum sehingga pelaksanaannya dapat dipaksakan sesuai dengan sifat hukum. Ini pandangan yang keliru dan menyesatkan! sambungnya.

 

Dengan kedalaman pertimbangannya pada berbagai aspek, Wina memaparkan kondisi hukum Indonesia yang sudah berubah. Beberapa aktor bisa menjadi variabel yang menentukan. Misalnya, sudah ada Mahkamah Konstitusi yang berwenang melayani uji materi sebuah undang-undang. Pemilihan pucuk pimpinan eksekutif (presiden dan wakilnya), bersama anggota parlemen juga sudah dilakukan secara langsung. Dengan adanya otonomi daerah, kekuasaan bukan lagi monopoli pusat. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bisa membatalkan putusan pejabat yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

 

Sayang, Wina nampaknya luput menuntaskan analisis ini. Lebih jauh lagi, setelah mengetengahkan urgensi revisi, yang juga penting, lantas kapan saat yang tepat? Wina belum menjawabnya dengan gamblang. Anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi menyatakan secara resmi dalam sebuah forum, Revisi untuk penguatan peran pers, mari. Tapi untuk memperburuk, jangan. Dan saat ini Dewan Pers memandang belum saatnya merevisi.

 

Alamudi dan konco-konco -termasuk Wina sendiri- mungkin menghitung-hitung kondisi legislasi yang tak bisa diprediksi arah anginnya. Revisi berarti menyerahkan bola liar ke tangan pemerintah maupun parlemen. Dan bisa saja, situasi ini dimanfaatkan untuk menghidupkan kembali kontrol negara atas pers.

 

Namun setidaknya Wina menyodorkan clue, pemerintah anyar cenderung memberikan iming-iming bagi kemerdekaan pers (bab pertama). Presiden Soekarno bersama Menteri Penerangan Amir Sjarifoedin awalnya menjanjikan kue kebebasan pers. Bahkan, Soeharto menelurkan UU Pers yang pertama, pada awal masa kepemimpinannya -UU 11/1966, yang bahkan lebih mula daripada UU 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing. Revisi kedua -setelah UU Pers 21/1982- lahir pada awal pemerintahan Habibie, jadilah undang-undang yang kini berlaku. Era Abdurrahman Wahid adalah puncak kebebasan pers, dengan dibubarkannya Departemen Penerangan.

 

Sayang, tak ada peningkatan yang berarti pada masa dua presiden terakhir. Megawati Soekarnoputri hanya tercatat melahirkan UU 32/2002 tentang Penyiaran -salah satu UU tentang media massa, selain UU Pers dan UU Perfilman. Selanjutnya, Susilo Bambang Yudhoyono belum menorehkan tinta sejarah di bidang media. Revisi UU Perfilman sejak 2006 belum kelar dan tak ada target waktu selesai.

 

Bicara soal pemerintahan baru, tahun depan merupakan agenda hajatan politik terbesar alias Pemilu. Apakah 2009 adalah momen yang tepat untuk revisi? Kita lihat saja, apakah pemerintah bersama parlemen baru punya komitmen besar terhadap kemerdekaan pers.

Wina Armada Sukardi. Melihat namanya, kita dengan cepat menyimpulkan: perkawinan antara wartawan dan ahli hukum. Wina merupakan generasi ketiga dari trah Sukardi yang menjadi jurnalis -setelah kakek dan ayahnya. Kini Wina merupakan salah satu dari sembilan anggota Dewan Pers. Wina juga salah seorang murid guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sekaligus mantan Ketua Mahkamah Agung (MA), cum bekas Menteri Kehakiman, Oemar Seno Adji. Saya kuliah sejak 1978, diajar beliau. Prof. Oemar seringkali mengumandangkan kebebasan pers. Jangan penjarakan wartawan, tuturnya dalam sebuah percakapan dengan Hukumonline.

 

Tak ayal, lewat bukunya kali ini, isu kebebasan pers (khususnya melalui sebuah undang-undang) mejadi topik perhatian Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ini. Melihat latar belakangnya, dengan mudah pula bisa kita tebak jeroan karya Wina ini. Mendalam, dengan sajian beberapa mazhab pemikiran khas pakar hukum. Tak heran buku dengan tujuh bab ini mendedah dengan subtil setiap pokok bahasan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: