Hukum Acara UU Antimonopoli dalam Bingkai Sistem Hukum Nasional
Oleh: Ahmad Rosadi Harahap, SH.

Hukum Acara UU Antimonopoli dalam Bingkai Sistem Hukum Nasional

Undang-Undang No. 5/1999 (UUA) kembali diuji keutuhan mozaiknya dalam bingkai Sistem Hukum Nasional. Kali ini, UUA dalam bingkai Sistem Hukum Nasional ditantang oleh masuknya subjek hukum lain selain pelaku usaha terlapor (intervenient).

Bacaan 2 Menit
Hukum Acara UU Antimonopoli dalam Bingkai Sistem Hukum Nasional
Hukumonline

 

Berdasarkan fakta di persidangan terungkap bahwa PUT dalam perkara ini hanya Temasek dkk., sementara para pemohon intervensi bukanlah PUT. Mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) Perma No. 3/2005, Majelis Hakim sampai pada kesimpulan pemohon intervensi tidak memiliki titel (alas hak) yang berdasar menurut hukum. Meski ditolak, Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa bagi intervenient dimungkinkan adanya forum hukum lain untuk mengajukan gugatan tersendiri, saran Andriani (hukumonline, 18/2). Upaya hukum apakah yang dapat ditempuh NPUT semacam Telkom terhadap putusan KPPU semacam perkara Temasek ini?

 

Apakah konsumen semacam Moh. Ridwan Biya dkk. (konsumen; civil society) selaku pemangku kepentingan UUA selain KPPU (state), pasar (market) dan persaingan pelaku usaha (competition itself) selamanya menjadi subjek hukum yang nestapa (personae miserabiles) dalam rezim UUA berdasarkan UU No. 5/1999 terhadap putusan KPPU semacam dalam perkara Temasek ini? Haruskah mereka ‘di-Pulau Buru-kan' ke rezim hukum, katakanlah rezim Hukum Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999), Perbuatan Melawan Hukum pasal 1365 KUHPerdata, atau lainnya?

 

Lalu, apakah pemegang saham incumbent semacam pribadi Venny Zano dan Marwan Batubara mendapat perlindungan hukum dalam rejim UUA nasional, ketika putusan KPPU semacam dalam perkara Temasek ini berdampak langsung pada shareholder-nya (deviden) di NPUT semacam Indosat?

 

Selanjutnya, bagaimana kita memaknai putusan sela atas permohonan intervensi di atas? Apakah hakim sebagai law-maker telah memenuhi tugas peradabannya dalam menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakatnya (lihat Pasal 16 ayat (1) jo. Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004)?

 

Lex Fora

Tantangan intervensi ini mengingatkan kita pada ujian (law making process) pertama terhadap eksistensi UUA pada 2002 silam. Ujian ini berbuah terbitnya Perma No. 1/2003. Perma ini kemudian diperhalus (rechtsverfining) lewat Perma No. 3/2005 guna mem-by pass kewajiban beracara Mediasi sebagaimana diamanatkan oleh Perma No. 2/2003 bagi mekanisme hukum acara UUA (lihat Pasal 5 ayat (3) Perma No. 3/2005).

 

Dalam perkara keberatan terhadap Putusan KPPU No. 03/KPPU-I/2002, tanggal 30 Mei 2002 (kasus Indomobil), ujian terhadap UUA dalam bingkai Sistem Hukum Nasional kala itu berpusat pada pertanyaan seputar apakah objek perkara UUA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) yang diperiksa lewat sumirnya ketentuan hukum acara UUA vide Pasal 45 ayat (2) dan (1) jo. Pasal 46 ayat (2) UU No. 5/1999 tunduk pada rejim hukum acara Perdata (Gugatan) atau hukum acara TUN (beschikking)? Pada konteks hukum acara gugatan, permasalahan hukum perkara Indomobil melebar hingga menyentuh ranah perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad) terhadap KPPU sebagai competition authority.

 

Hasilnya, sebagaimana telah diketahui bersama, baik pelaku usaha terlapor maupun KPPU sama-sama dimenangkan dan dikalahkan pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, hingga berujung pada diterbitkannya Perma No. 1/2003 tersebut.

 

Merujuk pada tafsir historis, dapatlah dinilai bahwa putusan sela terhadap permohonan intervensi perkara keberatan Temasek yang dibacakan pada tanggal 18 Februari 2008 itu bertentangan maksud tautologis Mahkamah Agung menerbitkan Perma No. 3/2005 jo. Perma No. 1/2003. Perma-Perma itu pada dasarnya diterbitkan untuk membatasi lex fora perkara keberatan terhadap suatu putusan KPPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) UU No. 5/1999.

 

Saran Majelis Hakim yang demikian tentu bertentangan dengan maksud Mahkamah Agung dalam menerbitkan Perma No. 1/2003 kala itu – menutup kotak pandora hukum acara UUA nasional yang sumir. Pada konteks ini, tentu tidak relevan lagi untuk mengidentifikasi …forum hukum…lain… yang dapat diajukan oleh Telkom, konsumen selular, dan pemegang saham Indosat (NPUT) sebagaimana identifikasi masalah di atas.

 

Labirin Hukum Acara

Lebih signifikan dari pada itu, terkandung silogisme hukum yang kontradiktif dalam pertimbangan-pertimbangan hukum atas putusan sela itu. Majelis Hakim menolak menerapkan Pasal 8 Perma No. 3/2005 jo. Pasal 279 Rv dengan alasan tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk memperluas pengertiannya menjadi semua Hukum Acara Perdata yang dapat diterapkan dalam persidangan keberatan atas putusan KPPU.

 

Lalu, apa makna Perma-Perma itu sebagai suatu lex specialis? Bukankah kehadiran Perma-Perma itu untuk mengesampingkan (derogate) Hukum Acara Perdata sebagai lex generalis? Apakah Perma itu pernah mengesampingkan Pasal 279 Rv (intervensi)? Tidak pernah, bukan?

 

Pada konteks inilah mengapa dikatakan putusan sela itu mengandung silogisme hukum yang kontradiktif dalam pertimbangan-pertimbangan hukumnya (ius contra lege). Ketika Majelis Hakim mengakui keberadaan hukum acara Pasal 279 Rv vide ketentuan hukum acara Pasal 8 Perma No. 3/2005, maka seharusnya ia berani untuk menarik silogisme hukum berupa lex specialis belum pernah mencabut berlakunya lex generalist, sehingga dengan demikian lex generalis dianggap masih berlaku! Sebab fungsi lex specialis terhadap lex generalis sesungguhnya adalah sebuah proses falsifikasi (epistemologi Popperian), bukan verifikasi (epistemology Reinasance).

 

Singkatnya, tidak ada satu pun hukum positif di negeri ini yang pernah memfalsifikasi berlakunya Pasal 279 Rv warisan kolonial itu, baik dalam rezim UUA maupun bidang-bidang hukum lainnya dalam keseluruhan bingkai Sistem Hukum Nasional yang berlaku saat ini.

 

Sesungguhnya, upaya hukum lewat …forum hukum lain… semacam yang disarankan Majelis Hakim yang memutus permohonan intervensi terhadap perkara Keberatan Temasek v. KPPU hanya akan membuka kembali kotak pandora hukum acara yang telah berusaha ditutup sebelumnya oleh Mahkamah Agung lewat penerbitan Perma No. 3/2005 jo. Perma No. 1/2003 tersebut.

 

Ketika kotak pandora itu dibuka kembali, maka essai ini bolehlah diartikan sebagai pelaksanaan upaya hukum lewat …forum hukum…lain… seperti yang disarankan Majelis Hakim tersebut. Bukankah yang disebutkan forum hukum (rechtelijk) dan bukannya forum undang-undang (wettelijk)?

 

Dengan demikian, tentunya essai ini masih bersifat rechtelijk, baik terhadap perkara permohonan intervensi a quo pada khususnya maupun bagi kemajuan sistem hukum nasional pada umumnya. Maka, semakin panjang dan berlikulah labirin hukum formil UUA nasional dalam aneka lex fora – termasuk essai ini.

 

Blaming in Disguise

Demikianlah adanya bagi kita para jurist jika sibuk memuaskan libidonya sebagai intelektual-tukang demi kepentingan klien atau jabatan atau ego semata, dan tak pernah mau berusaha untuk mengembangkan mental intelektual-pejuang sebagai jurist yang sedang membangun dan menata peradaban masyarakatnya (zeitsgeist). Bukankah di dalam hukum seharusnya kita ber-ahkam lewat hakim yang berlandaskan hikmah (tafsir nahu-sharaf akar kata: Ha-Kaf-Mim)?

 

Dalam rangka meraih hikmah idealistik tadi kiranya dapat disampaikan blaming in disguise dari carut-marut Sistem Hukum Nasional pada umunya dan UUA pada khususnya.

 

Pertama, dapat dirasakan bahwa aparat penegak hukum advokat ternyata lebih berada di depan (avant-guard) sebagai law maker daripada aparat penegak hukum di lingkungan peradilan. Adapun legislator, berada pada posisi paling terbelakang sebagaimana dapat dilihat dari kemampuan sumirnya mendesain (legal drafting) hukum acara bagi UUA lewat lima pasal UU No. 5/1999 saja (Pasal 42 s/d 46).

 

Kedua, pernyataan di atas akan tetap valid selama hukum acara yang berlaku bagi UUA masih bersifat tambal sulam, selama legislator tidak mengamandemen UU No. 5/1999, dan selama Mahkamah Agung menjadikan instrumen Perma Antimonopoli sebagai alat pemuas libido intelektual advokat dalam memenangkan perkara kliennya daripada mengkonstruksi Perma dalam organisme hukum acara yang berlaku secara utuh dan terpadu dalam SHN keseluruhan.

 

Terakhir, konstelasi UUA sebagai suatu hukum persaingan usaha (competition law) yang demikian tentunya sulit untuk mengkonstatasi keadilan sesuai prinsip-prinsip akuntabilitas, kepastian dan prediktabilitas, tidak hanya bagi hukum itu sendiri, melainkan juga bagi pasar.

 

*) Penulis adalah Kuasa hukum konsumen intervensi, mantan Kasubdir Litigasi dan Monitoring Putusan, KPPU.

 

Sebagaimana diberitakan di media ini (18/2), Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa perkara Keberatan Temasek v. KPPU (Putusan No.07/KPPU-L/2007, tanggal 19 Nopember 2007) menolak permohonan intervensi dengan alasan tidak mempunyai alasan hukum yang kuat karena keempat intervenient (Telkom, enam orang konsumen selular, dan masing-masing dua orang pribadi selaku pemegang saham incumbent di Indosat) adalah subjek hukum non-pelaku-usaha-terlapor (NPUT).

 

Menurut Majelis Hakim, Pasal 8 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 3/2005 memang memperkenankan masuknya pihak ketiga dalam perkara keberatan. Namun Perma itu tidak dapat diartikan secara luas karena yang dimaksud adalah pelaku-usaha-terlapor (PUT) saja.

 

Adanya ketentuan Pasal 8 Perma No. 3/2005 tidak bisa dijadikan dasar untuk memperluas pengertiannya menjadi semua Hukum Acara Perdata bisa diterapkan dalam persidangan keberatan atas putusan KPPU. Hal ini terlihat antara lain dalam pembatasan waktu, dimana hakim harus memberikan putusan paling lama 30 hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan harus diputuskan, alasan Andriani Nurdin selaku Ketua Majelis Hakim yang memeriksa permohonan itu.

Tags: