Ironis, Hak-Hak Buruh Hakim PHI Malah Terbengkalai
Fokus

Ironis, Hak-Hak Buruh Hakim PHI Malah Terbengkalai

Pimpinan DPR telah melayangkan surat ke MA, sementara MA menganggap urusan kesejahteraan hakim adhoc merupakan urusan pemerintah.

Oleh:
Rzk/Ali/IHW
Bacaan 2 Menit
Ironis, Hak-Hak Buruh Hakim PHI Malah Terbengkalai
Hukumonline

 

Junaedi, hakim adhoc PHI lainnya, menceritakan pada tahun pertama menjabat sebagai hakim adhoc PHI, dirinya merasa ditelantarkan. Bayangkan, selama hampir setahun, Junaedi bersama hakim adhoc lainnya tidak menerima gaji atau yang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 96 Tahun 2006 disebut tunjangan kehormatan. Akibat kondisi yang begitu sulit, terkadang hakim adhoc PHI harus mencari pinjaman uang untuk memenuhi kebutuhan atau mencari penghasilan tambahan. Kan ironis, hakim adhoc PHI yang memutuskan mengenai hak-hak pekerja, di sisi lain haknya sendiri terbengkalai, keluh Junaedi.

 

Untuk mendapatkan penghasilan tambahan, Junaedi sempat menjadi tenaga pengajar untuk mencari tambahan penghasilan. Namun lama kelamaan saya keteteran juga jika harus rangkap pekerjaan seperti itu, tambahnya.

 

Junaedi mengatakan walaupun hanya bersidang satu kali seminggu, beban kerja hakim PHI cukup berat. Untuk PHI di Jakarta, misalnya, rata-rata setiap bulan harus membuat putusan minimal 20 perkara. Menurut Junaedi, agar putusan yang dihasilkan berkualitas maka hakim PHI butuh waktu minimal dua hari untuk memfokuskan diri merumuskan putusan. Jadi, di luar hari persidangan (Kamis, red), kami menyusun putusan itu, tukasnya.

 

Tunjangan

Sementara itu, Sri Razziaty Ischaya, mengungkapkan bahwa dari beberapa hal yang selama ini dipersoalkan, baru pembayaran tunjangan kehormatan yang sudah lancar. Namun, itu pun sempat tersendat beberapa kali, imbuhnya. Bagi Sri dan rekan hakim adhoc lainnya, pembayaran tunjangan kehormatan belum cukup memuaskan. Mereka menuntut dipenuhinya sejumlah tunjangan dan fasilitas lainnya, seperti fasilitas keamanan.

 

Sidang perburuhan itu ada potensi bahaya, karena pihak yang tidak puas seringkali bereaksi di luar batas, ujarnya. Terkait hal ini, Sri memang pernah mendapat pengalaman yang tidak mengenakkan. Dalam kasus Great River International (GRI), Sri terpaksa harus menyelamatkan diri melalui ventilasi ruangan, karena pihak pekerja yang kecewa terhadap putusan sela majelis mengamuk di ruang sidang.

 

Kalau kita perhatikan, pengamanan polisi di PN lebih baik ketimbang di PHI. Mungkin karena 'miskoordinasi' antara PN Jakpus dengan pihak kepolisian, kata Junaedi membandingkan. Sebagaimana diketahui, Junaedi juga salah satu anggota majelis yang memutus kasus GRI.

 

Secara khusus, Junaedi mempersoalkan besaran penghasilan yang diterima sebagai hakim adhoc PHI. Perpres No. 96 Tahun 2006 menetapkan tunjangan kehormatan bagi hakim adhoc PHI pada Pengadilan Negeri Rp3.750.000, sedangkan pada MA Rp7.500.000. Menurut Junaedi, jumlah yang ditetapkan Perpres belum layak. Terlebih lagi, untuk hakim adhoc di Jakarta yang biaya hidupnya relatif tinggi. Tapi bagaimana lagi, ini adalah konsekuensi dari pilihan jabatan, tukasnya pasrah.

 

Selain tunjangan kehormatan, Perpres No. 96 Tahun 2006 sebenarnya juga memberikan hak-hak lainnya berupa fasilitas transportasi dan akomodasi yang besarnya disesuaikan dengan ketentuan perjalanan dinas yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil golongan IV. Tidak ada, sumpah! cuma itu aja yang kami terima, tegas Junaedi menjawab pertanyaan hukumonline.

 

Pajak beragam

Dalam konteks yang sama, Sinufa tidak hanya mempersoalkan besaran tunjangan kehormatan, tetapi juga pengenaan pajak penghasilan yang tidak seragam antar daerah. Sinufa mendapat informasi ada beberapa daerah yang menerapkan pajak penghasilannya rendah, dan juga ada sebaliknya. Perbedaan tersebut, menurutnya, ternyata bukan karena dasar hukum yang berbeda, tetapi tergantung dari lobi masing-masing PHI. Kami yang di Jakarta kena pajak besar karena terlalu sibuk menangani perkara sehingga tidak sempat melobi, ujarnya.

 

Merujuk pada Perpres No. 96 Tahun 2006, tidak ada pengaturan detil tentang penetapan besaran pajak penghasilan bagi hakim adhoc PHI. Pasal 4 hanya menyatakan tunjangan yang diterima hakim adhoc PHI sudah termasuk pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Harus ada standar yang jelas dan seragam, karena kalau kejadian seperti ini terkesan ada perlakuan diskriminatif, protes Sri.

 

Jika dikomparasi dengan hakim adhoc Pengadilan Tipikor, kesejahteraan hakim adhoc PHI jelas jauh ketinggalan. Sebagai contoh, tunjangan kehormatan adhoc PHI pada MA lebih kecil, bahkan jika dibandingkan hakim adhoc pada Pengadilan Tipikor Tingkat Pertama. Terlebih lagi, hakim adhoc Pengadilan Tipikor tidak secara tegas dikenakan pemotongan pajak penghasilan seperti kolega mereka di PHI. 

 

Hakim Adhoc PTipikor

Hakim Adhoc PHI

Berdasarkan Perpres No. 49 Tahun 2005:

Besarnya uang kehormatan;

Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tingkat Pertama adalah Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);

Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tingkat Banding adalah Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah);

Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tingkat Kasasi adalah Rp. 14.000.000,00 (empat belas juta rupiah).

Hak/fasilitas lainnya: perumahan, transportasi, dan keamanan;

Tidak ditegaskan adanya potongan pajak.

Berdasarkan Perpres No. 96 Tahun 2006:

Besarnya tunjangan;

Pada Pengadilan Negeri sebesar Rp. 3.750.000,00

Pada Mahkamah Agung sebesar Rp. 7.500.000,00

Hak/fasilitas lainnya: transportasi dan akomodasi;

Dikenakan pajak penghasilan.

 

 

  

Strategi gerilya

Walaupun tidak persis mirip, kejadian ini seakan mengulang nasib tragis yang dialami tiga hakim adhoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sebagaimana pernah diwartakan hukumonline, Dudu Duswara Machmudin, Achmad Linoh dan I Made Hendra Kusuma sampai harus bersusah payah bergerilya memperjuangkan hak atas sejumlah fasilitas yang selayaknya mereka dapatkan seperti perumahan, transportasi dan tunjangan operasional.

 

Kegigihan yang sama juga diperlihatkan oleh para hakim adhoc PHI. Strateginya pun sama, gerilya dari satu instansi ke instansi lain. Sinufa menceritakan perjalanannya bersama kolega sesama hakim adhoc menyambangi Mahkamah Agung (MA), Departemen Keuangan, dan termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Untuk institusi yang terakhir ini, para hakim adhoc PHI mengajukan surat permohonan audiensi dengan Komisi III DPR pada 28 September 2006 atau bertepatan dengan tujuh bulan masa bakti mereka tanpa tunjangan kehormatan.

 

Sayangnya, surat tersebut dijadikan prioritas yang kesekian oleh Komisi III. Satu tahun tiga bulan kemudian, surat kami baru ditanggapi, keluh Sri. Medio Januari 2008, pertemuan yang diberi label Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) itu akhirnya memang digelar. Ajang ‘curhat' para hakim adhoc PHI itu berbuah surat Pimpinan Komisi III DPR Nomor 9/Kom.III/MP.III/I/2008 tertanggal 22 Januari 2008 ditujukan ke Pimpinan DPR. Sebagai tindak lanjut kemudian Pimpinan DPR melayangkan surat Nomor TU.03/1137/DPR-RI/II/2008 ditujukan kepada Ketua MA tertanggal 14 Februari 2008.

 

Dalam surat tersebut, Pimpinan DPR meminta Ketua MA untuk memperhatikan nasib hakim adhoc PHI khususnya terkait keterlambatan pembayaran tunjangan kehormatan, tidak adanya tunjangan kinerja serta fasilitas yang lengkap dan adanya pengenaan pajak yang tidak seragam. Selain itu, Pimpinan DPR berpendapat hakim adhoc seyogyanya tidak dibebani dengan potongan pajak, tetapi justru disubsidi oleh negara.

 

Urusan pemerintah

Dimintai komentarnya, Juru Bicara MA Djoko Sarwoko tidak memungkiri adanya perbedaan perlakuan terhadap hakim adhoc PHI. Misalnya saja, ketika gaji hakim dinaikkan tetapi ternyata hanya berlaku untuk hakim karir. Djoko membela diri bahwa kebijakan gaji hakim bukan kewenangan MA, tetapi pemerintah. Tak ada niat dari MA untuk menelantarkan. Soal gaji itu kan bukan urusan MA, itu kan dari pemerintah, tegasnya.

 

Sementara itu, Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan memandang kejadian yang dialami hakim adhoc selama ini merupakan bukti bahwa pembentukan lembaga baru tanpa konsep yang jelas justru akan menimbulkan masalah. Trimedya melihat pasca reformasi terkesan muncul euforia pembentukan lembaga-lembaga baru yang sayangnya tidak disertai dengan persiapan dan konsep yang matang. Maka dari itu, dia berharap baik pemerintah maupun DPR untuk masa yang akan datang lebih hati-hati dan cermat membentuk lembaga baru.

 

Ini bukti bahwa membentuk lembaga baru itu tidak gampang, perlu ada konsep yang jelas dan komitmen keuangan negara, kalau tidak jadinya ya begini, ujar Politisi dari PDI-P ini. Terkait nasib hakim adhoc PHI, Trimedya berjanji akan mencermati persoalan ini pada saat rapat konsultasi dengan MA dan pembahasan anggaran bidang hukum.

 

Sepekan belakangan ini, M. Sinufa Zebua tidak terlihat di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Salah satu hakim adhoc dari unsur pengusaha ini terpaksa harus ‘mendekam' di Rumah Sakit MMC Jakarta akibat penyakit batu di empedu dan saluran empedu yang diidapnya. Rencananya, pria yang aktif di organisasi Kamar Dagang dan Industri (KADIN) ini akan menjalani beberapa operasi medis. Biaya perawatan saya tanggung sendiri karena sebagai hakim adhoc PHI tidak ada tunjangan kesehatan, keluhnya dengan nada lemas.

 

Nasib yang menimpa Sinufa merupakan gambaran gamblang minimnya perhatian negara terhadap kesejahteraan hakim adhoc PHI. Tidak adanya tunjangan kesehatan hanyalah bagian kecil dari penderitaan yang dialami hakim adhoc PHI. Di luar itu, ada cerita gaji yang seret, tidak ada tunjangan transportasi, minimnya fasilitas pengamanan, sampai penerapan pajak yang tidak seragam.

 

Saya ingat beberapa kali Pak Bagir (Ketua MA, red.) dalam beberapa kesempatan menyampaikan betapa berat tugas hakim PHI, tetapi sayang pernyataan itu tidak sejalan dengan perlakuan yang kami terima, ujar Sinufa.

Halaman Selanjutnya:
Tags: