Bersihar, Hakim PN Depok dan Penangkapan Urip Tri Gunawan
Fokus

Bersihar, Hakim PN Depok dan Penangkapan Urip Tri Gunawan

Tidak mungkin ada jaksa yang dungu karena untuk menjadi jaksa harus melalui seleksi ketat dan pendidikan. Sebuah catatan tentang rekrutmen jaksa.

Oleh:
Mys/Her/Rzk
Bacaan 2 Menit
Bersihar, Hakim PN Depok dan Penangkapan Urip Tri Gunawan
Hukumonline

 

Rupanya, penangkapan Urip Tri Gunawan oleh KPK membuat kejaksaan kelabakan. DPR langsung menggelar Rapat Kerja dengan jajaran Kejaksaan tak lama setelah Ketua Tim Jaksa Penyelidik Perkara BLBI BDNI itu tertangkap tangan menerima uang dollar AS dari Arthalyta Suryani. Dalam Rapat Kerja itu, anggota DPR mencecar Jaksa Agung dan bawahannya tentang banyak hal.

 

Momentum penangkapan Urip seolah menjadi pemicu bagi sebagian anggota Dewan untuk mempertanyakan kasus lain. Salah satunya adalah kriminalisasi terhadap Bersihar Lubis. Adalah anggota Komisi III DPR Benny K. Harman yang mempertanyakan kasus ini. Kok tega-teganya kejaksaan membawa sahabat saya ini (Bersihar, red) ke pengadilan dengan alasan melakukan penghinaan terhadap pengadilan?.

 

Kolega Benny di Komisi III DPR, Maiyasyak Johan menegaskan bahwa setiap institusi publik, termasuk Kejaksaan, tidak mungkin lepas dari kritik sosial. Kalau kritik seperti yang disampaikan Bersihar dikriminalisasi, maka masyarakat Indonesia akan miskin kreativitas. Karya intelektual jangan dilihat sebagai produk kriminal, ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan itu.

 

Benny menimpali bahwa langkah kejaksaan menyeret Bersihar ke PN Depok hanya karena tulisannya menunjukkan institusi Kejaksaan tidak siap menghadapi kritik sosial.

 

Menjawab pertanyaan Benny dan Maiyasyak, Jaksa Agung Hendarman menyatakan akan menjadikannya sebagai catatan. Ia malah berlindung di balik putusan pengadilan. Kasus Bersihar kan sudah ada putusan pengadilan, tandasnya.

 

Toh, penangkapan Urip sudah terlanjur mencoreng-moreng institusi dimana ia bekerja. Gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Begitu Jaksa Agung Hendarman bertamsil. Betapa tidak, Urip adalah salah seorang yang dinilai jaksa terbaik. Ia satu diantara 35 jaksa terbaik yang diberi amanah menyelidiki perkara BLBI yang sudah terpendam bertahun-tahun. Sayang, orang yang dicap sebagai salah seorang jaksa terbaik tertangkap tangan oleh petugas KPK.

 

Rekrutmen Jaksa

Adakah yang salah dalam proses rekrutmen jaksa? Bagi tiga orang jaksa yang melaporkan Bersihar ke polisi dan Majelis Hakim PN Depok yang mengadili perkara itu, jawaban atas pertanyaan tadi sudah jelas. Tidak mungkin! Jaksa adalah profesi terhormat. Untuk bisa menjadi jaksa, seseorang harus melewati seleksi ketat, mengikuti pendidikan, dan melewati jenjang demi jenjang pendidikan.

 

Tengok saja persyaratan yang telah ditetapkan Pasal 9 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004. Menurut wet ini, untuk dapat diangkat menjadi jaksa, seseorang harus Warga Negara Indonesia, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan UUD 1945, berijazah minimal sarjana hukum, berusia 25-35 tahun, sehat jasmani dan rohani, berwibawa, jujur, adil, pegawai negeri sipil, dan berkelakuan tidak tercela. Selain itu, calon juga harus lulus diklat pembentukan jaksa.

 

Pendidikan dan latihan (diklat) bukan dominasi jaksa. Setiap pegawai negeri sipil wajib melaluinya. Itu kata Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2000 tentgang Diklat PNS. Khusus profesi jaksa, diklat dimulai sebelum resmi menjadi jaksa, yang disebut diklat prajabatan. Aturan tentang diklat pun nyaris selalu diterbitkan setiap kepemimpinan jaksa agung. Sekadar contoh, mari lihat ke belakang. Pada 1999, terbit SK Jaksa Agung No. 112 tentang Pola Pembinaan SDM Kejaksaan. Pada tahun yang sama terbit pula SK No. 073 tentang Pola Jenjang Karir Pegawai Kejaksaan.

 

Pada masa kepemimpinan Jaksa Agung Marzuki Darusman, terbit SK No. 170/2000 tentang Diklat Pengawasan. Lalu, pada masa Jaksa Agung MA Rachman terbit SK No. 004/2002 tentang Diklat Pembentukan Jaksa Crash Program Tahun Anggaran 2002. Selain itu, pada Maret 2004 Jaksa Agung Muda Pembinaan Soewarsono meneken beleid tentang Pendidikan Pembentukan Jaksa. Pada masa Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh terbit pula SK No. X-230/2005 tentang Penyelenggaraan Diklat Pegawai Kejaksaan.

 

Setelah menjadi jaksa, seseorang juga tak lepas dari pendidikan dan pelatihan sebagai bekal pribadi dan pengetahuan. Selain ada diklat kepemimpinan, ada pula jenis diklat fungsional dan diklat teknis.

 

Dalam menjalankan tugas pun seorang jaksa harus menjaga integritas. Surat Edaran Jaksa Agung No. 007/A/JA/11/2004 tentang Mempercepat Proses Penanganan Perkara-Perkara Korupsi se-Indonesia sudah tegas menyinggung sikap ideal seorang jaksa. Surat Edaran itu juga mengharuskan jaksa ‘menjaga citra dan wibawa selaku aparat penegak hukum'.

 

Perkara Urip memang masih disidik. Ia sudah ditetapkan sebagai tersangka. Tetapi penangkapannya telah menunjukkan bahwa adakalanya jaksa lupa menjaga integritas, citra dan wibawa di depan masyarakat. Karena itu, peneliti ICW Emerson Juntho dan sejumlah aktivis Koalisi Pemantau Peradilan, meminta Jaksa Agung menjadikan penangkapan Urip sebagai cambuk untuk melakukan pembenahan internal secara sistemik dan menyeluruh. Termasuk proses rekrutmen jaksa. Kami minta Jaksa Agung segera melakukan evaluasi dan pembenahan sistem pembinaan personil dan pengawasan di Kejaksaan, ujar Emerson.

Hampir satu bulan berlalu sejak Bersihar Lubis dijatuhi hukuman satu bulan penjara. Majelis Hakim PN Depok yang beranggotakan Suwidya, Budi Prasetyo, dan Ronald Salnofri Bya menilai Bersihar bersalah, telah melakukan tindak pidana menghina penguasa atau badan umum di muka umum melalui tulisan. Ia dinyatakan melanggar Pasal 207 KUHP.

 

Hakim PN Depok percaya Bersihar telah menghina kejaksaan. Kata-kata dungu yang dimasukkan Bersihar pada kolomnya di Harian Tempo dinilai majelis sebagai bentuk penghinaan kepada institusi kejaksaan. Majelis percaya, seorang jaksa tidak mungkin dungu. Tidak seorang pun yang mempunyai kecerdasan normal, kata majelis, merasa senang dan dihargai apabila dikatakan dungu. Apalagi, kalau sudah menyandang profesi yang sah dan diakui serta dihormati masyarakat.

 

Majelis hakim sependapat dengan tiga orang saksi pelapor dalam perkara Bersihar, yang kebetulan berprofesi sebagai jaksa. Pudin Saprudin, Susanto, dan Abdul Syukur –nama ketiga jaksa tadi– begitu percaya keluhuran seorang jaksa. Tidak mungkin ada jaksa yang dungu karena untuk menjadi jaksa harus melalui seleksi ketat dan pendidikan, tandas Susanto dalam kesaksiannya di persidangan.

 

Sebelum diangkat menjadi jaksa ada proses seleksi yang ketat dan ada pendidikan serta perjenjangan, timpal saksi Pudin Saprudin. Penyebutan interogator yang dungu dalam tulisan Bersihar, dinilai saksi Abdul Syukur sebagai celaan kepada jaksa. Saksi pun ikut merasa tersinggung. Pandangan ketiga jaksa inilah yang diamini majelis hakim.

Tags: