Cegah Kejahatan Transnasional, Perbaiki Payung Hukum
Berita

Cegah Kejahatan Transnasional, Perbaiki Payung Hukum

Peraturan perundang-undangan yang ada sekarang dinilai terlalu kuno untuk mengantisipasi kejahatan tingkat global. Apalagi kejahatan tingkat tinggi ini membelukar dengan berkolusi bersama pejabat pemerintah dan aparat hukum.

Oleh:
Ycb
Bacaan 2 Menit
Cegah Kejahatan Transnasional, Perbaiki Payung Hukum
Hukumonline

 

Andi mengutarakan, beberapa modus kejahatan lintas negara itu antara lain perdagangan manusia, perdagangan senjata ilegal, pencucian uang, pornografi, kejahatan maya (cyber crime), transfer dana ilegal lewat bank, perdagangan obat terlarang, serta penyelundupan manusia (human smuggling). "Afghanistan, Kolumbia, dan Myanmar selalu didera konflik dan menjadi produsen utama narkoba," paparnya. Akibatnya, 27 juta penduduk dunia terjerumus dalam perbudakan (slavery).

 

Ketua Umum Aspehupiki Prof. Muladi mengingatkan bentuk kejahatan ini sangat halus namun berdaya hancur besar. "Lebih berbahaya daripada konflik militer," tuturnya dalam sambutan. Dampaknya yang sudah terasa antara lain global warming serta pengangguran global yang terus meningkat.

 

Reformasi hukum lambat

Pengurus Aspehupiki sekaligus calon kuat pengganti Muladi, Prof. Romli Atmasasmita mengeluhkan payung hukum di Indonesia sangat lambat merespon permutasi kejahatan global ini. "Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sangat lambat untuk menjangkaunya," tuturnya dalam jumpa pers.

 

Andi sepakat dengan Romli. "Aparat selalu kesulitan menggali alat bukti. Aturannya sangat terbatas dan konvensional," ujar Andi. Romli menambahkan, KUHP masih berkutat pada tindak kejahatan tradisional, semacam penipuan, penggelapan, dan pembunuhan.

 

Sebenarnya pemerintah sudah berinisiatif merombak KUHP. Namun sayang seribu sayang, upaya tersebut bagai siput berjalan. Rancangan Undang-Undang KUHP terdiri dari sekitar 700 pasal. "Semua alot. Untuk membahas 40 pasal saja butuh tiga bulan," keluh Romli yang juga terlibat bersama Muladi dalam penyusunannya.

 

Kalaupun dirunut-runut, beleid ini sudah "berlumut". Usianya sudah lebih dari 35 tahun namun tak kunjung di bahas di parlemen. "Di departemen sedang dibahas, belum meluncur ke DPR. Semoga perhatian mereka tidak tersedot pada Pemilu 2009," tutur Andi.

 

Romli mengungkapkan, selain revisi KUHP, UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sedang dirombak. "Pengadilan Tipikor tak perlu lagi berada hanya di Jakarta. Tapi juga harus ada di daerah-daerah."

 

Romli menambahkan, meski KUHP berjalan lambat, para penegak hukum bisa memakai lex specialis-nya. "Bukankah ada UU Tipikor dan UU Narkotika?" tuturnya. Yang disebut Romli terakhir masih berupa RUU yang digodok di Komisi IX DPR -bidang kesejahteraan dan perburuhan.

 

Pemberitahuan, bukan izin

Salah satu kendala besar bagi aparat penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menindak tersangka korupsi adalah harus lewat "izin" presiden. Apalagi jika si tersangka adalah pejabat tinggi, baik di daerah maupun lembaga negara lainnya.

 

Pun demikian, Romli tak mempermasalahkan hal itu. "Buktinya, Presiden Yudhoyono serius terhadap isu korupsi ini. Beliau menerbitkan Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi," sambungnya. Menurut Romli, Yudhoyono tak pernah melindungi pejabat mana pun yang hendak diperiksa. Artinya, izin memeriksa gampang didapat.

 

Andi justru punya pemikiran lain. Mantan anggota Komisi III DPR (bidang hukum dan HAM) ini mengusulkan, baik KPK maupun Kejaksaan cukup melayangkan surat pemberitahuan. "Bukan izin. Selanjutnya, silakan diproses," pungkasnya.

 

Andi Matalatta rela jauh-jauh dari Jakarta ke Bandung, menembus dinginnya angin Minggu malam itu (16/3). Menteri Hukum dan HAM ini didapuk sebagai pemapar catatan kunci (keynote speaker) dalam kongres Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Aspehupiki). Acara tersebut digelar di Hotel Savoy Homann Bidakara.

 

Dengan balutan batik kuning dan celana hitam, menteri dari Partai Golkar ini menyampaikan pesan serius. "Transnational organized crime berkolusi dengan pejabat pemerintah," tuturnya.

 

Andi yang duduk di kursi eksekutif bersama para pengajar hukum pidana sedang resah. Era globalisasi saat ini juga berdampak negatif. Tindak kriminal maupun pidana makin canggih dan melibatkan berbagai negara.

 

Apalagi, sambung Andi, kegiatan haram tersebut berkedok di balik kegiatan legal. Misalnya, di bidang perdagangan alias trading. Untuk memuluskan aksi mereka, tak jarang para penjahat memanfaatkan jasa profesi."Termasuk para advokat dan akuntan," imbuh Andi.

 

Andi menuturkan, tak hanya Indonesia yang resah. Dunia juga gelisah. Buktinya, Perserikatan Bangsa-Bangsa menghelat Konvensi Melawan Kejahatan Transnasional pada 2000. "Konvensi itu menyorot dua prioritas. Yakni kejahatan korupsi dan pencucian uang," ungkap Andi. Konvensi tersebut sontak direspon oleh 124 negara dengan meratifikasinya. Menurut Andi, inilah konvensi yang paling banyak dan cepat ditanggapi oleh negara anggota.

Tags: